PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM
( Delhi, Andalus, Samarkhan Dan Bukhara )
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam II
Dosen Pengampu: DR. Muslih MZ, MA.
Disusun oleh:
Maulida khoirun ni’mah (103111125)
Mu’alifin (103111126)
M. Kholid Mawardi (103111127)
Nafi’atur Rohmaniyah (103111128)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM
( Delhi, Andalus, Samarkhan Dan Bukhara )
I.
PENDAHULUAN
Peradaban Islam
pada mulanya dimulai dari zaman
Rasulullah. Islam menampilkan peradaban
baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Peradaban yang ditinggalkan
Nabi misalnya, jelas sangat berbeda dengan peradaban Arab di zaman Jahiliyah.
Dengan demikian, Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban.
Peradaban Islam
berkembang sangat maju dalam percaturan peradaban dunia, bahkan jauh sebelum
kebangkitan bangsa Eropa, umat Islam telah maju dengan peradabannya yang
gemilang. Bahkan bangsa-bangsa Eropa tidak mungkin akan bisa menjadi maju, jika
saja tidak belajar dari peradaban Islam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
Pusat Peradaban Islam di Delhi?
B.
Bagaimana
Pusat Peradaban Islam di Andalus?
C.
Bagaimana
Pusat Peradaban Islam di Samarkhan?
D.
Bagaimana
Pusat Peradaban Islam di Bukhara?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pusat
Peradaban Islam di Delhi
1.
Awal
masuk Islam di India
Wilayah
Asia Selatan (dahulu bernama India) sudah terdapat dua golongan besar yang
berbeda kepercayaan. Yaitu, Dravida mempercayai agama secara abstrak dan Aria mempercayai
agama secara nyata, sehingga terjadilah pertentangan-pertentangan kepercayaan.
Akibatnya, bangsa Dravida menjadi lemah dan ada yang ikut menganut kepecayaan
mereka. Bangsa Aria yang lebih kuat memaksa bangsa Dravida untuk menganut kepercayaan
mereka. Kemudian, kepercayaan ini berkembang menjadi agama Brahmana (Hindu)
yang melahirkan adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana, kasta Ksatriya, Kasta
Waisa dan Kasta Sudra.
Pada
waktu itu, kondisi sosial dan politik India sedang rapuh dengan terjadinya
penindasan kaum Brahmana terhadap kasta yang lebih rendah dan orang Budha, juga
terjadinya perebutan kekuasaan diantara raja-raja Hindu. Selanjutnya hubungan
politik antara Arab dengan India sedang rapuh. Dalam kondisi yang demikian
pasukan Islam dibawah pimpinan Muhammad ibn Qasim semasa Khalifah al-Wahid I
datang membawa harapan bagi keselamatan orang yang terlindas melalui penerapan
keadilan sosial yang memberi harapan baru. Mereka berdampingan memasuki tentara
muslim. Kemudian, mengucapkan setia kepada orang muslim.[1]
Awal
masuk Islam di india dibagi dalam beberapa periode, diantaranya :
1) Periode
Nabi Muhammad SAW
Pada
masa Nabi, banyak orang dari suku jat
(india) menetap di Arab. Dan salah satunya menyembuhkan Aisyah, Istri
Rasulullah. Rasulullah telah mengetahui tentang daerah india dari para pedagang
yang telah lama berhubungan dagang dengan daerah tersebut. Pada tahun 630-631 M.
Nabi mulai berhubungan dengan luar dengan cara mengirim utusan dan menerima
kunjungan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.[2]
Tidak begitu banyak informasi yang dapat diketahui tentang india pada periode
ini.
2) Periode
Khulafaur Rhasyidin dan Bani Umayyah
Pada
Masa Khulafaur Rhasyidin, beberapa ekspedisi ke India melalui laut tidak
berhasil karena tenggelamnya armada, disamping tentara Arab kurang ahli di
laut. Invasi melalui laut selanjutnya dilarang oleh Umar Ibn Khattab. Pada tahun
643-644 M tentara Arab berhasil menguasai kirman, Sizistan sampai Mekran.
Selanjutnya Pada masa Muawiyyah Ibn Abu Sofyan, Dinasti Umayah, tentara Islam
hanya sampai Kabul, Ibu kota Afghanistan sekarang. [3]
3) Periode
Dinasti Ghazni
Meskipun
masih dalam abad pertama dari hijrah Nabi, tanah-tanah Sind telah menjadi
wilayah kerajaan islam, dan telah berganti-ganti pemerintahan yang menguasainya,
dan telah tersebar ke muslim yang menetap di negeri yang luas itu, namun bagian
terbesar dari tanah india belum takluk di bawah pemerintahan Islam. Raja-raja
masih memerintah dengan kuat di beberapa negeri yang besar, dan alam Hindu
masih kuat dengan Kuil-kuil Pagoda, meskipun dia telah bertetangga dengan
negeri-negeri Islam. Pergerakan penaklukan dilanjutkan dengan semangat dan
tenaga baru pada abad ke-10 M, oleh bangsa Turki yang datang ke india dari
balik perbukitan Afghan.
Pada permulaan paruh
kedua abad X M, 961-962 M berdiri dinasti Ghazni yang terkenal karena gagah
berani dan perkasa berperang. Mulanya kerajaan ini hanya sebuah kerajaan kecil
dalam wilayah kerajaan bani Saman dan nama pendirinya adalah Alptgin.[4]
Tokoh
yang terkenal dalam dinasti Gazni adalah sultan Mahmud. Pengakuan dari khalifah
Bagdad al-Qadir Billah dengan memberi gelar Yamin Al Daulah (tangan
kanan kerajaan) dan Amin al Milah (orang kepercayaan agama) kepadanya.
4) Dinasti
Ghuri
Kerajaan
Ghur terletak didaerah perbukitan antara Ghazni dan Herat. Daerah ini di
taklukkan Sultan Mahmud pada tahun 1010 M. Sejak saat itu daerah ini menjadi
sebuah provinsi yang menjadi bagian dari kesultanan Ghazni. Orang-orang Ghuri
telah berjuang dan melayani setia di bawah bendera sultan Mahmud. Tetapi selama
kekuasaan para penggantinya, mereka menunjukkan sikap kurang perhatian dalam
hal loyalitas terhadap terhadap sultan Ghaznawi.
2.
Islam
di Delhi
Delhi
adalah ibu kota kerajaan-kerajaan Islam di India sejak tahun 608 H/1211 M
(kecuali beberapa kali dalam waktu yang tidak lama, yaitu ketika ibu kota
pindah ke Dawlatabad, Agra dan Lahore) sampai kerajaan Mughal runtuh oleh Inggris
tahun 1858, Sebagai ibukota kerajaan-kerajaan Islam Delhi juga menjadi pusat
kebudayaan dan peradaban Islam di anak Benua India.
Kota ini terletak di pingggir Sungai
Janma. Sebelum Islam masuk kesana, Delhi berada di bawah kekuasaan keturunan
Johan Rajput. Tahun 589 H(1204 M), kota ini ditaklukkan oleh Qutb Al Din Aybak
dan tahun 602 H (1204 M) ini dijadikan ibukota kerajaan tersendiri olehnya.
Dinasti Mamluk ini berkuasa sampai tahun 689 H(1290), kemudian diganti oleh
dinasti Khaji (1296-1326M), kemudian diganti oleh dinasti Tughlug (1320-1413M).
Babur, raja munghal pertama, merebut Delhi
dari tangan dinasti Lodi. Setiap dinasti Islam memperluas kota itu dengan
mendirikan “kota-kota” baru di Delhi semula, yaitu kota yang berada di dalam
benteng Lalkot. Delhi sekarang mencakup semua kota-kota baru itu. Semuanya
dikenal sebagai ”Tujuh Kota Delhi”.
Dinasti
Mamluk memperluas tembok kota Hindu dengan apa yang dikenal kota Kil’a Ray
Pithora. Inilah kota pertama dari tujuh kota Delhi tersebut. Sementara itu Dinasti
Khalji menambah bangunan Masjid dengan atap yang indah dan beberapa menara
lagi. Kesebelah barat, dinasti ini memperluas benteng Lalkot yang lama dengan
maksud mempertahankan kota dari serangan bangsa Mongol. Dengan demikian ia
memindahkan ibukota ke Siri, sekitar 2 km dari yang. Inilah kota yang kedua. Di
dalam kota, dinasti ini mendirikan sebuah istana megah tersendiri.
Pada
dinasti Tughlug, raja pertama mendirikan Tughlughabad, kota sekitar 8 km di
sebelah timur Kil’a Ray Pithora, yang kemudian dijadikan sebagai pusat
pemerintahan Pada tahun 730 H/1320 M.
Di
tengah kota didirikan masjid, perumahan, perkantoran, dan jalan-jalan yang
dikelilingi oleh benteng yang kuat. Muhammad Ibn Tughlug juga melaksanakan
sebuah proyek raksasa, yaitu mendirikan Adilabad yang kemudian dikenal dengan
kota Jahanpah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Fairuz Tughlug dengan
mendirikan kota fairuzabad, sekita 3 km disebelah barat laut kota yang kemudian
dikenal dengan Syahjahanabad.
Setelah
Delhi dihancurkan tentara Timur Lenk, kekuasaan raja-raja yang berkedudukan di
Delhi merosot tajam. Ketika itulah dinasti Lodi mengambil kota agra sebagai ibu
kota, sementara Delhi menjadi kota yang kurang penting.[5]
Saat-saat
paling indah dan cemerlang dalam seni bangunan islam di India terjadi pada
zaman pemerintahan mughal. Kuburan yang megah dan dinamakan “Taj Mahal” yang
dibangun oleh Syah Jihan untuk mengenang
isterinya yang telah meninggal, dan pembangunan itu membutuhkan waktu 22
tahun yang dibangun oleh 22 ribu orang pekerja tiap hari.[6]
Setiap
dinasti Islam yang berkuasa di India dan menjadikan Delhi sebagai ibu kotanya,
seakan-akan mereka berlomba-lomba untuk membangun dan memperindah Istana,
Benteng, Masjid, Madrasah dan Makam. Di Delhi dan sekitarnya banyak berdiri Makam-makam
megah, bukan saja makam penguasa islam tetapi juga makam-makam para Wali. Kalau
saja Timur Lenk tidak menghancurkan kota Delhi, tentu akan banyak sekali
bangunan mewah dan indah yang dapat disaksikan. Delhi islam yang dapat kita
saksikan sekarang adalah Delhi yang hanya dibangun oleh kerajaan Mughal.[7]
B.
Pusat
peradaban Islam di Andalusia
Ekspansi pasukan Muslim ke semenanjung Iberia, gerbang barat daya
Eropa, merupakan serangan terakhir dan paling dramatis dari seluruh operasi
militer penting yang dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan itu menandai
puncak ekspansi Muslim ke wilayah Afrika-Eropa, seperti halnya penaklukan
Turkistan yang menandai titik terjauh ekspansi ke kawasan Mesir-Asia. Dari sisi
kecepatan operasi dan kadar keberhasilannya, ekspedisi ke Spanyol memiliki
kedudukan yang unik dalam sejarah militer abad pertengahan.[8]
Orang Arab masuk ke Andalusia dalam keadaan penduduk negeri itu
terdiri dari orang-orang Goht, Romawi, Italia, dan Yahudi. Orang Goth merupakan
golongan yang berkuasa. Sebagian dari mereka memeluk agama Nasrani mazhab
Katholik. Semua golongan penduduk tersebut bermukim di kota-kota besar, seperti
Toledo, Sevilla, Merida dan Cordova.[9]
Sejak kemenangan pasukan Islam di bawah kekuasaan dinasti Amawiyah
1 Damaskus berhasil merebut dan mengintervensi berbagai kekuatan politik
lainnya di Afrika Utara, Spanyol dengan semerta-merta telah ikut menyempurnakan
keberhasilan mereka. Penaklukkan ke wilyah ini oleh Toriq bin Ziyad pada tahun
710 M sepertinya tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari penguasa mereka
karena secara politis kekuatan pemerintahan mereka pada kondisi yang lemah,
dimana posisi rakyatnya sedang bersebrangan dengan penguasanya. Sejak pertama
kali berkembangnya kekuasaan dan kepemimpinan Islam di Spanyol, tampaknya telah
memainkan peranan yang sangat besar dalam membangun citra budaya dan peradaban
kemanusiaan di wilayah ini. Masa ini berlangsung selama hampir delapan abad
(711 – 1429 M).[10]
Penguwasaan umat islam terhadap Andalus dapat dibagi menjadi
beberapa periode:[11]
1.
Periode
pertama
Periode antara
tahun 711-755M, Andalus diperintah oleh para wali yang diangkat oleh Khalifah
bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini Andalus secara politis
belum setabil, masih terjadi perebutan kekuasaan antar elit penguasa, atau
masih adanya ancaman musuh Islam dari penguasa setempat.
2.
Periode
kedua
Periode antara
tahun 755-1013M pada waktu Andalus dikuasai oleh daulah Amawiyah II. Periode
ini dibagi menjadi dua:
1)
Masa
keamiran tahun 755-912. Masa ini dimulai ketika Abd al-Rahman al-Dakhili,
seorang keturunan Bani Umayyah I yang berhasil menyelamatkan diri dari
pembunuhan yang dilakukan Bani Abbas di Damaskus, mengambil kekuasaan di
Andalus pada masa Amir Yusuf al-Fihr. Ia kemudian memproklamirkan berdirinya
daulah Amawiyah II di Andalus kelanjutan Amawiyah I di Damaskus.
2)
Masa
kekhalifahan tahun 912-1013M, ketika Abd al-Rahman III, amir ke delapan Bani
Umayyah II, menggelari diri dengan Khalifah al-Nasir li Dinilah (912-961M).
Kedudukannya dilanjutkan oleh Hakam II (961-976M), kemudian oleh Hisyam II
(976-1007M). Pada masa ini umat Islam Andalus mengalami kemakmuran dan
kemajuaan di segala bidang.
3.
Periode
ketiga
Periode antara
tahun 1031-1419M, ketika umat Islam Andalus terpecah dan menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Periode ini dibagi menjadi tiga masa:
1)
Masa
kerajaan-kerajaan kecil yang sifatnya lokal tahun 1031-1086M, jumlahnya sekitar 20 buah. Masa ini disebut
Muluk al-Thawaif (raja golongan). Mereka mendirikan kerajaan berdasarkan etnis
bar-bar, slofia, atau Andalus yang bertikai satu dengan yang lain sehingga
menimbulkan keberanian umat kristen di Utara untuk menyerang. Karena itu
terjadiketidak setabilan dalam politik. Namun dalam bidang peradaban mengalami
kemjuan karena masing-masing Ibu kota kerajaan lokal ingin menyaingi kerajaan
Kordova.
2)
Masa
antara tahun 1086-1235M, ketika uamt Islam Andalus dibawah kekuasaan bangsa
Bar-bar Afrika Utara. Mula-mula Bangsa Bar-bar dipimpin oleh Yusuf ibn Tasyfin
mendirikan daulah Murabitin, kemudian datang ke Andalus untuk menolong umat
Islam Andalus mengusir umat Kristen yang menyerang Sevila pada tahun 1086M,
tetapi kemudian menggabungkan Muluk al-Thawaif kedalam dinasti yang dipimpinnya
sapai tahun 1143M, ketika dinasti ini melemah digantikan oleh dinasti Bar-bar
lain al-Muwahhidin(1146-1235M). Dinasti ini datang ke Andalus dipimpin Abd
al-Mu’in pada masa putranya Abu Ya’kub Yusuf Ibn Abd al-Mu’in (1163-1184M)
andalus mengalami masa kejayaan. Namun sepeninggal Sultan ini al-Muwahhidin
mengalami kelemahan. Paus Innosent III menghasut raja-raja Kristen untuk
mengadakan penahlukan kembali (reconkuista). Dalam perang al-Uqab di Las Nafas
tahun 1212 pasukan Kristen yang dipimpin Alfonso VIII dari Castila memperoleh
kemenangan. Sejak saat itu daulah Muwahhidain mundur baik di Andalus maupun di
Afrika Utara. Andalus mengalami perpecahan kembali dibawah raja-raja lokal,
sedangkan umat kristen makin kuat dan menyerang sehingga Kordova jatuh pada
tahun 1236M. Umat Islam Andalus jatuh dibawah kekuasaan Kristen kecuali Granada
yang dikuasai oleh Bani Ahmar sejak tahun 1232M.
3)
Masa
antara tahun 1232-1492M, ketika umat Islam Andalus bertahan di wilayah Granada
dibawah kuasa Bani Ahmar. Pendiri dinasti ini adalah Sultan Muhammad Ibn Yusuf bergelar al-Nasr, oleh karena itu kerajaan ini
disebut juga Nasriyyah. Kerajaan ini merupakan kerajaan terakhir umat Islam
Andalus yang berkuasa di wilayah antara Almeria dan Gibraltar, pesisir Tenggara
Andalus. Dinasti ini dapat bertahan karena di lingkupi ole bukit sebagai
pertahanan dan mempunyai hubungan yang dekat dengan Negeri Islam Afrika Utara
yang waktu itu dibawah kerajaan Marin. Ditambah lagi Granada merupakan tempat
berkumpulnya pelarian tentara dan umat Islam dari wilayah selain Andalus ketika
wilayah itu dikuasai tentara kristen. Oleh karena itu, Dinasti ini pernah
mencapai kemajuan diantaranya membangun istana al-Hamra. Namun pada dekade
terkhir abad XIV M dinasti ini telah lemah akibat kekuasaan. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh kerajaan kristen yang telah mempersatukan diri melalui
pernikahan antara Esabella dari Aragon dengan raja Ferdinand dari Castila untuk
bersama-sama merebut kerajaan Granada. Pada tahun 1487 mereka dapat merebut
Malaga, tahun 1489 menguasai Almeria, tahun 1492 menguasai Granada. Raja
terakhir Granada, Abu Abdullah melarikan diri ke Afrika Utara.
Pusat-pusat
peradaban Islam di Spanyol adalah sebagai berikut:
1.
Cordova
Cordova merupakan salah satu diantara kota-kota besar dan ajaib.
Cordova adalah kota lama yang dibangun kembali dengan gaya Islam dengan luas 144
mil persegi.
Menurut George zaidan, bahwa
bangunan yang terdapat dalam kota Cordova diantaranya:
3.873 masjid, 27 lembaga pendidikan, dan 70 buah perpustakaan dengan isi setiap
perpustakaan 400.000 buku, disamping itu masih ada perpustakaan pribadi.[12]
Sebaagai ibu kota pemerintahan, Cordova di masa bani Umayyah
mengalami perkembangan yang pesat. Banyak bangunan-bangunan baru yang didirikan
seperti Istana dan Masjid-masjid. Kota ini diperluas dengan memperbesar tembok
yang mengelilinginya. Sebuah jembatan dengan gaya arsitektur Islam yang
mempunyai 16 lengkungan dalam gaya romawi, menghubungkan Cordova dengan daerah
pinggiran diseberang sungai. Disebelah barat jembatan itu berdiri Istana al Caza.
Perkembangan kota ini mencapai puncaknya pada abd. Al-Rahman al-Nashir
dipertengahan abad ke-10 M. Pada masa pemerintahan Islam Cordova terkenal juga
sebagai pusat kerajinan barang-barang dari perak, sulaman-sulaman dari sutra
dan kulit yang mempunyai bentuk husus. Pada tahun 1236 M. Cordova direbut oleh
tentara kristen dibawah pimpinan Ferdinand III dari castila. Setelah itu,
supremasi islam di Spanyol mulai mengalami zaman kemunduran.
Pada masa pemerintahan bani Umayyah di Spanyol, Cordova menjadi
pusat ilmu pengetahuan. Di kota ini berdiri Universitas Cordova. Banyak ilmuwan
dari dunia Islam bagian timur yang tertarik untuk mengajar di Universitas ini.
Disamping itu, di kota ini juga terdapat sebuah perpustakaan besar yang
mempunyai koleksi buku kira-kira 400 judul. Daftar sebagian dari buku-buku itu
terkumpul dalam 44 jilid buku besar. Kemajuan ilmu pengetahuan disana tidak
dapat terlepas dari dua orang Kholifah pencinta ilmu, Abd. Al-Rahman al-Nashir
dan anaknya al-Hakam. Yang disebut terakhir ini memerintahkan pegawainya untuk
mencari dan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, baik klasik maupun kontemporer.
Bahkan, ia ikut langsung dalam pengumpulan buku itu. Ia menulis surat kepada
penulis-penulis terkenal untuk mendapat karyanya dengan imbalan yang tinggi. Pada
masanya lah tercapai apa yang dinamakan masa keemasan ilmu pengetahuan dan
sastra di Spanyol Islam.
Cordova telah menghasilkan banyak ulama untuk kita dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan seperti Ibnu Abdil Barr, Ibn Hazm az-Zhahiri, Ibnu
Rusyd, az-Zahrawi, al-Idrisi, al-Abbas bin Farnas, al-Qurthubi dan lainnya.
Cordova tetap dalam keunggulan seperti ini dibandingkan dengan
kota-kota lain di Spanyol hingga runtuhnya masa dinasti Umawiyah pada tahun 404
H atau 1013 M, ketika tentara Barbar memberontak dan menggulingkan
kekhilafahan. Mereka menghancurkan istana-istana para Khalifah,
meluluhlantahkan kota serta merampas keindahannya. Sejak saat itu padamlah
sinar kemajuan di kota tersebut dan pindah ke kota selanjutnya, Asybiliah
(Sevilla).
Masjid Jami’ terhitung sebagai satu karya besar dalam bidang seni
bangunan yang didirikan pada masa Abdurrahman ad-Dakhil (Abdurrahman an-Nashir).
Dan Masjid Cordoba tetap eksis hingga sekarang ini dengan seni dan artefak ala
Islam lengkap dengan mihrab-mihrabnya. Akan tetapi sekarang telah berubah
fungsi menjadi Gereja Katedral setelah Cordoba berhasil ditaklukkan dan setelah
dirombak dengan membuang banyak kubah serta ornamen keislamannya.
Sekalipun demikian, Masjid ini mampu mempertahankan sebagian
keunggulannya, hingga jatuh ke tangan Fernando III pada tanggal 23 Syawwal 633
H. Maka kaum muslimin sangat bersedih melihat keruntuhan ini, sehingga masjid
tersebut beralih fungsi menjadi gereja. Kaum muslimin dipaksa meninggalkannya
dan usailah sudah lembaran kebudayaan kaum muslimin yang luar biasa,
berlangsung selama 5 abad di kota tersebut.
2.
Granada
Kota Granada terletak ditepi sungai genil di kaki gunung Sierra
Nevada, berdekatan dengan pantai laut mediterania (Laut Tengah). Kota ini
berada dibawah kekuasaan Islam hampir bersamaan dengan kota-kota lain di
Spanyol yang ditaklukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Tarik Ibn
Ziyad dan Musa ibn Nushair tahun 711 M. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di
Spanyol, kota ini disebut Andalusia Atas.
Pada masa itu, Granada mengalami perkembangan pesat. Setelah Bani
Umayyah mengalami kemunduran, tahun 1031 M, dalam jangka 60 tahun, Granada
diperintah oleh dinasti Zirids. Setelah itu, Granada jatuh kebawah pemerintahan
Al-Mubarithun, sebuah dinasti barbar di Afrika Utara pada tahun 1090-1149 M. Pada
abad ke12, Granada menjadi Kota terbesar kelima di Spanyol. Sejak abad ke13,
Granada diperintah oleh dinasti Nasrid selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa
itulah dibangun istana megah (Al-Hambra). Istana ini dibangun oleh
arsitek-arsitek muslim pada tahun 1238 M dan terus dikembangkan sampai tahun
1358 M. Istana ini terletak di sebelah Timur Al-Kajaba, sebuah benteng tentara
Islam. Granada terkenal dengan tembok dan 20 menara mengitarinya.
Pada masa pemerintahan Muhammad V (1354-1391 M), Granada mencapai
puncak kejayaannya, baik dalam bidang arsitektur maupun dalam bidang politik.
Pada tahun 1492, kota ini jatuh ke tangan penguasa Kristen, raja Ferdinand dan
Issabela. Selanjutnya, tahun 1610 M orang-orang Islam diusir dari kota ini oleh
penguasa Kristen.[13]
Maka, dengan jatuhnya Granada ke tangan orang-orang Nasrani,
Andalusia kemudian lepas selamanya dari tangan kaum muslimin, padahalsebenarnya
Granada merupakan benteng terakhir bagi mereka. Setelah itu orang-orang Nasrani
mulai melakukan pemusnahan terhadap kaum muslimin dan melancarkan program
kristenisasi untuk menghilangkan peradaban Islam yang telah berlangsung selama
delapan abad di Andalusia.[14]
C.
Pusat
peradaban Islam di Samarkhan
Tahun 323 M,
kota Samarkand menjadi bagian dari kekuasaan yang berpusat di Bactaria. Setelah
itu, di sana berdiri kerajaan Graeco Bactrion (Bactria Yunani) pada masa Anthiochus
II Theos. Sejak itu, hubungan politik dan ekonomi antara samarkand dengan
persia terputus, meskipun hubungan dalam budaya terus berlanjut.
Riwayat kota
Bukhara , diperkirakan sudah ada ketika Iskandar datang ke sana , di lihat dari
bangunan-bangunan kuno yang dipengaruhi Persia dan pengaruh Cina. Sebelum
kedatangan Islam ke daerah tersebut, masyarakat masih memeluk agama Saman,
yaitu agama nenek moyang mereka dan agama Budha. Pada masa pemerintahan
Khalifah Ustman bin Affan, usaha penyebaran islam antara lain oleh Ahnaf bin
Qays salah seorang panglima Arab, menuju ke daerah tepian sungai Jihun pada
tahun 30 H.Kemudian pada masa Yazid bin Abi Sufyan dari Dinasti Umayyah, banyak
melakukan serangan ke beberapa daerah di Turkistan bagian selatan. Di bawah
pimpinan Said bin Utsman, tentara islam menyebrangi sungai Jihun, dan memasuki
wilayah Uzbekistan . Dalam penaklukan itu, kota Biekand, yaitu sebuah kota yang
terletak di antara Bukhara dan sungai Jihun, dapat dikuasai dengan cara perdamaian.
Selanjutnya tentara islam mulai memasuki kota Samarkand pada tahun 55 H.
Setelah beberapa lama, Bukhara melanggar perjanjian, sehingga tentara islam
harus menaklukkan kembali kota tersebut.
Setelah
Qutaibah bin Muslim Al Bahily berhasil menaklukkan Khurasan tahun 88 H, Bukhara
tahun 90 H/709 M da Farghana tahun 96 H/ 725 M berhasil juga ditaklukkan mulai
saat iulah agama islam tersebar ke wilayah Rusia. Sebagai pusat kegiatan
dakwah, Qutaibah membangun sebuah masjid di Bukhara tahun 94 H (713 M). kemudian
pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Azis
beberapa raja dan pemimpin masyarakat di wilayah Uzbekistan menyatakan diri
sebagai pemeluk Islam dan akan selalu menaati segala peraturan yang ditetapkan
oleh pemerintahan Islam di Pusat, yaitu Damaskus. Masuknya para pemimpin dan
tokoh masyarakat di Uzbekistan dan beberapa penguasa lainnya di Sajistan, Balkh
, Bukhara dan Samarkand menjadikan istilah mulai berkembang dan dianut
masyarakat Rusia. Terdapat empat orang pahlawan yang sangat berjasa dalam
proses Islamisasi wilayah Transoxania di Rusia, yaitu Muslim bin Ziyad bin Abi
Sofyan, Muhlab bin Abi Shafrah, Yazid bin Muhalab, dan Qutaibah bin Muslim Al
Bahily.
Samarkhan adalah kota kedua terbesar dan
ibu kota pertama di Republik Uzbekistan. Samarkhan berada di sebelah sungai
as-Saghad.[15]
Kota ini terdiri dari tiga bagian benteng yang terleletak di bagian selatan
kota. Di dalamnya terdapat taman-taman yang indah. Kota ini dikelilingi oleh
parit dan mempunyai empat pintu gerbang yaitu di Timur Bab as-Sin, sebagai
suatu kenangan akan hubungan lama antara kota Samarkhan dan Cina dalam perdagangan kulit, di Utara Bab
Bukhara, pintu yang menghadap kota Bukhara, di Barat Bab an-Nawbahar, dan
diselatan Bab al-Kabir.[16]
Pada tahun 202 H/819 M. Al Makmun, Kholifah dari
dinasti Bani Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad,
menyerahkan urusan pemerintahan negeri Transoxania (Samarkhan dan
Bukhoro)
kepada Ibn Saman. Sejak itu kedua kota berada dibawah
kekuasaan Dinasti Samaniyyah.
Penghasilan utama kota Samarkhan adalah
kertas. Pabrik kertas ini di pindahkan dari cina. disini juga terdapat makam Qosim ibnu Abbas yang dipandang
sebagai pembawa agama Islam ke negri ini, dan juga makam abu
Mansur al Maturidi.[17]
D.
Pusat
peradaban Islam di Bukhara
Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam
datang membawa dakwah. Pada akhir 672 M, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi
bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil
menaklukkan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal,
Muawiyah, khalifah Bani Umayyah, memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk
menaklukkan Bukhara. Pasukan tentara Islam pertama kali menjejakkan kaki di
tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang Ubaidillah bin
Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710
M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang
Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.
Tepat pada 850 M. Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid.
Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah
itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya
menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.
Bukhara adalah salah satu diantara beberapa
daerah yang dikenal dengan sebutan ma wara an-nahr yaitu daerah yang
terletak disekitar sungai jihun di Uzbekistan, asia tengah. Buku-buku geografi
lama menganggap Bukhara sebagai kota yang paling besar diantara kota-kota yang
ada dalam kekuasaan umat islam. Bukhara tidak saja terkenal keindahannya,juga
merupakan pusat perdagangan yang mempertemukan pedagang-pedagang cina dengan
asia barat.
Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di Kota
Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutra, tenunan kain dari kapas, karpet,
katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai
bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina
dan Asia Barat.
Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun
dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan
buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat
bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran bila kemudian nama Bukhara
makin populer.
Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat
intelektual dunia Islam. Saat itu, di Kota Bukhara bermunculan
madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai
memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah.
Keluarga yang kaya-raya mendidik putra-putrinya dengan sistem home schooling
atau sekolah di rumah.
Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama
enam tahun. Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke
madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing
selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21
tahun.
Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama,
aritmatika, yurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di
Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan
bahasa Persia dan Uzbek. Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis,
menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah
Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.
Bukhara adalah terkenal dengan perdagangan
dan industri tenun. Disini juga terdapat makam Baha
‘Uddin An-Naqsabandi[18]
wafat pada abad ke-8 H/14 M. Disini ada ulama ahli hadis terkenal yaitu imam
bukhari. Yang menulis kitab shahih bukhari.[19]
IV.
KESIMPULAN
1.
Peradaban
Islam di India
Awal
masuk Islam di india dapat dibagi
dalam beberapa periode,
yaitu:
1) Periode
Nabi Muhammad SAW
2) Periode
Khulafaur Rhasyidin dan Bani Umayyah
3) Periode
Dinasti Ghazni
4) Dinasti
Ghuri.
Dan
Delhi merupakan ibu kota kerajaan-kerajaan Islam di India sejak tahun 608
H/1211 M.
2. Peradaban Islam di Andalusia
Penguwasaan umat islam terhadap Andalus dapat dibagi menjadi beberapa periode,
yaitu:
a.
Periode
pertama
Periode antara tahun 711-755M, Andalus diperintah oleh para wali yang diangkat
oleh Khalifah bani Umayyah yang berpusat di Damaskus.
b.
Periode
kedua
Periode antara tahun 755-1013M pada waktu Andalus dikuasai oleh daulah Amawiyah
II. Pada periode ini dapat dibagi menjadi dua masa, yaitu: Masa
keamiran tahun 755-912 dan
kedua pada masa
kekhalifahan tahun 912-1013M
c.
Periode
ketiga
Periode antara tahun 1031-1419M, ketika umat Islam Andalus terpecah
dan menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
3.
Pusat
peradaban Islam di Samarkhan
Samarkhan adalah kota kedua terbesar dan ibu kota pertama di Republik Uzbekistan.
Samarkhan berada di sebelah sungai as-Saghad. Penghasilan utama kota Samarkhan
adalah kertas. Pabrik kertas ini di pindahkan dari cina. disini juga terdapat
makam Qosim ibnu Abbas yang dipandang sebagai pembawa agama Islam ke negri ini, dan juga makam abu
Mansur al Maturidi.
4.
Pusat
peradaban Islam di Bukhara
Bukhara adalah salah satu diantara beberapa
daerah yang dikenal dengan sebutan ma wara an-nahr yaitu daerah yang
terletak disekitar sungai jihun di Uzbekistan, asia tengah. Bukhara
merupakan pusat perdagangan yang
mempertemukan pedagang-pedagang cina dengan asia barat. Pada era
keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam
Kota-kota seperti Delhi, Cordova, Granada, Samarkhan dan Bhukara
dapat menjadi Pusat peradaban Islam karena banyak faktor yang menunjang
misalnya di Delhi, selain letaknya di pinggir sungai Janma yang notabene adalah
daerah transit juga kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menunjangnya. Begitu
juga di Cordova menjadi target menuntut ilmu setelah adanya Universitas Cordova.
Lain halnya di Samarkhan dan Bhukara, selain kemahiran dalam sistem penataan
kota, Samarkhan adalah penghasil kertas sedangkan Bukhara adalah pusat industri
tenun.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Usuary, Ahmad, Sejarah Islam (sejak zaman Nabi adam hingga abad XX), Jakarta
: Akbar media, 2003.
Hitti,
Phiilip K, Hystory Of The Arabs, Terjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Karim,
M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka
Book Publisher, 2007.
_________,
Sejarah Islam di India, Yogyakarta, Bunga Grafies Production,2003.
Munir Amin,
Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Bogor: Kencana, 2003.
Syukur,
Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009.
Thahir, Muhammad, Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus, Jakarta:
PT Pustaka Jaya, 1981.
Thohar,
Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Isam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.
[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 255-256.
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Islam di India,
(Yogyakarta: Bunga Grafies Production, 2003), hlm. 6-7.
[4] M. Abdul Karim, Sejarah Islam di India,
Op. Cit., hlm. 13.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Isam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 290-291.
[6] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), 260.
[7] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 291.
[8] Phiilip K.
Hitti, Hystory Of The Arabs, Terjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi, (jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), hlm. 627.
[9] Muhammad Thahir, Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus,
(Jakarta: PT Pustaka Jaya, 1981), hlm. 373.
[10] Ajid Thohar, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 58.
[11] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Bogor: Kencana, 2003), cet.1, hlm.
120-125.
[14] Ahmad Al Usuary, Sejarah Islam (sejak zaman Nabi adam hingga
abad XX), (Jakarta : Akbar media, 2003), hlm. 347
[18] Baha ‘Uddin An-Naqsabandi adalah seorang pendiri Tarekat An-Naqsyabandiyah. An-Naqsyabandi lahir pada tahun 717H dan
wafat pada tahun 791H. Ia tinggal disebuah desa bernama Qashrul Arifa di
wilayah Bukhara. Syaikh An-Naqsyabandi dikenal sebagai seorang wali yang
memiliki banyak karamah.
[19] Fatah Syukur, Op.
Cit., hlm. 264.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar