efek bintang bertaburan pada kurso

Efek Blog

Kamis, 30 Mei 2013

TASAWUF DAN ISLAMISASI DI INDONESIA





TASAWUF DAN ISLAMISASI DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah, M.SI.






Disusun oleh:

Nur Rohman                  : 103111090
Syaiful Anwar                : 103111132
Tri Maryati                     : 103111133



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


I.                   PENDAHULUAN
Beberapa pendapat tentang Islam di Indonesia antara lain yang mengemukakan: bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak identik dengan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia, mengingat yang bahwa pembawa ke Indonesia adalah para pedangan bukan misi tentara dan politik. Ada pula yang mengatakan bahwa yang datang pertama kali ialah mubalig dari Persi atau ada yang mengatakan dari Gujarat.
Oleh karena maka tidak heran jika masuknya Islam di Indonesia ini memiliki beberapa jalur Islamisasi dan memiliki beberapa pendekatan yang  berbeda-beda. Seperti jalur Islamisasi melalui Perdagangan, Saluran Perkawinan, Saluran Tasawuf, Saluran Kesenian, Saluran Pendidikan, dan Saluran Politik.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian dan Orientasi Ajaran Tasawuf ?
B.     Bagaimana Jalur Islamisasi yang Terjadi di Indosesia ?
C.     Bagaimana Ajaran Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia ?
D.    Bagaimana Riwayat dan Pemikiran-pemikiran Tokoh Tasawuf di Indonesia ?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Orientasi Ajaran Tasawuf
Konsep dasar tasawuf tetap pada simpul rahmatan lil-‘alamin, yang memandang bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan umat manusia adalah wajib hukumnya. Hal ini yang menjadi konsepsi tasawuf para sahabat Nabi pilihan. Mereka membagi kehidupannya untuk perjuangan umat, masyarakat dan negara di satu pihak. Sementara sisa waktunya dipergunakan untuk bermujahadah dengan mengutamakan kebersihan batin dan rohani, menghadap Ilahi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, ma’rifat (yang berbeda dengan ilmu tauhid atau kalam, yang mengenal tentang Tuhan secara teoritis), sehingga merupakan jalan yang sebaik-baiknya untuk mengenal Allah, lalu mengenal dirinya sendiri (makrokosmos dan mikrokosmos) untuk kemudian menggabungkan iradah dan qudrah antara keduanya, guna menuju liqa’illah, adalah prosesi dzikir (mujahadah dan riyadhah) sebagai intinya. Maka tujuan akhir tasawuf adalah memberi kebahagiaan kepada manusia, baik dunia maupun akhirat, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.[1]

B.     Jalur Islamisasi yang Terjadi di Indonesia
Kedatangan Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu kejadian mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga, maka Islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri. Penguasaan melancarkan perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
1.   Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran Islamisasi adalah perdagangan. Pedagang-pedagang yang menjadi pembawa dan penyebar Islam ke Indonesia, berdagang sambil berdakwah. Mungkin pula dalam pedagangannya itu, mereka disertai pula oleh beberapa orang mubalig yang pekerjaannya lebih khusus untuk mengajarkan agama. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.[2]
Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa. Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mulah-mulah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat- tempat tinggalnya.[3]

2.   Saluran Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diIslamkan lebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi.

3.   Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah  Fansuri di Aceh, Sayaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.
Para ahli berpendapat bahwa kedatangan dan perkembangan tasawuf di Indonesia bersamaan dengan kedatangan dan perkembangannya Islam. Yang perkembangannya sampai sekarang masih berlanjut. Mula-mula Islam datang di pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan, dan diperbaharui. Kedatangannya tentu melalui jaringan perhubungan yang berlanjut timbal balik dari generasi ke generasi, dari abad ke abad antara Nusantara dengan Timur Tengah (sebagai pusat Islam). Mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut jaringan ulama (sebagaimana disebut oleh Azyumardi Azra), selanjutnya jaringan tasawuf/ tarekat, sehingga perubahan apa pun di pusat Islam Timur Tengah akan sangat memengaruhi Islam di Indonesia. [4]

4.   Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau di pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam.

5.   Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang, dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang, kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, badad), seni bangunan, dan seni ukir.

6.   Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam. [5] .


C.    Ajaran Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia
Dalam tahap pertama penetrasi Islam, penyebaran Islam masih relative terbatas di kota-kota pelabuhan. A.H. Johns sangat menekankan hal ini, baik dalam tulisannya yang tercakup di dalam buku Perspektif Islam di Asia Tenggara maupun dalam serangkaian tulisannya yang lain. Berangkat dari teori bahwa Islam pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan bahwa peradaban Islam pada hakikatnya juga urban, Johns menyatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara bermula dari  kota-kota pelabuhan[6]. Akan tetapi, dalam kurun waktu tidak terlalu lama, Islam mulai menempuh jalannya memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini para pedagang dan ulama yang sekaligus guru-guru Tarikat (wali-wali di Jawa) dengan murid-murid mereka memegang peranan penting di dalam penyebaran tersebut. Mereka pada umumnya memperoleh petronase dari penguasa lokal, dan dalam banyak kasus, mereka yang disebut terakhir ini juga tidak kurang peranannya ikut serta secara langsung menyebarkan Islam.
Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek tasawuf atau mistik ajaran Islam, namun ini tidak berarti bahwa aspek hukum (syariah) terabaikan sama sekali. Pendahulu Islam tidak pernah berhenti bergerak diantara kecenderungan sufisme dengan panutan yang lebih taat kepada syariah. Misalnya Nuruddin Ar Raniri yang lebih berorentasi pada syariah dengan dukungan penguasa ”membersihkan” Aceh khususnya dari gagasan-gagasan filosof isu-isu mistik Hamzah Fansuri dan Sammsudin yang dianggapnya menyimpang wahdat al-wujud yang berbau panteisme itu. Dan Abdul Rauf Singkel, yang juga pemimpin terkemuka (syaikh) tarekat Syatariyah, tidak kurang pula menekankan pentingnya syariat  dalam menempuh jalan tasawuf.
Meskipun demikian, secara umum Islam tasawuf tetap unggul dalam tahap pertama Islamisasi, setidaknya sampai akhir abad ke-17 M. Hal tersebut dikarenakan Islam tasawuf yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam berbagai segi tertentu “cocok” dengan latar belakang masyarakat setempat  yang dipengaruhi asketisme Hindu Budha dan sinkritisme kepercayaan lokal. Juga terhadap kenyataan bahwa tarekat-tarekat sufi memiliki kecenderungan untuk bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktik tradisional semacam itu, yang sebenarnya bertentangan dengan praktik ketat unilitarianisme Islam.
Dalam proses Islamisasi tahap pertama ini Islam tidak langsung secara merata diterima oleh lapisan masyarakat bawah. Di Jawa misalnya, semula Islam hanya dipraktekkan sekelompok kecil muslimin yang aktif dan dinamis dalam membawa pesan-pesan Islam, yang juga bertugas melaksanakan kegiatan keIslaman atas nama seluruh masyarakat desa di banyak bagian Jawa. Sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek moyang mereka atau memeluk Islam hanya secara nominal.
Jelas bahwa Islam pada awal masuk ke wilayah Nusantara, khususnya di Indonesia, nuansa tasawuf sangat dominan. Hal tersebut dapat dimaklumi bahwa kondisi Indonesia ketika Islam datang, faktor  animisme, dinamisme Hindu Budha juga sangat dominan dipercayai oleh masyarakat. Oleh karena itu, menjadi lebih mudah diterima masyarakat Indonesia,  masuknya Islam dengan warna tasawuf yang lebih menekan faham-faham mistik yang ketika itu menjadi “trend” masyarakat Indonesia.
Menurut prof. Dr. Azyumardi Azra, Islam bisa dengan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia, salah satunya disebabkan adanya “kesamaan” antara bentuk Islam yang pertama kali datang ke Nusantara dengan sifat mistik dan sinkritisme kepercayaan nenek moyang setempat. Ajaran-ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibnu Arabi misalnya, dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat. Bahkan Islam Indonesia sampai sekarang ini masih diliputi dengan sikap-sikap sufistik dan kegemaran pada berbagai hal mengandung keramat.
Para pengarang muslim paling awal yang kita kenal namanya di Indonesia adalah tokoh-tokoh penyebar Islam dan sekaligus tokoh-tokoh sufi. Hamzah Fansuri adalah pengarang pertama di kalangan para sufi dan penyair besar. Sufi terkenal kedua adalah Syamsudin As-Syumatrani (w. 1630 M), murid Hamzah yang menulis buku-buku bahasa Arab dan melayu dan yang lainnya. Perkembangan tasawuf semakin semarak dengan hadirnya para tokoh tasawuf dan tarekat yang turut berjasa dalam mengembangkan Islam di Indonesia, seperti Syaikh Ismail Al-Khalidal-Minang Kabawi, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Karim Banten dan lain-lain. [7]
Sementara di Jawa proses Islamisasi sudah berlangsung sejak abad ke-11 M., meskipun belum meluas, terbukti dengan ditemukannya makam Maimunah Binti Maimun di Leran Gersik yang berangka tahun 475 H/1085M. ada pun para penyebar Islam di Jawa terkenal dengan sebutan “walisongo” atau Sembilan wali. Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya penafsiran ulang. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang menegakakan Agama.
Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali diidentikan sebagai para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisanga adalah para tokoh keramat dan digdaya. Hingga wafat sekalipun, mereka tetap menjadi sumber berkah. Namun, jika menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali (selanjutnya disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam berbagai segi kehidupan. Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat Islam.
Isyarat kuat bahwa mereka penyebar syariat bisa ditengok dari Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran Bonang bisa mewakili watak dakwah Walisanga. Dari kitab itu bisa ditetapkan, Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah yang tegas dan konsekuen menentang bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran Bonang menolak konsep emanasi, panteisme atau wihdatul wujud yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya. Mereka juga penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu Syalimi, yang menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau orang belajar tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, besar kemungkinan ia akan menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah dengan meninggalkan syariat. Al-Ghazali dengan Ihya Ulumudin-nya memang menjadi acuan pengembangan tasawuf di masa itu. Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga tak mendapat tempat. Terlepas dari kebenaran sejarah, Walisanga telah membuktikan komitmennya pada tauhid dan syariah Islam dengan kisah diqishasnya Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena dianggap telah mengembangkan ajaran manunggaling kawula-gusti (wihdatul wujud) yang meresahkan masyarakat di saat para ulama mempersiapkan berdirinya Kesultanan Demak. Para wali menghukumnya setelah melalui musyawarah dan memiliki lembaga pengadilan.
             Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.
Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat dengan dinamika Kerajaan Majapahit[8]
Para tokoh tasawuf sangat dan tarekat cukup berjasa dalam perkembangan Islam di Indonesia. Dikarenakan melalui melalui pendekatan tasawuf ini Islam justru diterima dengan mudah dan proses Islamisasi bejalan dengan damai tampa ada kekerasan. Hal ini menujukan bahwa para penyebar Islam sangat luwes (fleksibel) dalam menggunakan pendekatan untuk menyebarkan Islam di Indonesia, karena dalam konsep dakwah Islam meggunakan metode hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah yang baik.[9]

D.    Riwayat dan Pemikiran-pemikiran Tokoh Tasawuf di Indonesia
Sejak permulaan sejarah Islam di wilayah tersebut hingga hari ini, selama beberapa abad permulaan sejarah, terutama pada abad ke-10 H/ 16 M dan ke-11/ 17 M, tasawuf memainkan peranan terbesar dan paling menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di kepulauan Indonesia dan kepulauan di sekitarnya. Di bawah ini disebutkan ada beberapa para tokoh ulama yang berperan dalam penyebaran tasawuf di indonesia beserta pemikiran-pemikirannya diantaranya:
1.      Pemikiran Tasawuf  Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang menjadi pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau meninggal pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).
Keahlian beliau terletak pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan sastra. Di bidang tasawuf misalnya, beliau merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul Wujud. Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah Nikmatullah, dan lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana.
Dalam menyebarkan pemikirannya, beliau mengalami masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dengan Sultan Iskandar Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa, ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya mendapat respon positif dari pihak istana, sehingga beliau dengan leluasa mengembangkan ajaran tersebut. Berbeda dengan masa Iskandar Tsani, dikarenakan oleh nasehat ulama istana, Nuruddin al-Raniri, beliau dituding sebagai penyeru zindiq atau pantheisme. Akibatnya, pergerakan dan penyebaran ajarannya dibatasi bahkan dimusuhi. Karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar di hadapan Masjid Raya Banda Aceh.  

2.      Pemikiran Tasawuf  Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn Ali Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1581 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah ternyata didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh para pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia. Menurut Ahmad Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan membolehkan membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah. Buku yang sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat.
Kitab Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat diluncurkan untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh ajaran Wujudiyah yang sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir, Nuruddin sempat mengatakan barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran tersebut menurut Nuruddin karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Jika kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul atau ittihad. Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.

3.      Pemikiran Tasawuf  Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli adalah tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637 M), bernama lengkap Abdul Rouf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H/ 1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat Aceh.
Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah sekitar tahun 1051 H/ 1640 M. Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai bahasa Arab, membaca al-Qur’an, hadits, syariat, hingga tasawuf. Beliau mempelajarinya di daerah Yaman. Dalam menuntut ilmu, waktu yang paling lama adalah ketika belajar dengan Syekh Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an di baitul Faqih dan Mauza. Al-Sinkli memperoleh penghargaan tertinggi dari para gurunya, terutama Ahmad Qusyaisyi dan Ibrahim al-Kurani. Setelah mendapatkan ilmu yang cukup, beliau pun kembali ke kampung halamannya di Aceh. 
Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di atas, ajaran tasawuf Wujudiyah dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang sesat dan penganutnya dianggap murtad. Dari justifikasi ini terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan al-Raniri ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai perbuatan yang terlalu emosional. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah.
Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya.

4.      Pemikiran Tasawuf Syeikh Yusuf Al- Makassari
Nama lengkapnya adalah Yusuf Taj al-Khalwati al-Makassary. ghhhhDilahirkan pada tanggal 8 Syawwal 1036 H/ 3 Juli 1629 M. Pada tahun 1644, dia belajar ke Makkah. Sebelum berangkat ke Makkah, dia singgah di Banten kemudian ke Aceh untuk belajar dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniri tentang tarekat Qadiriyah. Dia juga dikenalkan oleh Syeikh  Nuruddin ar-Raniri kepada gurunya di Bijapur, India yang bernama Sayid Abu Hafsh Umar bin Abdullah Ba Syaiban.[10]
Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Orang yang hidup di zaman itu lebih mementingkan mental dan material. Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai agama dan kepercayaan yang memang menjurus ke arah itu pula. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari Syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Bqu Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup banyak, bahkan mungkin sukar mencari ulama yang dipelajari demikian banyak tarekat serta mengamalkannya seperti dirinya, baik pada masanyapun masa kini. Secara singkat, tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan di bawah ini:
a.     Tarekat Qadariyah, diterima dari Syekh Nurudin ar-Raniri di Aceh
b.    Tarekat Naqsabandiyah, diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqibillah
c.    Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah, diterima dari Sayid Ali di Zubaid/ Yaman
d.   Tarekat Syathariyah, diterima dari Ibrahim Al Kurani Madinah
e.    Tarekat Khalwatiyah, diterima dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-Khalwati Al-Quraisyi si Damsyiq. Syekh ini adalah imam di Masjid Muhyiddin Ibn ‘Arabi.[11]
Syeikh Yusuf al-Makassari berbicara pula tentang Insan Kamil dan proses pensucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses pensucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Dalam Zubdat al-Asrar juga, Syaikh Yusuf al-Makassari mengutip pernyataan al-Burhanpuri yakni pengarang kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, dan juga beliau adalah seorang ulama kelahiran India yang dianggap sebagai pencetus pertama kali pemikiran  Martabat Tujuh. Konsep ini merupakan perwujudan-perwujudan (tajalli) Tuhan melalui tujuh martabat: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ‘alam mitsal, ‘alam ajsam, dan ‘alam insan. Adakalanya yang mengidentikkan ajaran Martabat Tujuh dengan ajaran Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawula- Gusti.

5.      Pemikiran Tasawuf Syeikh Nawawi al-Bantani
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional. Lahir di Kampung Pesisir, Ds. Tanara, Kec. Tanara, Serang- Banten 1815 M. Sejak umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan tinggal disana, tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya pada tahun 1897 M, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya dijuluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 M diganti nama menjadi Saudi Arabia.
Ada beberapa maksud dan alasan yang melatarbelakangi kepergian Syekh nawawi dari tnah kelahirannya di Tanara ke tanah suci di Makkah: Pertama, Menunaikan ibadah haji. Dari sini terlihat betapa bersemangat dan cintanya Syekh Nawawi terhadap Islam sehingga kesulitan yang ada tidak merintangi niat dia untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu 1830, yakni ketika dia berusia 15 tahun. Kedua, Menuntut ilmu. Bagi para santri, kisah mengenai Makkah sudah tidak asing lagi. Dari banyak kyai mereka mendengar perihal kehidupan intelektual Makkah sebagai pusat pendidikan agama. Syekh Nawawi juga merasa bahwa tinggal di Makkah lebih menjanjikan. Bahkan banyak juga muslim Jawa yng memiliki obsesi untuk menetap dn meninggal di makkah maupun Madinah. Pada abad ke-11 M di Jawa, kota makkah telah menjadi kiblat dalam banyak hal terkait dengan agama dan dipandang sebagai mata rantai yang menghubungkan Allh dan makhluk-Nya, sementara kota Madinah dianggap sebagai simbol kota suci dan kota perdamaina benukan nabi. Ketiga, Kondisi tanah air. Syekh Nawawi meninggalkan tanah air dan segala yang dicintainya lantaran mendapatkan tekanan dari Belanda Situasi itu memuncak pada Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830 M).
Syekh Nawawi bukan ulama yang ahli dalam sau bidang ilmu saja, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut dia sebagai ”Kiai Intelektual Ensklopedi”. Ilmu yang dia ajarkan hampir semua cabang ilmu agama Islam seperti fiqh, tauhid, tata bahasa Arab, dan bahkan tafsir al-Qur’an. Sesudah menuntut ilmu selama 30 tahun dari para ulama dan tinggal di Makkah, Syekh Nawawi tidak saja mampu membaca al-Qur’an secara sempurna, tetapi juga menghapalkannya. Banyak murid belajar tafsir kepadanya, diantaranya adalah K.H Hasyim Asy’ari (pendiri NU dan Pahlawan nasional), K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadyah), dan Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari Madura). Mereka kemudian meminta syekh untuk membukukan tafsir al-Qur’an yang dia ajarkan kepada mereka. Kitab tafsirini pada akhirnya terbit dan dikenal sebagai Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir atau Tafsir an-Nawawi.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).[12]
6.      Pemikiran Tasawuf Syekh Siti Jenar
          Nama asli  beliau ali hasan alias andul jalil, hidup sejaman dengan walisongo. Menurut penelitian dalhar shodiq mahasiswa UGM, ia berasal dari cirebon, jawa barat. Tahun kelahirannya sulit di lacak, kemungkinan hidup abad ke 16 M. Pemikirannya di anggap liberal,dan kontroversial, dalam ajaran tetang shalat ia berpendapat bhwa tuhan bersemayam dalam dirinya dan shalat lima waktu sehari dn zikir itu adalah suatu keputusan hati, kehendak pribadi. Syekh siti jenar menganggap alam kehidupan didunia sebagai kematian, setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati. Konsep tuhan yang benar bagi syekh siti jenar jika bersumber dari hati yang tulus dan jujur, tuhan tidak dapat di gambarkan dengan apapun.[13]
7.      Pemikiran Tasawuf Syeikh H. Abdul Malik Karim  Amrullah (HAMKA)
Hamka (haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danaau Mininjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H., bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah. Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pauh Pariama atau Tuanku Nan Tuo, salah seorang pahlawan Paderi. Tuanku Nan Tuo adalah salah seorang ulama yang memeinkan peranan penting dalam kebangkitan kembali pembaharuan di Minangkabau, dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din. Kondisi sicial keagamaan masa Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang membawa umat pada ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang lurus, yang tidak bercampur dengan adat istiadat. Kondisi politik menuntut untuk mengusir penjajah Belanda yang sangat ekspansi dan kondisi inilah yang melatar belakangi perjuangan Hamka. Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Setahun kemudian, setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jalaluddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka pergi ke sekolah desa, sore hari pergi ke sekolah.[14]
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Hal ini berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (univate state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semagat dan nilai kepekaan social-relligius (social keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis, dan yang sebagainya. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan roh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
Tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur’an, yakni “Tafsir al-Azhar” 30 juz (5 jilid). Tafsir ini sebagian besar dapat terselesaikan selama di dalam tahanan. (Hari senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 sampai Juli 1969). Bulan Juli 1975, Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395 M.[15]



IV.             KESIMPULAN
Konsep dasar tasawuf tetap pada simpul rahmatan lil-‘alamin, yang memandang bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan umat manusia adalah wajib hukumnya. Hal ini yang menjadi konsepsi tasawuf para sahabat Nabi pilihan. Mereka membagi kehidupannya untuk perjuangan umat, masyarakat dan negara di satu pihak. Sementara sisa waktunya dipergunakan untuk bermujahadah dengan mengutamakan kebersihan batin dan rohani, menghadap Ilahi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Jalur Islamisasi yang Terjadi di Indonesia
Saluran Perdagangan, Saluran Perkawinan, Saluran Tasawuf, Saluran Pendidikan, Saluran Kesenian, dan Saluran Politik.
Ajaran Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia
             Berangkat dari teori bahwa Islam pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan bahwa peradaban Islam pada hakekatnya juga urban, Johns menyatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara bermula dari  kota-kota pelabuhan. Akan tetapi, dalam kurun waktu tidak terlalu lama, Islam mulai menempuh jalannya memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini para pedagang dan ulama yang sekaligus guru-guru Tarikat (wali-wali di Jawa) dengan murid mereka memegang peranan penting di dalam penyebaran tersebut.
Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek tasawuf atau mistik ajaran Islam, namun ini tidak berarti bahwa aspek hukum (syariah) terabaikan sama sekali. Pendahulu Islam tidak pernah berhenti bergerak diantara kecenderungan sufisme dengan panutan yang lebih taat kepada syariah. Misalnya Nuruddin Ar Raniri yang lebih berorentasi pada syariah dengan dukungan penguasa ”membersihkan” Aceh khususnya dari gagasan-gagasan filosof isu-isu mistik Hamzah Fansuri dan Sammsudin pentingnya syariat  dalam menempuh jalan tasawuf.
Tokoh-tokoh Tasawuf yang Ikut Berperan di Indonesia
Di sini disebutkan ada beberapa para tokoh ulama tasawuf yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Indonesia beserta pemikiran-pemikirannya diantaranya yaitu: Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli, Syeikh Yusuf Al- Makassari, Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh Siti Jenar, dan Syeikh H. Abdul Malik Karim  Amrullah (HAMKA).
V.                ANALISIS
Berbicara tentang agama, tidak dapat lepas dari hubungan dengan Tuhan, yang dalam Islam dikenal dengan ajaran tasawuf yang kemudian dalam perkembangannya telah menjadi ideology institusi-institusi yang menaunginya yang disebut tarekat. Dalam perkembangan selanjutnya, tasawuf ternyata juga ikut andil dalam proses penyebaran agama Islam di Indonesia dari beberapa jalur-jalur yang ditempuh dalam proses perkembangan Islamisasi di Indonesia sendiri yaitu melalui jalur Perdagangan, Perkawinan, Pendidikan, Kesenian, dan Politik.
Dalam pembahasan di sini peran Tasawuf dalam penyebaran Islam di tanah air menarik untuk dicermati. Eksesnya bukan saja terkait dengan persoalan “tata krama” hubungannya dengan Tuhan, tapi juga persoalan sosial-kemasyarakatan, bahkan masalah politik. Proses pembentukannya pun sedikit banyak beradaptasi dengan kehidupan spiritual sekitar awal datangnya Islam, yakni tradisi Hindu dan Budha. Islam pertama yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam sufi.
Perkembangan tasawuf di Indonesia mempunyai hakikat tujuan yakni Islamisai penduduk Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional yang bersifat animisme, dinamisme dengan pengaruh mistiknya, sementara itu tasawuf digunakan oleh para wali untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat. Perkembangan tasawuf bukan hanya di pulau Jawa akan tetapi di pulau-pulau lain kepulauan Nusantara.
Sejarah Islam dan berbagai cabangnya, termasuk sejarah tasawuf dan pengikutnya sangat penting untuk diperkenalkan, diantaranya adalah mengenai tokoh-tokoh dari ajaran tasawuf di Indonesia ini. Karena, tasawuf terus mengalami perkembangan dan memberi pengaruh penting di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh tasawuf tersebut ialah diantaranya: Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli, Syeikh Yusuf Al- Makassari, Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh Siti Jenar, dan Syeikh H. Abdul Malik Karim  Amrullah (HAMKA). Mereka adalah sedikit dari sekian banyak tokoh-tokoh sufi yang mengajarkan tasawuf di Indonesia, yakni semuanya bertujuan guna menyebar luaskan agama Islam di Indonesia.

VI.             PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, uraian singkat mengenai pembahasan “Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia”. Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah kami masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami senantiasa mengharapkan masukan dan kritik yang membangun untuk kemajuan bersama.











              DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Asnawi Ahmad,  Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani tentang ayat Qadar dan Jabar dalam kitab tafsirnya “marah labid”, Jakarta: Studi Teologi, 1989.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Mulyati, Sri, Tasaawuf Nusantara.
Sholikhin, Muhammad, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil), Semarang: Pustaka Nuun, 2004.
Steenbrink, Korel A., Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad-19,  Jakarta:Bulan Bintang, 1984.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Pustaka Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Yusuf, Yunus, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.




[1] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil), (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm.  96-97
                [2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 182- 183
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 201- 202
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 225-226
[5] Fatah Syukur, Op. Cit., hlm. 183
[6] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 33
                       [7] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Hlm. 310-316
                [8]  Korel A.Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad-19, ( Jakarta, Bulan Bintang :1984),             Hlm. 174

[9] Samsul Munir Amin, Op.cit. hal. 316
[11] Ahmad Asnawi, Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani tentang ayat Qadar dan Jabar dalam kitab tafsirnya “marah labid”, (Jakarta: Studi Teologi, 1989), hlm. 20
[13] Sri Mulyati, Tasaawuf Nusantara, hlm. 68
[14] Yunus Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar