TOKOH-TOKOH ISLAM DI INDONESIA (PART II)
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Islam Indonesia
Dosen
Pengampu: Maftuhah,
M.S.I
Di
susun oleh:
Ika Rizqi
Lestari (103111116)
Ikfina Kamalia R (103111117)
Khafidhoh Luthfiana (103111119)
Lailatul
Hidayah (103111120)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2012
TOKOH-TOKOH ISLAM DI INDONESIA (PART II)
I. PENDAHULUAN
Penyebaran agama Islam di Indonesia yang dilakukan oleh
para pedagang dari Arab dan Persia telah berhasil diterima dan menyebar ke
seluruh pelosok negeri. Kemudian pada fase berikutnya Islam mengalami
perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan dengan adanya seruan
dan gerakan pembaharuan Islam oleh berbagai tokoh dan ulama di Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk pembaharuan berbagai macam, baik berupa karya-karya dalam
bentuk buku, kitab ataupun tulisan dalam terbitan majalah, bahkan
ada juga dalam bentuk organisasi atau gerakan yang berbasis
politik.
Adapun berbagai pembaharuan Islam tersebut terjadi di
seluruh wilayah Indonesia salah satunya yang akan pemakalah bahas yakni
pembaharuan yang terjadi dan oleh tokoh yang lahir dari tanah Minangkabau atau
Sumatra Barat, antara lain Abdul Karim Amrullah, Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, dan Mahmud Yunus.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimanakah Biografi, Peranan dan Pemikiran Abdul Karim Amrullah?
B. Bagaimanakah Biografi, Peranan dan Pemikiran Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi?
C. Bagaimanakah Biografi, Peranan dan Pemikiran Mahmud Yunus?
D. Apa
sajakah karya-karya dari Abdul Karim Amrullah,
Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi dan Mahmud Yunus ?
III. PEMBAHASAN
A. Biografi,
Peran
dan Pemikiran
Abdul Karim Amrullah
1. Biografi
Abdul Karim lahir pada tanggal 17 Safar 1296 H atau
bertepatan dengan 10 Februari 1879 M, di Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam,
Sumatera Barat. Semasa kecil ia belajar agama kepada ayahnya, Muhammad Amrullah
yang dikenal sebagai seorang ulama besar. Ia juga belajar kepada sejumlah ulama
lainnya.[1]
Haji Abdul Karim Amrullah, yang juga dikenal dengan nama Haji Rasul, sebagai
seorang anak ulama bernama Syaikh Muhammad Amrullah dengan gelar Tuanku Kisai.
Ia memperoleh pendidikan elementer secara tradisional pada berbagai tempat di
daerah Minangkabau dan pada tahun 1894 pergi ke Mekkah untuk belajar selama 7
tahun. Sekembalinya ke kampung halamannya ia telah disebut Tuanku Syaikh Nan
Mudo, sebagai pengakuan atas kepandaiaannya. Kemudian ia mengunjungi Mekkah kembali
untuk beberapa tahun dan kembali pada tahun 1906. Selama bermukim yang kedua di
Mekkah ini, ia telah mulai memberikan pelajaran. Murid-muridnya antara lain
termasuk Ibrahim Musa dari Parabek (Bukittinggi) yang kemudian menjadi salah
seorang pendukung yang penting dari pembaharuan di Minangkabau. Abdul Karim
Amrullah wafat di Jakarta pada tanggal 2 juni 1945. [2]
2.
Peranannya
dalam Pembaharuan Islam
Haji Rasul mulai
mengajar pada tahun 1906 tanpa membatasi dirinya pada suatu kampung atau kota
tertentu, melainkan mengunjungi Padang Panjang, Matur, dan Padang serta juga
kampung-kampung yang terletak antara Maninjau dengan Padang Panjang. Pendekatan
yang ia lakukan bersifat keras, tanpa maaf dan tanpa kompromi.
Tabligh-tablighnya ditandai oleh kecaman dan serangan terhadap segala perbuatan
yang tidak disetujuinya, sampai-sampai persoalan kecil tidak lepas dari perhatiannya dan ia sangat keras terhadap adat.[3]
Haji
Rasul banyak mengadakan perjalanan di luar daerahnya. Yang terpenting antaranya
ialah kepergiannya ke Malaya (1916) dan ke Jawa (1917). Dalam kunjungannya ke Jawa
ini ia mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin sarekat Islam dan
Muhammadiyah. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun
1925, yang segera meluas dengan cepat. Muhammadiyah memang memperoleh
propagandis yang gigih dari daerah ini, yang dikirim ke pulau-pulau lain oleh
pusat gerakan tersebut di Yogyakarta.[4]
Haji Rasul memang sangat aktif dalam gerakan di
daerah Minangkabau. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatera Thawalib
yang melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai politik pada permulaan
tahun 1930-an. Pada mulanya
Sumatera Thawalib merupakan madrasah tradisional Minangkabau bernama Surau
Jembatan Besi, karena tidak puas dengan sistem pengajaran tradisional di Surau Jembatan Besi, Haji Abdul Karim
Amrullah kemudian mengubah sistem kelas, sekolah ini dan Diniyahnya Rahmah
menjadi inti Utama gerakan Pembaharuan di Minangkabau.[5] Ia
juga menjadi penasehat Persatuan Guru-guru Agama Islam pada tahu 1920, ia memberikan
bantuannya pada usaha mendirikan Sekolah Normal Islam di Padang pada Tahun
1931, ia menentang komunisme dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan
menyerang ordonansi guru pada tahun 1928 serta ordonansi “Sekolah Liar” tahun
1932.[6]
Dari tahun 1929
sampai tahun 1939 ia sering bepergian ke seluruh daerah Sumatera untuk menyampaikan
buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Tahun 1941 ia ditahan oleh pemerintah
Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaaan dan kekuasaan
pemerintah serta peraturan adat tidak dapat berfungsi bila ia masih tinggal di
daerahnya.[7]
3. Pemikiran
Abdul Karim Amrullah
a. Tauhid
(teologi)
Ilmu tauhid (ilmu keesaan atau ilmu
teologi,) menurut Haji Abdul Karim Amrullah merupakan ilmu penting dan besar
dalam Islam.ilmu ini katanya, membicarakan sifat-sifat Tuhan dan semua
nabi-Nya, orang-orang suci yang dikirim oleh Tuhan untuk manusia bermula dari
Adam dan berakhir dengan Muhammad. Tauhid merupakan ilmu pengetahuan yang
termasyhur karena membicarakan Tuhan serta orang-orang suci dan masalah-masalah
agama terpenting.[8]
b. Qur’an
dan Hadits
Qur’an dan Hadits sangat penting
bagi Haji Abdul Karim Amrullah, karena pandangan fundamental menekankan bahwa
sumber-sumber ini mewakili Islamdalam bentuk murni, dan Islam dalam bentuk itu
bisa disesuaikan pada situasian konsep yang berlaku di dunai modern. Qur’an
adalah unik menurut Haji Abdul Karim Amrullah, karena berbeda denagn tulisan
manapun, manusia tidak mampu mengahsilakn sesuatu yang mirip atau hamper serupa
dengan itu, baik dari segi gaya maupun isi. Menurut beliau, sunnah merupakan
sumber independen bagi ajaran-ajaran Islam di smaping Qur’an, karena sunnah
memutuskan, mengatur, maupun menafsirkan apa yang tidak ditemukanatua tidak
diterangkan dengan jelas di dalam Qur’an.[9]
c. Mistik
Gagasan-gagasan Dr. H. Abdul karim
Amrullah tentang mistik, sebagian muncul adalam artikel berbahasa melayu dan
diterbitkan dalam Almanak Muhammaddiyah (informasi umum tentang
organisasi Muhammaddiyah) tahun 1932-1939. Ia menggambarkan maksud tasawwuf
(mistik) yaitu: a) untuk membersihkan tujuan iman seseorang dari bid’ah,
yaitu tujuan-tujuan yang tidak berdasarkan ajaran-ajaran Qur’an dan Sunnah atau
yang bertentangan dengan iman dan tujuan Nabi serta para sahabatnya yang
termasyhur. b) untuk membersihkan rahasia-rahasia manusia serta tujuan
tersembunyinya dari kemunafikan dan kecemburuan yang mungkin diungkapkan dengan
cara yang sangat halus.[10]
d. Pandangannya
Tentang Taqlid
Sikap taqlid dan praktek
agama yang tidak benar, terutama tasawwuf (mistik) merupakan dua pokok
utama serangan Haji Abdul Karim Amrullah pada masa awal gerakanpambaruan di
Minangkabau. Taqlid harus ditinggalkan, tegas haji Abdul Karim Amrullah,
karena menghalangi kaum muslimun memakai akal budinyauntuk mengenal Islam lebih
banyak dan mencegah mereka menggali “rahasia-rahasia alam sejagad”.[11]
e. Kepemimpinan
Masyarakat
Menurut pendapat Dr. H. abdul Karim
Amrullah, upaya untuk mengubah masyrakat Minangkabau harus dimulai dari
struktur sosialnya, khususnya mereka yang bertanggung jawab atas balai
nagari (dewan negeri). Ia mengatakan Islam harus lebih tinggi daripada
hukum adat karena itu petugas-petugas agama adat seperti imam, khatib, dan
ulama harus lebih mengetahui dan mengerti ajaran-ajaran Islam serta
praktek-prakteknya dibandingkan para penghulu (kepala adat). Ia percaya bahwa
hukum Allah adalah satu-satunya hukum yang mengatur masyarakat.[12]
f. Hukum
Waris Adat
Haji Abdul Karim Amrullah tampaknya
setuju dengan hokum waris adat mengenai harato tuo, yang tidak boleh
dijual, digadai atau diwariskan. Akan tetapi ia mmempertahankan gagasannya
bahwa harato pencaharian (milik pribadi), harus diterapkan sesuai al-fara’id
(hukum waris Islam), karena itu harta almarhum harus diwariskan kepada
anak-anaknya, istrinya, orang tuanya atau ahli waris yang sah lainnya, seperti
ditetapkan oleh Tuhan dalam Qur’an dan bukan kepada keponakan-keponakannya
seperti ditetapkan hukum adat. H. Abdul Karim Amrullah dalam menyelesaikan
sebuah masalah yang belum pernah dijelaskan oleh pemimpin-pemimpin agama lain
di daerah itu sebelum dia, yaitu Ia tidak mau begitu saja mengikuti ajaran
gurunya, Syekh Ahmad Khatib, tetapi mencoba menggunakan nalarnya sendiri dan
mengeluarkan ijtihad sendiri sehingga bisa diterapkan di daerah
sesuaidengan keadaan masyarakat.[13]
g. Gagasan
tentang Perempuan
Pandangannya tentang perempuan
sangat mirip denagn pandangan para pemikir Muslim dan ulama abad pertengahan,
ketika perempuan diharapkan menanti suaminya, tinggal di rumah dan merawat
anak-anak.ia tidak begitu peduli untuk mengubah status perempuan dalam arti
yang dikenal sekarang sebagai “emansipasi perempuan” seperti dituntut oleh
organisasi perempuan waktu itu. Abdul Karim Amrullah mempertahankan pendapatnya
bahwa perempuan yang fisiknya lemah, tidak mempunyai hak yang sama seperti
laki-laki yang oleh Tuhan diciptakan bertubuh kuat agar mampu melindungi
perempuan dalam kehidupan. Haji Abdul Karim Amrullah tampaknya menerima gagasan
kemajuan bagi laki-laki dan perempuan seperti terlihat dalam dukungannya
terhadap pendirian lembaga-lembaga
pendidikan baik untuk laki-laki maupun perempuan, dan organisasi-organisasi
lain dimana perempuan juga boleh ambil bagian.[14]
B. Biografi,
Peran
dan Pemikiran
Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abd Al-Latif
bin abd Al-Rahman bin Abdullah bin Abd Al-Aziz al-Minangkabawi. Ayahnya bernama
Abd Al-Latif dan ibunya Limbak Urai. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti. Ada dua versi mengenai kelahirannya. Menurut Hamka, Ahmad Kahtib lahir
pada tahun 1860 M. sementara Deliar Noer berpendapat bahwa Ahmad Khatib lahir
di Bukittinggi pada tahun 1855 M.[15]
Ahmad Khatib lahir dari kalangan keluarga yang mempunyai latar
belakang agama dan adat yang kuat, Syaikh Ahmad Khatib memperoleh pendidikannya
pada sekolah rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Sekolah
rendah dan sekolah guru ini didirikan oleh pemerintah Belanda. Ia pergi ke Mekkah
pada tahun 1876 di mana ia mencapai kedudukan tertinggi dengan mengajarkan
agama, yaitu sebagai imam dari Madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Walaupun ia
tidak pernah kembali ke daerah asalnya kemudian, tetapi ia tetap mempunyai
hubungan dengan daerah asalnya ini melalui mereka yang naik haji ke Mekkah dan
belajar padanya dan yang kemudian menjadi guru di daerah-daerah asal mereka
masing-masing. Hubungan tersebut dipererat lagi dengan publikasi
tulisan-tulisannya sendiri tentang persoalan yang dipertikaikan yang sering
dikemukakan kepadanya oleh bekas murid-muridnya dari Indonesia. Sebagai Imam
dari mazhab Syafi’i tidaklah mungkin diharapkan dari Syaikh Ahmad Khatib untuk
meninggalkan madzhab
ini.[16]
2.
Peranannya
dalam Pembaharuan Islam
Peranan Ahmad Khatib dalam pergerakan Islam di
Indonesia sejak awal abad 20.
Beliau adalah
seorang ulama pendidik pembaharu dan pembangun Islam di Negara Indonesia.
Beliau berjuang dari tempatnya yang jauh di Mekah. Walaupun tidak terjun
langsung, beliau memegang peranan penting dalam pergerakan Islam di tanah air
pada awal abad ini. Beliau telah mendidik para pelopor pembaharuan dan para
pembangun Islam di Minangkabau khususnya dan Indonesia umumnya. Beliau menyalurkan pemikirannya ke tanah air
melalui orang-orang yang datang menunaikan Ibadah haji ke Mekah, melalui
pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di kota suci itu dan melalui
publikasi-publikasi.[17]
Sebagai seorang guru besar di Masjidil haram yang
terkenal karena tinggi ilmunya, banyak murid yang belajar kepadanya,
diantaranya dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Beliau menekankan agar para muridnya mempunyai
keberanian untuk mengungkap pikiran sendiri dan dibiarkan berkenalan dengan
ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh dan tidak melarang
murid-muridnya untuk membaca dan mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seperti
yang terdapat di dalam majalah al’Urwat
al-Wutsqa, dan tafsir al-Manar, walaupun
ia membiarkan hal ini dengan maksud supaya pemikiran yang dikemukakan oleh
pembaharu Mesir tersebut ditolak.[18]
Sebaliknya pula ia kenal betul dengan peringatan yang diberikan oleh Imam
Syafi’i yang mendesak pada siapapun juga umumnya untuk meninggalkan fatwanya
(fatwa Syafi’i sendiri) apabila fatwa-fatwa ini ternyata berlawanan dengan
sunnah Nabi. [19]
Beliau memberikan
dasar bahasa arab yang kuat kepada muridnya sehingga setiap murid akan dapat
mempelajari dan menelaah ajaran Islam dari kedua sumber aslinya (Al-Qur’an dan
Hadits). Ahmad Khatib telah menciptakan kader ulama yang
tidak hanya bisa bertaklid kepada ulama terdahulu. Kepada kadernya, Ia
menekankan tanggung jawab mereka sebagai pewaris para nabi yang akan menegakkan hukum Islam sesuai wahyu Allah dan penafsiran
para ahli fiqih. Di Sumatera Barat, ia banyak mendirikan Surau-surau yang
kemudian berkembang
menjadi sekoloah-sekolah agama yang lebih maju dan sistematis dengan tambahan
berbagai pengetahuna umum. Pusat-pusat pengajaran ini menyebarkan pengaruhnya
ke seluruh tanah air melalui murid-murid
yang datang belajar dari berbagai daerah kemudian kembali ke daerah masing-masing dan mendirikan
cabang pula disana. Dari pusat-pusat pengajaran ini, timbullah gerakan yang
penuh semangat dan dinamika di awal abad ke-20. Salah satu gerakan yang ditunjang oleh kerjasama antara
murid-murid Ahmad khatib yang ada di Jawa dan Sumatera yang tetap utuh dan
semakin berkembang hingga sekarang adalah gerakan Muhammaddiyah.[20]
Mengenai masalah-masalah di Minangkabau Syaikh Ahmad
Khatib terkenal sangat dalam menolak dua macam kebiasaan. Ia sangat menentang
Thariqat Naqsyabandiyah yang sangat banyak dipraktekkan pada masa itu seperti
iapun juga sangat menentang peraturan-peraturan adat tentang hal waris. Kedua
hal ini merupakan masalah yang terus-menerus ditentang kemudian oleh pembaharu-pembaharu lain di daerah
tersebut. Tercatat sebagai pembaharu lain ini, yang terlibat secara langsung
didalam merealisir perubahan di daerah Minangkabau ialah Syaikh Muhammad Taher
Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji
Abdullah Ahmad. [21]
3.
Pemikiran
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
a.
Tarekat
Ahmad
Khatib sangat menentang tarekat. Menurutnya tarekat termasuk bid’ah yang tidak
terdapat pada masa Rasul, para sahabat dan tidak pernah diamalkan oleh ulama
madzhab empat, seperti menghadirkan gambar atau rupa guru dalam ingatan ketika
akan memulai suluk sebagai perantara dalam doa kepada Tuhan. Beliau mengatakan
bahwa perbuatan serupa itu sama saja dengan penyembahan berhala yang dilakukan
oleh seorang musyrik. Karena rupa guru yang dihadirkan dan berhala-berhala yang
dibuat oleh manusia sama-sama tak memberikan manfaat dan mudharat kepada
manusia.[22]
b.
Adat
Minangkabau
Beliau
sangat menentang adat Minangkabau terutama dalam hal warisan. Beliau
berpendapat bahwa barang siapa yang masih mematuhi adat di samping hukum Tuhan
adalah kafir dan akan masuk neraka. Semua harta benda yang diperoleh menurut
hukum waris kemenakan dianggap sebagai harta rampasan. Barang siapa yang
mempertahankannya sebagai miliknya berdosa besar, karena menghabiskan harta
benda anak yatim piatu. Pelakunya adalah fasik dan tidak berhak atau bisa
menjadi saksi dalam perkawinan. Karena itu taubat adalah mutlak dan perkawinan
itu harus diulang kembali dan kalau tidak maka orang menjadi murtad. Hendaknya
hubungan diputuskan dengan mereka yang tidak mau menerima hukum waris Islam dan
tidak punya hak untuk mendapatkan pemakaman secara Islam.[23]
c.
Penjajah
Belanda
Ahmad
Khatib adalah seseorang yang anti Belanda tetapi sebagai penjajah bukan sebagai
bangsa non Islam.[24]
C. Biografi,
Peran
dan Pemikiran
Mahmud Yunus
1. Biografi
Mahmud Yunus dilahirkan dari pasangan Yunus B. Incek
dan Hafsah binti Imam Sami’un, ia lahir 10 Februari 1899 di desa Sunggayang,
Batusangkar, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang imam, sedangkan ibunya
adalah anak dari Engku Gadang M. Thahir bin Ali seorang alim dan pendiri sebuah
surau (semacam pesantren di Jawa).[25]
Ketika berumur 7 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an
di bawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal dengan nama Engku Gadang.
Setelah menamatkan Al-Qur’an, ia menggantikan kakeknya sebagai guru ngaji Al-Qur’an. Dua tahun
kemudian ia melanjutkan studi ke sekolah desa dan kemudian meneruskan ke Madras
School yang dibuka 4 November 1910. Selanjutnya tahun 1917 Mahmud Yunus dan
teman-temannya mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan
belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah (belajar secara
melingkar di sekitar guru) di samping sistem madrasah dengan mengajarkan
kitab-kitab mutakhir.[26] Mahmud
Yunus wafat di Jakarta pada tanggal 16 januari 1982.[27]
2. Peranannya dalam Perkembangan dan Pembaharuan Islam
Di samping sebagai
guru, Mahmud Yunus juga melakukan kegiatan penting lainnya, seperti mewakili
Syaikh H. M. Thaib (pemimpin madrasah) menghadiri rapat besar alim ulama’
seluruh Minangkabau (tahun 1919). Dalam rapat besar itu
diputuskan untuk mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Mahmud Yunus
termasuk salah seorang anggotanya. Kegiatan lainnya adalah memprakarsai
berdirinya Perkumpulan Pelajar- Pelajar Islam Batusangkar dengan nama “Sumatera
Thawalib”. Pada tahun 1920 perkumpulan ini berhasil menerbitkan majalah Islam
yang bernama Al-Basyir di bawah asuhan Mahmud Yunus. Kegiatan- kegiatan
tersebut menimbulkan semangatnya untuk melanjutkan study ke Mesir. Namu niatnya
ini gagal karena tidak memperoleh visa dari konsul Inggris. Karena kegagalan
ini, Mahmud Yunus mengintensifkan dirinya menulis buku-buku di samping
mengajar. [28]
Selanjutnya pada bulan Maret 1923, Mahmud Yunus
menunaikan ibadah haji lewat Penang, Malaysia. Setelan menunaikan ibadah haji,
ia belajar di Mesir untuk melanjutkan studinya yang selama ini menjadi
cita-citanya. Ia mulai studinya di Al-Azhar (1924) dan di Darul Ulum Ulya
(Cairo) sampai tahun 1930. Di bidang politik, Mahmud Yunus ikut memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpilih sebagai penasihat
residen mewakili Majelis Islam Tinggi dan pada tahun yang sama ia menjadi
anggota Chu Sangi Kai.[29]
3.
Pemikiran
Mahmud Yunus
Gagasan dan pemikiran Mahmud Yunus dalam bidang pendidikan Islam dapat dilihat
sebagai berikut:
a.
Dari
segi tujuan pendidikan Islam, ia menghendaki agar lulusan pendidikan Islam
tidak kalah dengan lulusan pendidikan yang belajar di sekolah-sekolah yang
sudah maju, bahkan lulusan pendidikan Islam tersebut mutunya lebih baik dari
lulusan sekolah-sekolah yang sudah maju. Yaitu lulusan
pendidikan Islam yang selain memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
dalam bidang ilmu-ilmu umum, juga memiliki wawasan dan kepribadian islami yang
kuat.
b.
Dari segi kurikulum, ia menawarkan
kurikulum pengajaran bahasa
arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu arab
yang dipadukan dengan menerapkannya dalam pergaulan hidup sehari-hari.
c.
Dalam bidang kelembagaan, ia termasuk
orang yang memelopori perlunya mengubah system pengajaran dari yang bercorak
individual kepada system klasikal. Diketahui bahwa pada system individual
sebagaimana diterapkan di pesantren- pesantren menggunakan metode sorogan atau
weton. Mahmud Yunus mencoba memperkenalkan Kulliyah al-Muallimin al-Islamiyah
(KMI) pada tahun 1931, di mana pelaksanaan pengajaran dilaksanakan di
kelas-kelas dengan jadwal dan kurikulum yang sudah ditetapkan. Jenjang kelas
pun diatur, yakni mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas IV, setingkat dengan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
d.
Dalam bidang metode pengajaran, ia
memperkenalkan buku pegangan bagi guru-guru agama yang berisi tentang cara
mengajarkan agama yang sebaik-baiknya kepada peserta didik sesuai dengan
tingkat usia dan jenjang pendidikan yang sedang diikutinya. [30]
4.
Karya-karya
dari Abdul KarimAmrullah, Syaikh Ahmad Khatib dan Mahmud Yunus
1.
Abdul
Karim Amrullah
a. Al-Ifsah
(1919), berisi uraian mengenai nikah dengan segala aspeknya
b. Al-Burhan
(1922), berisi tentang Tafsir Juz Amma
c. An-Nida
(1929),
yang menerangkan wajibnya shalat jama’ah
d. Al-Fara’id,
(1932), berisi tentang tuntunan dalam pembagian waris
e. Al-Kawakib
ad-Durriyyah (1940), berisi bantahan terhadap seorang
ulama Bugis yang mengharamkan khutbah jum’at dalam bahasa Indonesia.[31]
2.
Syaikh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Pendapatnya tentang tarekat Naqsabandiyah ditulis dalam
tiga buku pada tahun 1324-1326 M.buku itu berjudul Izhharu aqli Kadzibin fi
Tasyabbuhihim bi al-badi’in yang dicetak di Padang pada tahun 1906. Dua
tahun kemudian buku ini mengalami cetak ulang. Buku ini ditulis dalam bahasa
Melayu dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1961. Edisi
bahasa Indonesia ini dicetak ulang pada tahun 1978. Ada lima prinsip pokok
tarekat Naqsabandiyah yang dibahas dalam buku itu:
a.
Koeksitensi tarekat Naqsabandiyah dalam
syari’at Islam.
b.
Validitas (kesahihan) silsilah tarekat
Naqsabandiyah sampai pada Rasulullah.
c.
Mistik dan suluk.
d.
Larangan makan daging dalam tarekat
Seorang murid harus membayangkan
gurunya sebagai persiapan konsentrasi.
Adapun karya-karya
yang lain, antara lain:
a.
Al-Manhajul Masyru’
berisi tentang harta yang diwarisi kemenakan alias anak saudara perempuan,
Auladul Akhawat sama dengan harta rampasan. Pewarisannya besar-besar karena
merampas harta anak yatim. Kata Syekh mereka yang melaksanakan hokum waris adat
Minangkabau terhitung fasiq dan harus taubat jika tidak mereka murtad.[32]
b.
Izzar Zugal Al-Kadzibin yang
menjelaskan tentang legenda-legenda pendusta yang mencakup penolakannya akan
praktik-praktik tarekat Naqsabandiyah khususnya pemakaian rabitah pada awal
suluk (praktik-praktik mistik) dan kebiasaan mereka untuk tidak nmakan daging.
d.
Al-Jawahir al-Naqqiyah fi al-‘Amal al-Jaibiyah
(Kairo,1891)
dan Raud al-Husab fi Ilmi al-Hisab (Kairo,1892). Kedua buku ini membahas
tentang pedoman untuk penentuan tanggal dan kronologis serta ilmu berhitung dan
ukur sebagai alat bantu untuk merumuskan hukum Islam.
e. Irsyad
al-Hayara fi Izalah Ba’dhi Syibhi al-Nashara merupakan uraian
masalah polemic antara orang islam dan Nasrani. Saat itu di Jawa, orang Muslim
banyak diajak orang Kristen untun adu argumentasi mengenai agama mereka.
f. Dhauq
al-Siraj membahas tentang Isra’ Mi’raj Nabi dan pernyataan
ketidaksenangan Ahmad Khatib terhadap kaum penjajah yang menjajah Indonesia.[34]
3.
Mahmud
Yunus
Karya-karya Mahmud Yunus:
1. Pokok-pokok
Pendidikan/pengajaran (Didaktik Umum)
2. Metodik
Khusus Pendidikan Agama
3. Sejarah
Pendidikan Islam Indonesia
4. Tafsir
Al-Qur’an 30 Juz
5. Kamus
Arab-Indonesia
6. Al-Adyan
7. Al-Masail
Fiqhiyyah ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah
8. At-Tarbiyah
wa at-Ta’lim
9. Karya
yang dicetak dalam huruf arab : Kitab Shalat, Terjemahan Al-Qur’an I dan II,
Jalan Selamat, dan Hikayat Nabi Muhammad.[35]
IV.
ANALISIS
Gerakan pembaharuan yang terjadi di Minangkabau hanya
merupakan salah satu diantara gerakan Muslim di Indonesia dan dunia Muslim,
gerakan-gerakan ini dimotivasi untuk melepaskan diri dari keterbelakangan dalam
praktik dan pemahaman agama. Diantara tokoh yang berperan dalam pembaharuan
Islam di Minangkabau adalah Haji Abdul
Karim Amrullah, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Mahmud Yunus. Syaikh
Ahmad Khatib yang merupakan pencetus gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau
sekaligus guru dari Haji Abdul Karim Amrullah melakukan gerakan pembaruannya
dengan mendirikan surau-surau tempat pengajaran Ilmu Agama Islam. Beliau
menekankan pengajarannya pada penerapan hukum agama dan menolak praktik-praktik
aliran mistik karena itu tidak heran kalau praktik-praktik mistik, thariqah
dan warisan adat di Minangkabau menjadi sasaran utamanya. Menurutnya hal ini
harus dibuang karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Pembaharuan di Minangkabau dilanjutkan oleh muridnya
diantaranya Abdul Karim Amrullah, beliau sangat aktif dalam kegiatan
pembaharuan terbukti dengan berdirinya surau di Padang Panjang yang kemudian
diubah menjadi Sumatera Thawalib. Abdul Karim Amrullah dikenal sebagai tokoh
yang paling agresif, fanatik dan paling ditakuti oleh para lawannya. Bahkan tidak
melakukan kompromi terhadap penguasa adat yang melaksanakan ritual keagamaan
seperti hukum waris. Ia melarang taqlid buta serta praktik tarekat
Naqsabandiyah yang dianggapnya menyimpang. Menurutnya keempat Imam Yurisprudensi
Islam tidak mengizinkan pengikutnya untuk menerima ajaran mereka secara taqlid
buta, bahkan meminta pengikutnya untuk kembali kepada Qur’an Hadits jika
pendapat-pendapat mereka bertentangan dengan Qur’an Hadits. Dengan adanya hal
ini maka akan membuka jalan bagi perkembangan intelektual kaum Muslimin. Selain
itu beliau beranggapan bahwa guru-guru agama bertanggungjawab untuk membimbing
penguasa-penguasa sekuler sehingga bisa menjalankan pemerintahan secara layak
dan tetap setia pada agama dan bangsa mereka.
Pada awal abad ke-20 pendidikan Islam di Indonesia pada
umumnya masih bercorak tradisional. Kurikulum yang digunakan masih bercorak
dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Orientasi pengajarannya juga masih
bertumpu pada penguasaaan materi melalui sistem hafalan yang serba verbalistik,
yakni mampu mengucapkan tapi tidak mengerti maksud dan tujuannya apalagi
mengamalkannya. Mahmud Yunus adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam yang
pertama kali mempelopori adanya kurikulum yang bersifat intregated, yaitu
memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum di lembaga pendidikan Islam. Selain
itu Mahmud Yunus juga merupakan orang yang pertama kali mendirikan Pendidikan
Guru Agama (PGA) dan juga memasukkan ilmu agama pada pendidikan umum, beliaulah
tokoh yang menekankan pentingnya mewujudkan akhlak mulia melalui pendidikan.
V.
KESIMPULAN
Tiga tokoh tersebut, yakni Abdul Karim Amrullah, Ahmad
Khatib al-Minangkabawi dn Mahmud Yunus merupakan sama-sama berasal dari
Minangkabau dan merupakan tokoh yang dengan gigih memperjuangkan pembaharuan
Islam di Indonesia khususnya di daerah Sumatra Barat. Perjuangannya tidaklah
mudah bahkan Abdul Karim haarus berbeda pendapat dengan ayahnya, juga
tokoh-tokoh yang lain hrus menghadapi kecaman dan tantangan dari ulama dan
tokoh masyarakat yang sangat memegang adat dan tradisi Minang.
Salah satu perjuangannya yakni menentang praktik dan
segala hal yang berbau tarekat, dalam hal ini yaitu tarekat Naqsyabandiyah
hingga harus melawan ulama dan tokoh masyarakat setempat.
Mahmud Yunus sangat menaruh
perhatian yang sangat besar terhadap bidang pendidikan Islam. Ia bukan hanya
sebagai pemikir dalam bidang pendidikan, tetapi ia juga sebagai seorang
praktisi, yaitu orang yang mempraktikkan teori-teori tersebut serta terlihat
dengan jelas hasilnya dalam pembinaan sumber daya manusia.
VI. PENUTUP
Demkianlah makalah yang kami susun, semoga dapat
memberikan manfaat untuk pembaca dan pemakalah khususnya. Kami menyadari masih
banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Sehingga kami
mohon kritik dan saran dari para pembaca yang dapat memberikan pelajaran yang
berharga bagi pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal, Murni, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, penerj. Theresia Slamet, Jakarta : INIS,
2002.
Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang
Berpengaruh Abad 20, Jakarta : Gema
Insani Press, 2006.
Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2005.
Nazwar,
Akhria, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983.
Noer, Deliar, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT. PustakaLP3ES, 1996.
Raziqin,
Badiatul, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia, Yogyakarta:
e- Nusantara, 2009.
Sudrajat, A. Suryana, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang, Jakarta
:Erlangga, 2006.
[1] Badiatul
Raziqin, dkk, 101
Jejak Tokoh Islam Indonesia,
(Yogyakarta: e- Nusantara, 2009), hlm.
19
[2]Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 44-45
[3]
Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 45
[4]
Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 45-46
[5]
Murni Djamal, DR. Abdul
Karim Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada
Awal Abad ke20, penerj. Theresia Slamet, (Jakarta : INIS, 2002), hlm.
65.
[6]
Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 46
[7] Murni Djamal, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, hlm. 46
[8]
Murni Djamal, DR. Abdul
Karim Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada
Awal Abad ke20, hlm. 30
[9]
Murni Djamal, DR. Abdul
Karim Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada
Awal Abad ke20, hlm. 33-34
[10] Murni Djamal, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, hlm. 35
[11] Murni Djamal, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, hlm. 40-41
[12] Murni Djamal, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, hlm. 43
[13]
Murni Djamal, DR. Abdul
Karim Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada
Awal Abad ke20, hlm. 47
[14]Murni Djamal, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, hlm. 48-49
[16]
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, hlm.39
[17]
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini,
hlm.36
[18]
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 36-37
[19]
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, hlm. 39-40
[20]
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini,
hlm. 38-39
[21] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, hlm.38-40
[22]
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, hlm.
21
[23]
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, hlm.
23
[24]
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, hlm.
24
[25] Herry
Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta :
Gema Insani Press, 2006), hlm. 85
[26]Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 57
[28]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia , hlm. 57-58
[29] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia , hlm.58
[33] Murni Djamal, DR. Abdul Karim
Amrullah : Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal
Abad ke20, penerj. Theresia Slamet, (Jakarta : INIS, 2002), hlm.12-13
[34] Badiatul Raziqin, dkk, 101
Jejak Tokoh Islam Indonesia, hlm. 83-84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar