TASAWUF DAN ISLAMISASI DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Sejarah
Islam Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah, M.SI.
Disusun oleh:
Nur Rohman : 103111090
Syaiful Anwar :
103111132
Tri Maryati :
103111133
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Beberapa pendapat tentang Islam di
Indonesia antara lain yang mengemukakan: bahwa kedatangan Islam pertama di
Indonesia tidak identik dengan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia, mengingat
yang bahwa pembawa ke Indonesia adalah para pedangan bukan misi tentara dan
politik. Ada pula yang mengatakan bahwa yang datang pertama kali ialah mubalig
dari Persi atau ada yang mengatakan dari Gujarat.
Oleh karena maka
tidak heran jika masuknya Islam di Indonesia ini memiliki beberapa jalur Islamisasi
dan memiliki beberapa pendekatan yang berbeda-beda. Seperti jalur Islamisasi
melalui Perdagangan, Saluran Perkawinan, Saluran Tasawuf, Saluran
Kesenian, Saluran
Pendidikan, dan Saluran
Politik.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
Pengertian dan Orientasi Ajaran Tasawuf ?
B.
Bagaimana
Jalur Islamisasi yang Terjadi di Indosesia ?
C.
Bagaimana
Ajaran Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia ?
D. Bagaimana Riwayat dan Pemikiran-pemikiran Tokoh Tasawuf
di Indonesia ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Orientasi Ajaran Tasawuf
Konsep dasar tasawuf tetap pada simpul rahmatan lil-‘alamin, yang
memandang bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan umat manusia
adalah wajib hukumnya. Hal ini yang menjadi konsepsi tasawuf para sahabat Nabi
pilihan. Mereka membagi kehidupannya untuk perjuangan umat, masyarakat dan
negara di satu pihak. Sementara sisa waktunya dipergunakan untuk bermujahadah
dengan mengutamakan kebersihan batin dan rohani, menghadap Ilahi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan
tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya, ma’rifat (yang berbeda dengan ilmu tauhid atau kalam, yang
mengenal tentang Tuhan secara teoritis), sehingga merupakan jalan yang
sebaik-baiknya untuk mengenal Allah, lalu mengenal dirinya sendiri (makrokosmos
dan mikrokosmos) untuk kemudian menggabungkan iradah dan qudrah
antara keduanya, guna menuju liqa’illah, adalah prosesi dzikir (mujahadah
dan riyadhah) sebagai intinya. Maka tujuan akhir tasawuf adalah memberi
kebahagiaan kepada manusia, baik dunia maupun akhirat, dengan puncaknya menemui
dan melihat Tuhannya.[1]
B.
Jalur
Islamisasi yang Terjadi di Indonesia
Kedatangan Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan
rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu kejadian
mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan
keluarga, maka Islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak
yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang
Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan.
Apabila kerajaan Islam sudah berdiri. Penguasaan melancarkan perang terhadap kerajaan
non-Islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan
politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Menurut Uka Tjandrasasmita,
saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
1.
Saluran
Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran Islamisasi adalah perdagangan. Pedagang-pedagang
yang menjadi pembawa dan penyebar Islam ke Indonesia, berdagang sambil
berdakwah. Mungkin pula dalam pedagangannya itu, mereka disertai pula oleh
beberapa orang mubalig yang pekerjaannya lebih khusus untuk mengajarkan agama.
Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para
raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi
pemilik kapal dan saham.[2]
Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi
melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa. Uka Tjandrasasmita menyebutkan
bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang
penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid
dan mendatangkan mulah-mulah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak,
dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di
beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati
Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan
hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama
karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan
kekuasaan di tempat- tempat tinggalnya.[3]
2.
Saluran
Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial
yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi,
terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar
itu. Sebelum kawin, mereka diIslamkan lebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih
menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau
anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian
turut mempercepat proses Islamisasi.
3.
Saluran
Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang
bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Dengan
tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai
persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli
tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran
Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah
Fansuri di Aceh, Sayaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.
Para ahli berpendapat bahwa kedatangan dan perkembangan tasawuf di
Indonesia bersamaan dengan kedatangan dan perkembangannya Islam. Yang
perkembangannya sampai sekarang masih berlanjut. Mula-mula Islam datang di
pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan, dan
diperbaharui. Kedatangannya tentu melalui jaringan perhubungan yang berlanjut
timbal balik dari generasi ke generasi, dari abad ke abad antara Nusantara
dengan Timur Tengah (sebagai pusat Islam). Mula-mula berupa jaringan
perdagangan, berlanjut jaringan ulama (sebagaimana disebut oleh Azyumardi
Azra), selanjutnya jaringan tasawuf/ tarekat, sehingga perubahan apa pun di
pusat Islam Timur Tengah akan sangat memengaruhi Islam di Indonesia. [4]
4.
Saluran
Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun
pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama.
Di pesantren atau di pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat
pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung
masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam.
5.
Saluran
Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan
wayang, dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang, kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra
(hikayat, badad), seni bangunan, dan seni ukir.
6.
Saluran
Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam
setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat
membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan
Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan
Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara
politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam. [5] .
C.
Ajaran
Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia
Dalam tahap pertama penetrasi Islam,
penyebaran Islam masih relative terbatas di kota-kota pelabuhan. A.H. Johns
sangat menekankan hal ini, baik dalam tulisannya yang tercakup di dalam buku Perspektif
Islam di Asia Tenggara maupun
dalam serangkaian tulisannya yang lain. Berangkat dari teori bahwa Islam pada
dasarnya adalah urban (perkotaan) dan bahwa peradaban Islam pada hakikatnya
juga urban, Johns menyatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan[6]. Akan
tetapi, dalam kurun waktu tidak terlalu lama, Islam mulai menempuh jalannya
memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini para
pedagang dan ulama yang sekaligus guru-guru Tarikat
(wali-wali di Jawa)
dengan murid-murid mereka memegang peranan penting di dalam penyebaran
tersebut. Mereka pada umumnya memperoleh petronase dari penguasa lokal, dan
dalam banyak kasus, mereka yang disebut terakhir ini juga tidak kurang
peranannya ikut serta secara langsung menyebarkan Islam.
Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek tasawuf atau
mistik ajaran Islam, namun ini tidak berarti bahwa aspek hukum
(syariah) terabaikan sama sekali. Pendahulu Islam
tidak pernah berhenti bergerak diantara kecenderungan sufisme dengan panutan
yang lebih taat kepada syariah. Misalnya Nuruddin Ar Raniri yang lebih berorentasi
pada syariah dengan dukungan penguasa ”membersihkan” Aceh khususnya dari
gagasan-gagasan filosof isu-isu mistik Hamzah Fansuri dan Sammsudin yang
dianggapnya menyimpang wahdat al-wujud yang berbau panteisme itu. Dan Abdul
Rauf Singkel, yang juga pemimpin terkemuka (syaikh) tarekat Syatariyah, tidak
kurang pula menekankan pentingnya syariat dalam menempuh jalan tasawuf.
Meskipun demikian, secara umum Islam
tasawuf tetap unggul dalam tahap pertama Islamisasi,
setidaknya sampai akhir abad ke-17 M. Hal tersebut dikarenakan Islam
tasawuf yang datang ke Nusantara,
dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam
dalam berbagai segi tertentu “cocok” dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu
Budha
dan sinkritisme kepercayaan lokal. Juga terhadap kenyataan bahwa tarekat-tarekat
sufi memiliki kecenderungan untuk bersikap toleran terhadap pemikiran dan
praktik tradisional semacam itu, yang sebenarnya bertentangan dengan praktik
ketat unilitarianisme Islam.
Dalam proses Islamisasi tahap
pertama ini Islam tidak langsung secara merata diterima oleh lapisan masyarakat
bawah. Di Jawa misalnya, semula Islam hanya dipraktekkan sekelompok kecil muslimin
yang aktif dan dinamis dalam membawa pesan-pesan Islam, yang juga bertugas
melaksanakan kegiatan keIslaman atas nama seluruh masyarakat desa di banyak
bagian Jawa. Sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek moyang
mereka atau memeluk Islam hanya secara
nominal.
Jelas bahwa Islam pada awal
masuk ke wilayah Nusantara,
khususnya di Indonesia, nuansa tasawuf sangat dominan. Hal tersebut dapat
dimaklumi bahwa kondisi Indonesia ketika Islam
datang, faktor animisme,
dinamisme Hindu Budha juga
sangat dominan dipercayai oleh masyarakat. Oleh karena itu, menjadi lebih mudah
diterima masyarakat Indonesia, masuknya Islam
dengan warna tasawuf yang lebih menekan faham-faham mistik yang ketika itu
menjadi “trend” masyarakat Indonesia.
Menurut prof. Dr. Azyumardi Azra,
Islam
bisa
dengan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia, salah satunya disebabkan
adanya “kesamaan” antara bentuk Islam yang pertama kali datang
ke Nusantara
dengan sifat mistik dan sinkritisme kepercayaan nenek moyang setempat. Ajaran-ajaran
kosmologis dan metafisis tasawuf Ibnu Arabi
misalnya, dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan
ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat. Bahkan Islam
Indonesia sampai sekarang ini masih diliputi dengan sikap-sikap sufistik dan
kegemaran pada berbagai hal mengandung keramat.
Para pengarang muslim paling awal yang kita kenal namanya di
Indonesia adalah tokoh-tokoh penyebar Islam
dan sekaligus tokoh-tokoh sufi. Hamzah Fansuri
adalah pengarang pertama di kalangan para sufi
dan penyair besar. Sufi terkenal kedua adalah Syamsudin
As-Syumatrani
(w. 1630 M), murid Hamzah yang
menulis buku-buku bahasa Arab dan melayu
dan yang lainnya. Perkembangan tasawuf semakin semarak dengan hadirnya para
tokoh tasawuf dan tarekat yang turut berjasa dalam mengembangkan Islam di Indonesia,
seperti Syaikh Ismail Al-Khalidal-Minang Kabawi, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh
Abdul Karim Banten dan lain-lain. [7]
Sementara di Jawa proses Islamisasi
sudah berlangsung sejak abad ke-11 M.,
meskipun belum meluas, terbukti dengan ditemukannya makam Maimunah
Binti
Maimun
di Leran
Gersik yang berangka tahun 475 H/1085M. ada pun para penyebar Islam
di Jawa
terkenal dengan sebutan “walisongo” atau Sembilan wali. Walisanga ditulis dalam
Serat Walisanga karya pujangga Mataram RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai
walisanga, wali sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya
penafsiran ulang. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan
perubahan dari kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia
atau terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang
berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau
daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama
dengan dakwah yang
menegakakan Agama.
Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali diidentikan sebagai para
sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-babad yang lahir di masa
Mataram banyak melukiskan Walisanga adalah para tokoh keramat dan digdaya.
Hingga wafat sekalipun, mereka tetap menjadi sumber berkah. Namun, jika
menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali (selanjutnya
disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam berbagai segi kehidupan.
Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan
sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan
berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat Islam.
Isyarat kuat bahwa mereka penyebar syariat bisa ditengok dari
Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran Bonang bisa mewakili watak dakwah Walisanga.
Dari kitab itu bisa ditetapkan, Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah
yang tegas dan konsekuen menentang bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran Bonang
menolak konsep emanasi, panteisme atau wihdatul wujud yang berintikan kesatuan
Khalik dan hambanya. Mereka juga penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu
Syalimi, yang menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau
orang belajar tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, besar kemungkinan ia akan
menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah dengan meninggalkan syariat. Al-Ghazali
dengan Ihya Ulumudin-nya memang menjadi acuan pengembangan tasawuf di masa itu.
Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga tak mendapat tempat. Terlepas dari
kebenaran sejarah, Walisanga telah membuktikan komitmennya pada tauhid dan
syariah Islam dengan kisah diqishasnya Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena
dianggap telah mengembangkan ajaran manunggaling kawula-gusti (wihdatul wujud)
yang meresahkan masyarakat di saat para ulama mempersiapkan berdirinya
Kesultanan Demak. Para wali menghukumnya setelah melalui musyawarah dan
memiliki lembaga pengadilan.
Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.
Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.
Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para
ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam
berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik.
Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat
dengan dinamika Kerajaan Majapahit[8]
Para tokoh tasawuf sangat dan tarekat cukup berjasa dalam
perkembangan Islam di Indonesia. Dikarenakan melalui melalui pendekatan tasawuf
ini Islam
justru diterima dengan mudah dan proses Islamisasi bejalan dengan damai tampa ada
kekerasan. Hal ini menujukan bahwa para penyebar Islam sangat luwes (fleksibel)
dalam menggunakan pendekatan untuk menyebarkan Islam di Indonesia, karena dalam
konsep dakwah Islam meggunakan metode hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah
yang baik.[9]
D.
Riwayat dan Pemikiran-pemikiran Tokoh Tasawuf di Indonesia
Sejak permulaan sejarah Islam di wilayah tersebut
hingga hari ini, selama beberapa abad permulaan sejarah, terutama pada abad
ke-10 H/ 16 M dan ke-11/ 17 M, tasawuf memainkan peranan terbesar dan paling
menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di
kepulauan Indonesia dan kepulauan di sekitarnya. Di bawah ini disebutkan
ada beberapa para tokoh ulama yang berperan dalam penyebaran tasawuf di
indonesia beserta pemikiran-pemikirannya diantaranya:
1.
Pemikiran
Tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau
Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga
(Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui dengan pasti
tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya diperkirakan
sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang menjadi
pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau meninggal
pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh,
Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling
berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).
Keahlian beliau terletak pada bidang ilmu fiqh,
tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan sastra. Di bidang tasawuf misalnya,
beliau merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul Wujud.
Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili,
Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah
Nikmatullah, dan lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat
ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia
sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia
ada di mana-mana.
Dalam menyebarkan pemikirannya, beliau mengalami
masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dengan Sultan Iskandar
Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa, ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya
mendapat respon positif dari pihak istana, sehingga beliau dengan leluasa
mengembangkan ajaran tersebut. Berbeda dengan masa Iskandar Tsani, dikarenakan
oleh nasehat ulama istana, Nuruddin al-Raniri, beliau dituding sebagai penyeru zindiq
atau pantheisme. Akibatnya, pergerakan dan penyebaran ajarannya dibatasi
bahkan dimusuhi. Karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar di hadapan Masjid
Raya Banda Aceh.
2.
Pemikiran
Tasawuf Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn Ali
Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari
India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir
(Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia
meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya
dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarim
(Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1581 M
untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri
banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan
Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah ternyata
didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh para
pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia. Menurut
Ahmad Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan fatwa
tentang kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan
membolehkan membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah.
Buku yang sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat
li ahl al-mamat.
Kitab Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat diluncurkan
untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh ajaran Wujudiyah yang
sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan para
pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir, Nuruddin sempat mengatakan
barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia
kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran tersebut menurut Nuruddin karena
mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Jika
kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan sifat Tuhan dengan dzat dan
sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul atau ittihad.
Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
3.
Pemikiran
Tasawuf Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli adalah tokoh utama dan mufti
besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637 M), bernama lengkap Abdul Rouf
bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan
pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H/ 1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat Aceh.
Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah sekitar tahun 1051 H/ 1640 M. Di sana, beliau
mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai bahasa Arab, membaca al-Qur’an,
hadits, syariat, hingga tasawuf. Beliau mempelajarinya di daerah Yaman. Dalam
menuntut ilmu, waktu yang paling lama adalah ketika belajar dengan Syekh
Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an di baitul Faqih dan Mauza. Al-Sinkli memperoleh
penghargaan tertinggi dari para gurunya, terutama Ahmad Qusyaisyi dan Ibrahim
al-Kurani. Setelah mendapatkan ilmu yang cukup, beliau pun kembali ke kampung
halamannya di Aceh.
Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang
ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah, yang kemudian dikenal
dengan nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di atas, ajaran tasawuf Wujudiyah
dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang sesat dan penganutnya dianggap
murtad. Dari justifikasi ini terjadilah proses penghukuman bagi mereka.
Tindakan al-Raniri ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai perbuatan yang terlalu
emosional. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan.
Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu
menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah.
Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dalam
pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari
sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan
dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah).
Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya.
4.
Pemikiran
Tasawuf Syeikh Yusuf Al- Makassari
Nama lengkapnya adalah Yusuf Taj al-Khalwati
al-Makassary. ghhhhDilahirkan pada tanggal 8
Syawwal 1036 H/ 3 Juli 1629 M. Pada tahun 1644, dia belajar ke Makkah. Sebelum
berangkat ke Makkah, dia singgah di Banten kemudian ke Aceh untuk belajar
dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniri tentang tarekat Qadiriyah. Dia juga dikenalkan
oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri kepada gurunya di Bijapur, India yang
bernama Sayid Abu Hafsh Umar bin Abdullah Ba Syaiban.[10]
Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu
tasawuf. Orang yang hidup di zaman itu lebih mementingkan mental dan material.
Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai agama dan kepercayaan yang memang
menjurus ke arah itu pula. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di
Yaman, ia menerima tarekat dari Syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi
Abdullah Muhammad Bqu Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup
banyak, bahkan mungkin sukar mencari ulama yang dipelajari demikian banyak
tarekat serta mengamalkannya seperti dirinya, baik pada masanyapun masa kini.
Secara singkat, tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan di bawah
ini:
a. Tarekat Qadariyah, diterima dari Syekh Nurudin ar-Raniri di Aceh
b. Tarekat Naqsabandiyah, diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqibillah
c. Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah, diterima dari Sayid Ali di Zubaid/ Yaman
d. Tarekat Syathariyah, diterima dari Ibrahim Al Kurani Madinah
e. Tarekat Khalwatiyah, diterima dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub
Al-Khalwati Al-Quraisyi si Damsyiq. Syekh ini adalah imam di Masjid Muhyiddin
Ibn ‘Arabi.[11]
Syeikh Yusuf al-Makassari berbicara
pula tentang Insan Kamil dan proses pensucian jiwa. Ia mengatakan bahwa
seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan
tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses pensucian jiwa, ia
menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk
ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan.
Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri
atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Dalam Zubdat al-Asrar juga, Syaikh
Yusuf al-Makassari mengutip pernyataan al-Burhanpuri yakni pengarang kitab Tuhfat
al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, dan juga beliau adalah seorang ulama kelahiran
India yang dianggap sebagai pencetus pertama kali pemikiran Martabat
Tujuh. Konsep ini merupakan perwujudan-perwujudan (tajalli) Tuhan
melalui tujuh martabat: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ‘alam
mitsal, ‘alam ajsam, dan ‘alam insan. Adakalanya yang mengidentikkan ajaran Martabat Tujuh dengan ajaran Wahdatul
Wujud atau Manunggaling Kawula- Gusti.
5.
Pemikiran
Tasawuf Syeikh Nawawi al-Bantani
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani
al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional. Lahir di Kampung
Pesisir, Ds. Tanara, Kec. Tanara, Serang- Banten 1815 M. Sejak umur 15 tahun ia
pergi ke Makkah dan tinggal disana, tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya
pada tahun 1897 M, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah
membuatnya dijuluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Hijaz adalah
daerah yang sejak 1925 M diganti nama menjadi Saudi Arabia.
Ada beberapa maksud dan alasan yang melatarbelakangi
kepergian Syekh nawawi dari tnah kelahirannya di Tanara ke tanah suci di
Makkah: Pertama, Menunaikan ibadah haji. Dari sini terlihat betapa
bersemangat dan cintanya Syekh Nawawi terhadap Islam sehingga kesulitan yang
ada tidak merintangi niat dia untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu 1830,
yakni ketika dia berusia 15 tahun. Kedua, Menuntut ilmu. Bagi para
santri, kisah mengenai Makkah sudah tidak asing lagi. Dari banyak kyai mereka
mendengar perihal kehidupan intelektual Makkah sebagai pusat pendidikan agama.
Syekh Nawawi juga merasa bahwa tinggal di Makkah lebih menjanjikan. Bahkan
banyak juga muslim Jawa yng memiliki obsesi untuk menetap dn meninggal di
makkah maupun Madinah. Pada abad ke-11 M di Jawa, kota makkah telah menjadi
kiblat dalam banyak hal terkait dengan agama dan dipandang sebagai mata rantai
yang menghubungkan Allh dan makhluk-Nya, sementara kota Madinah dianggap
sebagai simbol kota suci dan kota perdamaina benukan nabi. Ketiga, Kondisi
tanah air. Syekh Nawawi meninggalkan tanah air dan segala yang dicintainya
lantaran mendapatkan tekanan dari Belanda Situasi itu memuncak pada Perang
Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830 M).
Syekh Nawawi bukan ulama yang ahli dalam sau bidang
ilmu saja, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut dia sebagai ”Kiai Intelektual
Ensklopedi”. Ilmu yang dia ajarkan hampir semua cabang ilmu agama Islam seperti
fiqh, tauhid, tata bahasa Arab, dan bahkan tafsir al-Qur’an. Sesudah menuntut
ilmu selama 30 tahun dari para ulama dan tinggal di Makkah, Syekh Nawawi tidak
saja mampu membaca al-Qur’an secara sempurna, tetapi juga menghapalkannya.
Banyak murid belajar tafsir kepadanya, diantaranya adalah K.H Hasyim Asy’ari
(pendiri NU dan Pahlawan nasional), K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadyah), dan
Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari Madura). Mereka kemudian meminta
syekh untuk membukukan tafsir al-Qur’an yang dia ajarkan kepada mereka. Kitab
tafsirini pada akhirnya terbit dan dikenal sebagai Tafsir Marah Labid
atau Tafsir al-Munir atau Tafsir an-Nawawi.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih
banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru
menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara
fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Bagi
Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata
tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan,
sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu
lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).[12]
6.
Pemikiran Tasawuf Syekh
Siti Jenar
Nama
asli beliau ali hasan alias andul jalil, hidup sejaman dengan walisongo.
Menurut penelitian dalhar shodiq mahasiswa UGM, ia berasal dari cirebon, jawa
barat. Tahun kelahirannya sulit di lacak, kemungkinan hidup abad ke 16 M.
Pemikirannya di anggap liberal,dan kontroversial, dalam ajaran tetang shalat ia
berpendapat bhwa tuhan bersemayam dalam dirinya dan shalat lima waktu sehari dn
zikir itu adalah suatu keputusan hati, kehendak pribadi. Syekh siti jenar
menganggap alam kehidupan didunia sebagai kematian, setelah menemui ajal
disebut sebagai kehidupan sejati. Konsep tuhan yang benar bagi syekh siti jenar
jika bersumber dari hati yang tulus dan jujur, tuhan tidak dapat di gambarkan
dengan apapun.[13]
7.
Pemikiran
Tasawuf Syeikh H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Hamka (haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di tanah Sirah, Sungai
Batang di tepi Danaau Mininjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H.,
bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah. Ayah
Hamka termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pauh Pariama atau Tuanku Nan
Tuo, salah seorang pahlawan Paderi. Tuanku Nan Tuo adalah salah seorang ulama
yang memeinkan peranan penting dalam kebangkitan kembali pembaharuan di
Minangkabau, dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din. Kondisi sicial keagamaan masa
Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang membawa umat pada ajaran
Al-Qur’an dan Hadits yang lurus, yang tidak bercampur dengan adat istiadat.
Kondisi politik menuntut untuk mengusir penjajah Belanda yang sangat ekspansi
dan kondisi inilah yang melatar belakangi perjuangan Hamka. Hamka mengawali
pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Setahun kemudian,
setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya ke sekolah desa.
Pada tahun 1916, ketika Jalaluddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah
petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka pergi ke sekolah desa, sore
hari pergi ke sekolah.[14]
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang
tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Hal ini berdasar
pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan
tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan
resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan
keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (univate state), dan refleksi
tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semagat dan nilai kepekaan social-relligius
(social keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan)
yang bersifat magis, metafisis, dan yang sebagainya. Konsep-konsep
tasawuf yang diterangkan Hamka sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan
pemahaman yang lebih tepat dengan roh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak
memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf
model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa
bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka
adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf
pemurnian.
Tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur’an, yakni “Tafsir al-Azhar” 30
juz (5 jilid). Tafsir ini sebagian besar dapat terselesaikan selama di dalam
tahanan. (Hari senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari
1964 sampai Juli 1969). Bulan Juli 1975, Musyawarah Alim Ulama Seluruh
Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia
pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395 M.[15]
IV.
KESIMPULAN
Konsep dasar tasawuf tetap pada simpul rahmatan lil-‘alamin, yang
memandang bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan umat manusia
adalah wajib hukumnya. Hal ini yang menjadi konsepsi tasawuf para sahabat Nabi
pilihan. Mereka membagi kehidupannya untuk perjuangan umat, masyarakat dan
negara di satu pihak. Sementara sisa waktunya dipergunakan untuk bermujahadah
dengan mengutamakan kebersihan batin dan rohani, menghadap Ilahi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan
tuntunan yang dapat menyampaikan
manusia kepada mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Jalur Islamisasi yang Terjadi di
Indonesia
Saluran Perdagangan, Saluran
Perkawinan, Saluran Tasawuf, Saluran
Pendidikan, Saluran Kesenian, dan Saluran
Politik.
Ajaran
Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia
Berangkat dari teori bahwa Islam
pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan bahwa peradaban Islam pada hakekatnya
juga urban, Johns menyatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan. Akan tetapi, dalam kurun
waktu tidak terlalu lama, Islam mulai
menempuh jalannya memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada
tahap ini para pedagang dan ulama yang sekaligus guru-guru Tarikat
(wali-wali di Jawa)
dengan murid mereka memegang peranan penting di dalam penyebaran tersebut.
Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek tasawuf atau
mistik ajaran Islam, namun ini tidak berarti bahwa aspek hukum (syariah)
terabaikan sama sekali. Pendahulu Islam
tidak pernah berhenti bergerak diantara kecenderungan sufisme dengan panutan
yang lebih taat kepada syariah. Misalnya Nuruddin Ar Raniri yang lebih berorentasi
pada syariah dengan dukungan penguasa ”membersihkan” Aceh khususnya dari
gagasan-gagasan filosof isu-isu mistik Hamzah Fansuri dan Sammsudin pentingnya
syariat dalam menempuh jalan tasawuf.
Tokoh-tokoh Tasawuf yang Ikut
Berperan di Indonesia
Di sini disebutkan ada
beberapa para tokoh ulama tasawuf yang berperan dalam penyebaran agama Islam di
Indonesia beserta pemikiran-pemikirannya diantaranya yaitu: Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli, Syeikh Yusuf Al- Makassari, Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh Siti Jenar, dan Syeikh
H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
V.
ANALISIS
Berbicara
tentang agama, tidak dapat lepas dari hubungan dengan Tuhan, yang dalam Islam
dikenal dengan ajaran tasawuf yang kemudian dalam perkembangannya telah menjadi
ideology institusi-institusi yang menaunginya yang disebut tarekat. Dalam
perkembangan selanjutnya, tasawuf ternyata juga ikut andil dalam proses
penyebaran agama Islam di Indonesia dari beberapa jalur-jalur yang ditempuh
dalam proses perkembangan Islamisasi di Indonesia sendiri yaitu melalui jalur Perdagangan, Perkawinan, Pendidikan, Kesenian, dan Politik.
Dalam pembahasan di sini peran Tasawuf dalam penyebaran Islam di
tanah air menarik untuk dicermati. Eksesnya bukan saja terkait dengan persoalan
“tata krama” hubungannya dengan Tuhan, tapi juga persoalan
sosial-kemasyarakatan, bahkan masalah politik. Proses pembentukannya pun
sedikit banyak beradaptasi dengan kehidupan spiritual sekitar awal datangnya
Islam, yakni tradisi Hindu dan Budha. Islam pertama yang dikenal di Nusantara
ini sesungguhnya adalah Islam sufi.
Perkembangan
tasawuf di Indonesia mempunyai hakikat tujuan yakni Islamisai penduduk
Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional yang bersifat animisme,
dinamisme dengan pengaruh mistiknya, sementara itu tasawuf digunakan oleh para
wali untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat. Perkembangan tasawuf bukan
hanya di pulau Jawa akan tetapi di pulau-pulau lain kepulauan Nusantara.
Sejarah Islam dan berbagai cabangnya, termasuk sejarah tasawuf dan pengikutnya sangat penting untuk
diperkenalkan, diantaranya adalah mengenai tokoh-tokoh dari ajaran tasawuf di
Indonesia ini. Karena,
tasawuf terus mengalami perkembangan dan memberi pengaruh penting di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh tasawuf tersebut ialah diantaranya: Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli, Syeikh Yusuf Al- Makassari, Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh Siti Jenar, dan Syeikh
H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Mereka adalah sedikit dari sekian banyak tokoh-tokoh sufi yang mengajarkan
tasawuf di Indonesia, yakni semuanya bertujuan guna menyebar luaskan agama
Islam di Indonesia.
VI.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, uraian singkat mengenai
pembahasan “Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia”. Besar harapan kami makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah kami
masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami senantiasa mengharapkan masukan dan
kritik yang membangun untuk kemajuan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Asnawi
Ahmad, Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani tentang
ayat Qadar dan Jabar dalam kitab tafsirnya “marah labid”, Jakarta: Studi
Teologi, 1989.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2000.
Mulyati, Sri, Tasaawuf Nusantara.
Sholikhin,
Muhammad, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil), Semarang: Pustaka Nuun,
2004.
Steenbrink, Korel A., Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad-19, Jakarta:Bulan Bintang, 1984.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005.
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Pustaka
Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Yusuf, Yunus, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990.
http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html.diakses pada, 10 Okt. 2012, jam 13:50
[1] Muhammad
Sholikhin, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil), (Semarang: Pustaka Nuun,
2004), hlm. 96-97
[3] Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
201- 202
[4] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 225-226
[5] Fatah Syukur, Op.
Cit., hlm. 183
[6] Azyumardi Azra,
Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm.
33
[8] Korel A.Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad-19, ( Jakarta, Bulan Bintang :1984), Hlm. 174
[10]http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html.diakses pada, 10 Okt. 2012, jam 13:50
[11] Ahmad Asnawi, Pemikiran
Syekh Nawawi Al-Bantani tentang ayat Qadar dan Jabar dalam kitab tafsirnya
“marah labid”, (Jakarta: Studi Teologi, 1989), hlm. 20
[12]http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html.diakses pada, 10 Okt. 2012, jam 13:50
[13] Sri Mulyati, Tasaawuf Nusantara, hlm. 68
[14] Yunus Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm.
[15] http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html.diakses pada, 10 Okt. 2012, jam 13:50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar