TOKOH-TOKOH
ISLAM DI INDONESIA (PART I)
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Islam Indonesia
Dosen
Pengampu: Maftukhah,
M.SI
Di susun
oleh:
Iin
Setyani
(103111114)
Iis
Maghfiroh (103111115)
Malikhah
(103111123)
Maulida
Khairun Ni’mah (103111125)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
TOKOH-TOKOH
ISLAM DI INDONESIA (PART I)
I.
PENDAHULUAN
Pluralitas merupakan kenyataan bangsa
Indonesia yang melekat dalam eksistensi manusia dan masyarakat. Istilah
pluralisme agama merupakan kata yang ringkas untuk menggambarkan sebuah tatanan
dunia baru dimana perbedaan budaya, system kepercayaan, dan nilai-nilai
membangkitkan bergairahnya pelbagai ungkapan manusia yang tak akan kunjung
habis sekaligus mengilhami konflik yang tak terdamaikan. Sehingga
selalu
menarik untuk diperbincangkan.
Dari zaman klasik hingga modern
pluralisme agama seakan tidak menemukan muaranya. Meskipun demikian, di Indonesia tetap saja terjadi
perbuatan dan tingkah laku amoral masyarakat yang seringkali mengatasnamakan
agama (Islam).
Berangkat dari permasalahan
di atas Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali sebagai tokoh pelopor pluralisme Indonesia
mengatasnamakan kerukunan beragama mengangkat pluralisme
agama sebagai solusi merebaknya intoleransi dan aktivisme kekerasan, baik antar
agama maupun sesama agama. Begitu juga
dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyumbangkan ide dan pemikirannya
yang brilian dalam menjawab persoalan agama di berbagai aspek kehidupan.
Sehingga makalah ini hadir
dalam rangka untuk mengenal lebih jauh lagi kepada dua tokoh fenomenal di atas
yang dilengkapi dengan segala pemikiran-pemikirannya yang berpengaruh pada
perkembangan Bangsa ini. Maka rugi lah kiranya jika pembahasan ini anda
lewatkan begitu saja.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana biografi Prof. Dr. H.
Abdul Mukti Ali dan KH. Abdurrahman Wahid?
B.
Bagaimana pemikiran
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dan KH. Abdurrahman Wahid?
C.
Apa saja karya
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dan KH. Abdurrahman Wahid?
III.
PEMBAHASAN
A. Biografi
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dan KH. Abdurrahman Wahid
1. Prof.
Dr. H. Abdul Mukti Ali
Adalah
tokoh pembaharu Islam yang mempelopori liberalisme pemikiran Islam di era
Indonesia modern. Selain sebagai penggagas liberalisme Islam di Indonesia, ia
dikenal sangat moderat dan mau menghargai pluralisme, baik internal masyarakat
Islam maupun eksternal di luar Islam.[1]
Abdul
Mukti Ali adalah alumnus Universitas Islam Indonesia, yang dahulu bernama Sekolah
Tinggi Islam. Ia lahir di Cepu, 23 Agustus 1923 dengan nama kecil Boedjono. Ia
adalah anak kelima dari ketujuh saudara. Ayahnya, Idris atau H. Abu Ali (nama
yang digunakan setelah menunaikan haji) adalah seorang pedagang yang cukup
sukses. Pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik
Belanda yang belakangan pada 1941, menjadi HIS.[2]
Ketika berumur 17 tahun ia melanjutkan penddikan di Pondok Pesantren Termas,
Kediri Jawa Timur. Setelah menamatkannya lalu ia mendaftarkan dirinya ke STI di
Yogyakarta yang kemudian berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia) pada
tahun 1947. Namun, akibat kedatangan Belanda ke Yogyakarta, keasyikan belajar
Mukti Ali itu terhenti.[3]
Akan
tetapi dengan kemampuannya yang baik dalam bahasa Arab, Belanda dan Inggris, ia
diterima di program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab, Universitas Karachi.
Ia mengambil program sejarah Islam sebagai bidang spesialisasi. Setelah lima
tahun, Mukti Ali menamatkan programnya di tingkat sarjana muda dan dilanjutkan
program Ph.D. dalam universitas yang sama. Kemudian ia melanjutkan program
belajarnya di Universitas McGill, Montreal, Kanada atas perintah dari Anwar
Harjono, mantan Sekjen Masyumi. Ia tiba di Montreal pada agustus 1955 dan
segera memulai belajar di universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada
ilmu perbandingan agama.[4]
Di
Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara
fundamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi
agama-agama, dan pertemanan yang sangat dekat dengan profesor-profesor kajian
Islam di universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith; seorang ahli Islam
berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang sangat simpatik atas Islam, yang
mengantarkannya pada perhatian yang sangat besar terhadap problem dialog antar
umat beragama. Perhatian Mukti Ali terhadap problem masalah kerukunan umat
beragama sebenarnya bisa dinilai sebagai sebuah transformasi
religio-intelektual dalam mana ia menemukan jawaban atas pergulatan-pergulatan
pribadi selama ini, yakni interaksi antar umat beragama di Indonesia.[5]
Beliau meninggal dunia dalam
usia 81 tahun pada 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr
Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan
Kalasan, Kabupaten Sleman. Ia meninggalkan seorang istri yaitu Siti Asmadah, tiga
orang anak, dan empat orang cucu.[6]
2. Biografi
KH. Abdurrahman Wahid
Gus
dur sapaan akrabnya lahir di Den
Anyar
Jombang 7 September 1940. Saat lahir, sebenarnya dia diberi nama Abdurrahman Addakhil.
Namun rupanya kata ini tidak cukup dikenal, hingga dia akhirnya menggantinya
dengan Wahid, mengambil nama belakang sang ayah. Gus Dur lahir dari keluarga
terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakeknya adalah KH. Hasyim
Asya’ari seorang pendiri NU dan pahlawan Nasional. Ayahnya KH. Wahid Hasyim
selain seorang alim ulama beliau
Menteri agama RI pertama 1949. Sedangkan kakek dari ibunya KH. Bisri Syamsuri,
juga seorang ulama dan pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan. Sementara ibunya Nyai Hj. Solehah adalah putri pendiri pondok pesantren
Den Anyar Jombang.[7]
Abdurrahman
Wahid mulai menuntut ilmu di Sekolah Dasar (SD) di Jakarta. Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Tanah
Abang. Selanjutnya ia pindah ke Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang tokoh
Muhammadiyah, KH. Junaid seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.[8]
Setelah
menamatkan pendidikannya di SMEP, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan
waktunya untuk belajar diberbagai pesantren yang berada dibawah naungan
Nahdlotul Ulama. Pada mulanya, ia mondok di Tegalrejo Magelang (1957-1959).
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Abdurrahman Wahid menimba ilmu di Mualimat
Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Setelah itu, ia mondok di
pesantren Krapyak, Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang tokoh NU terkemuka,
KH. Ali Maksum. Selanjutnya pada tahun 1964, ia berangkat ke Mesir untuk
menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo, hingga tahun 1966. Karena merasa
tidak puas dengan sistem pengajaran di Al-Azhar tersebut, maka pada tahun
1966-1970 ia meninggalkan Kairo untuk melanjutkan studinya di fakultas seni
universitas Bagdad.[9]
Sekembalinya
ke Indonesia, Beliau menikah dengan Sinta Nuriyah (dikaruniai
empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita
Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari), kemudian
ia kembali ke pesantren kakeknya dan mencurahkan
waktunya untuk mengajar santri dan melatih para guru. Dia menduduki berbagai
jabatan dalam jaringan pesantren, termasuk menjadi dekan di Universitas Hasyim
Asy’ari (1972-1974) dan menjadi Sekjen Pesantren Tebuireng Jombang (1974-1980).
Pada tahun 1974 bersama-sama pengurus pondok lainnya dia membentuk Komite
Pengembangan Pesantren untuk menghidupkan kembali sistem pesantren melalui
perluasan pengaruh dan dasar ekonominya. Komite ini membentuk jaringan dengan
pesantren-pesantren lain dan membujuk agen-agen pemerintah agar bersedia
mendanai proyek-proyek pengembangan, mulai dari air bersih dan energi sampai
matematika dan teknologi.[10]
Pada
masa mudanya, Abdurrahman Wahid terus terlibat dan terpengaruh oleh berbagai
aliran pemikiran, baik nasional maupun internasional. Setelah pindah ke Jakarta
pada tahun 1977, dia aktif dalam lingkungan agama dan intelektual,
berpartisipasi dalam berbagai forum dengan para tokoh pemikir Islam progressif
seperti Nurcholis Madjid, serta dengan orang-orang non muslim. Dia memperluas
hubungan dengan gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga dan sering
melakukan perjalanan jauh. Secara khusus ia mengunjungi Amerika Latin, dimana
ia menjadi akrab dengan Gerakan Sosial Katolik dan Teologi Liberal. Dia bertemu
dengan Uskup Agung Oscar Camara di Brazil dan pemimpin-pemimpin lainnya, dan
menjadi akrab dengan pemikiran teolog liberal seperti Leonardo Boff. Selain
itu, dia mengamati perkembangan masyarakat Kristen dan penggabungan bank kredit
yang dibentuk untuk membantu kaum miskin. Pengalaman-pengalaman ini
mempengaruhi kehidupan dan perjuangannya di kemudian hari. [11]
Beliau meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pada
usia 69 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya
sejak lama. Jenazah beliau dibawa ke Jombang dan
dikebumikan di komplek pemakaman Pesantren Tebu Ireng Jombang di sebelah kiri makam ayah beliau, KH Wahid
Hasyim.
B. Pemikiran
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dan KH. Abdurrahman Wahid
1. Pemikiran
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Mukti
Ali merupakan tokoh pelopor
pluralisme pertama di Indonesia. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Prof. W.C
Smith, pada saat dia belajar di MCGill univercity. Salah satu pemikirannya yaitu tentang pluralisme
agama.
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “al-ta’aduddiyyah
al-diniyah” dan dalam bahasa inggris “religious pluralism”.[12]
Pluralism
berarti “jamak atau lebih dari satu”. Sedangkan dalam
buku yang berjudul Tren Pluralisme karya Anis Malik Thoha, Pluralisme
mempunyai tiga pengertian, pertama, pengertian kegerejaan:
(i)sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur
kegerejaan. (ii)memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat
kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti
sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang
lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah
suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak
ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek
perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[13]
Ketiga
pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu
koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap
terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[14]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan
ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
Mukti
Ali menaruh perhatian besar terhadap problem dialog antar umat
beragama. Menurut Mukti Ali, tujuan dialog antar agama adalah
bagaimana pemerintah menyediakan suatu modus vivendi yang dapat membawa
komunitas agama yang berbeda-beda, saling menghormati, memahami dan menyadari
bahwa mereka hidup bersama di bawah payung kebangsaan. Mukti Ali menyadari
bahwa kebijakan dialog antar umat beragama semacam itu belum tentu akan
membuahkan hasil perdamaian yang total antar komunitas beragama dinegara
seperti Indonesia. Ia percaya bahwa pasti ada sekelompok sosial keagamaan
tertentu yang bisa diharapkan memberi sumbangan terhadap berjalannya dialog
agama. Berdasatkan pemikiran ini, Mukti Ali mempertemukan dan berkumpul dengan
tokoh agama, ulama, pendeta, pastur, biksu, cendekiawan dan sarjana, organisasi
agama untuk berdialog. [15]
Atas kenyataan itulah, Mukti Ali dikenal
sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak pernah lelah memperkenalkan
pada masyarakat luas, terutama mahasiswa tentang perlunya belajar ilmu
perbandingan agama. Oleh karenanya beliau dikenal dengan bapak perbandingan
agama. yang mana diantara temuan dan kesimpulan penting yang telah dicapai
dalam disiplin perbandingan agama tersebut adalah bahwa agama-agama dunia
hanyalah merupakan ekspresi atau manifestasi yang beragam dari suatu hakikat
metafisik yang absolut dan tunggal. Dengan kata lain, semua agama adalah sama.
Kesimpulan ini didasarkan pada sebuah premis yang dibangun bahwasanya agama
adalah sikap dan respon manusia terhadap suatu hakikat ketuhanan yang absolut.[16]
Selain
pemikirannya yang dituangkan dalam disiplin ilmu perbandingan agama, ia juga menjadikan
dialog antar umat beragama sebagai kebijakan utama di Departemen Agama ketika
ia menjabat sebagai Menteri Agama. Kebijakan itu dibarengi dengan kebijakan
menumbuhkan keharmonisan hubungan antar umat beragama, khususnya antara Muslim
dan Kristen di Indonesia.[17]
2. Pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid
Ada
banyak pemikiran yang dicetuskan oleh Gus Dur, baik dalam bidang politik,
sosial, pendidikan, maupun bidang agama. Gus Dur, dengan pengetahuan pada
tradisi yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai adalah satu
dari sedikit orang yang bisa memahami dinamika agama dan modernisasi. Kumpulan
artikelnya sedikit banyak menunjukkan hal itu. Jika kepada kalangan
teknokrat-birokrat pemerintahan dan lingkungan keagamaan umumnya ia memberikan perspektif
liberal dan progresif dari kehidupan agama, maka terhadap kalangan agama ia
memberikan perspektif religius dari cita-cita kehidupan sekular/ modernisasi.[18]
Melalui
artikel “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang”, yang
ditulisnya bersama Zamakhsyari Dhofier, Gus Dur mencoba membantah anggapan
bahwa agama merupakan unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau
terpengaruh oleh kebudayaan lain. Alih-alih diharapkan sebagai pendorong perubahan.
Dari tatapan historis, menurut Gus Dur, jelas pandangan itu tidak kokoh. Kasus
sukses perubahan di Jepang dan Eropa Barat jelas memperlihatkan peran agama
disana sebagai spiritnya, yang didahului oleh perubahan pandangan keagamaan.
Sebaliknya, kegagalan Turki dibawah Kemal Atturk banyak disebut karena tidak
diakuinya Islam yang dianut mayoritas warga negaranya sebagai penggerak perubahan
pembangunan.[19]
Melalui
penafsirannya terhadap dua kasus yang terjadi di Jawa Timur dan eksplorasi
kritis terhadap teori-teori sosial mengenai hubungan agama dan perubahan, seperti
dari Marx Weber, Snouck Hurgronje, Racliffe Brown dan Malinouwski, Gus Dur
mengungkapkan betapa dinamisnya agama sebagai penggerak perubahan. Perubahan
masyarakat tersebut didahului oleh perubahan pandangan keagamaan. Atau pandangan
keagamaan bergeser oleh tuntutan perubahan masyarakat. Dengan demikian, jelas
tak ada pemahaman keagamaan yang statis dan tak berubah sepanjang aspirasi masyarakat
yang memeluknya terus berkembang, demikian juga sebaliknya.[20]
Dalam
karya Damien Dematra, yang berjudul Sejuta Hati Untuk Gus Dur,
menggambarkan pemikiran Gus Dur yang telah mengajarkan kemajemukan. Gus Dur
menurut SBY, adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme. Gus Dur menyadarkan
sekaligus melembagakan penghormatan kepada kemajemukan ide dan identitas yang
bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan. Gagasan Gus
Dur tentang multikulturalisme adalah keinginannya agar kemajemukan yang terdapat dalam berbagai kelompok
sosial dipahami sebagai khazanah kekayaan bangsa. Setiap pribadi berhak
melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik
negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Lebih dari itu,
negara hendaklah memberikan pelayanan yang sama terhadap semua warga negaranya
tanpa kecuali. Demikian juga tradisi budaya yang ada dalam setiap kelompok
sosial hendaklah dipahami sebagai nilai-nilai kehidupan dunia (world life).
Negara memiliki jarak yang sama terhadap setiap warganya. Oleh karena itu
multikulturalisme dalam pandangan Gus Dur adalah bahwa keragaman bukan saja
diakui akan tetapi harus diberikan kebebasan karena dengan keragaman maka akan
saling melengkapi satu dengan yang lain.[21]
Dari
keragaman itulah akan timbul sikap toleransi
yang
merupakan ajaran semua agama dan budaya, apalagi dalam
masyarakat majemuk dan multicultural di Indonesia. Gusdur mengajarkan sikap
toleransi yang berbeda dengan tokoh agama lain. Kalau kebanyakan orang
membudayakan toleransi sebatas hidup perdampingan secara damai yaitu hidup
bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gusdur.
Menurut Gusdur, tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya karena pada pola
hidup perdampingan secara damai, karena hal demikian masih rentan terhadap
munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa
menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap pluralisme
berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus
sehingga kelompok satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima (take
and give). [22]
C. Karya
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dan KH. Abdurrahman Wahid
1. Karya
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Mukti
Ali juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim Terkemuka dengan karya tulis yang
cukup banyak, sekitar 32 judul buku. Diantaranya berjudul Beberapa Persoalan Agama Dewasa
ini (1977), Pengantar Ilmu Perbandingan Agama (1959-1987), Muslim Hilali dan
Muslim Muhajir di Amerika (1993), Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh; Ahmad
Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta’lim Muta’alim versi Imam Zarkasi, Memahami Beberapa Aspek
Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan.[23]
2. Karya
KH. Abdurrahman Wahid
Beberapa
karya yang dihasilkan dari pemikiran Gus Dur antara lain, Bunga Rampai
Pesantren, Muslim di Tengah Pergumulan, Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, Tuhan
Tak Perlu Dibela, Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama
dan Negara, Kyai Menggugat; Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
Transformasi, Tabayyun Gus Dur, Islam; Negara; dan Demokrasi, Himpunan Percikan
Perenungan Gus Dur, Gus Dur Menjawab Tantangan Perubahan, Membangun Demokrasi,
Melawan Lelucon.[24]
IV.
ANALISIS
Kedua tokoh diatas, banyak mengajarkan
pentingnya sikap toleransi antar umat beragama. Untuk menciptakan sebuah
kerukunan dan sikap inklusif, tidak hanya dilakukan dengan cara saling
menghormati saja. Namun, dengan adanya dialog antar umat beragama justru akan
menambah khazanah keilmuan seseorang. Jadi, tidak hanya ilmu yang didapat, rasa
saling menghormati dan kekeluargaan akan terjalin dengan baik, meskipun berbeda
keyakinan.
Mukti Ali sebagai penggagas pluralisme
di Indonesia, menekankan bahwasanya nilai-nilai toleransi tidak hanya dicerminkan
dalam sikap saling menghargai antar umat beragama. Dialog antar umat beragama
menjadi salah satu aspek penting yang mampu membangun nilai-nilai pluralisme
secara mendalam.
Begitu pula dengan ajaran pluralisme
yang diberikan oleh Gus Dur. Ada lima elemen kunci yang dapat disimpulkan dari
pemilkiran beliau.
Pertama, pemikiran yang progresif dan bervisi jauh kedepan. Baginya
daripada terlena oleh kemenagan masa lalu, Gus
Dur melihat masa
depan dengan harapan yang pasti bahwa, bagi Islam dan masyarakat Muslim,
sesuatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar
merupakan respons terhadap modernitas, respons dengan penuh percaya diri dan
cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyarakat Barat
modern, Gus Dur secara umum bersikap positif
terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga
berpendapat hal itu perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga,
dia menegaskan bahwa posisi sekularisme teistik yang di tegaskan dalam Pancasila
merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara
Indonesia modern dengan alasan posisi non-sektarian Pancasila sangat penting
bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Abdurrahaman menegaskan bahwa ruang
yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang
politik praktis. Keempat, Gus
Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan
terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni
dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus
Dur merepresentasikan sinthesis cerdas pemikiran Islam
tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan barat modern, yang
berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran, intelektual
yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.
V.
KESIMPULAN
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Adalah
tokoh pembaharu Islam yang mempelopori liberalisme pemikiran Islam di era
Indonesia modern. Selain sebagai penggagas liberalisme Islam di Indonesia, ia
dikenal sangat moderat dan mau menghargai pluralisme, baik internal masyarakat
Islam maupun eksternal di luar Islam. Ia juga dikenal sebagai bapak perbandingan agama
Indonesia yang dimulai dengan dirintisnya program jurusan perbandingan agama di
Indonesia.
Agar pemikiran-pemikirannya terus
hidup, beliau meninggalkan karya tulisnya berupa buku yang diantaranya
berjudul Beberapa Persoalan Agama
Dewasa ini (1977), Pengantar Ilmu Perbandingan Agama (1959-1987), Muslim Hilali
dan Muslim Muhajir di Amerika (1993).
Sedangkan KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)
adalah seorang pemikir yang brilian. Dengan pengetahuan
pada tradisi yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai adalah
satu dari sedikit orang yang bisa memahami dinamika agama dan modernisasi. Selain itu juga banyak
pemikiran yang dicetuskan oleh Gus Dur, baik dalam bidang politik, sosial, pendidikan,
maupun bidang agama. Karya-karya
yang dikeluarkan cukup fenomenal sehingga menarik perhatian masyarakat baik
nasional ataupun internasional, diantaranya yaitu Bunga
Rampai Pesantren, Muslim di Tengah Pergumulan, Kyai Nyentrik Membela
Pemerintah, Tuhan Tak Perlu Dibela, Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, A.
Muhaimin, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, Yogyakarta: PT.
LKis Printing Cemerlang, 2010.
John O. Voll dan John L. Esposito, Tokoh Kunci
Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Hariyanto,
dkk. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Munhanif, Ali, Menteri-menteri Agama
RI: Biografi Sosial dan Politik,
Jakarta: PPIM, 1998.
Musa, Ali Maskur, Pemikiran dan
Sikap politik Gus Dur, Jakarta: Erlangga, t.t.
Nata, Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Rozikin, Badiatul, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia,
Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama,
Jakarta: Gema Insani, 2007.
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran
Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 2010.
[1] Badiyatul
Rozikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm.
23
[2] Ali Munhanif, Menteri-menteri
Agama RI: Biografi Sosial dan Politik (Jakarta: PPIM, 1998), hlm. 273.
[5] Ali Munhanif, Menteri-menteri
Agama RI: Biografi Sosial dan Politik, hlm.281-283.
[7] Ali Maskur Musa, Pemikiran
dan Sikap politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, t.t), hlm. 4.
[9] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 340-341.
[10] John
L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Terj.
Sugeng Hariyanto, dkk. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 258
[11] John L. Esposito dan
John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng
Hariyanto, dkk. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 258-259.
[14]Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme Agama, hlm. 11-12.
[15] Ali Munhanif, Menteri-menteri
Agama RI: Biografi Sosial dan Politik, hlm.304.
[20] Abdurrahman Wahid, Prisma
Pemikiran Gus Dur, hlm. xiii-xiv.
[22] A.
Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta:
PT. LKis Printing Cemerlang, 2010), hlm.16-17.
[23] Badiyatul Rozikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia,
(Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm.
24-25.
[24] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 358-359.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar