efek bintang bertaburan pada kurso

Efek Blog

Kamis, 30 Mei 2013

PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP IMPERIALISME BELANDA




PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP
IMPERIALISME BELANDA

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah, M.SI





Disusun Oleh:
Tri isnaini (103111103)
Muhammad Kholid Mawardi (103111127)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP IMPERIALISME BELANDA
     I.          Pendahuluan
Menjelang kedatangan bangsa Eropa, masyarakat di wilayah Nusantara hidup dengan tenteram di bawah kekuasaan raja-raja. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia mula-mula disambut baik oleh bangsa Indonesia, Kedatangan bangsa Eropa membawa perubahan terhadap gerak kehidupan di Nusantara. Monopoli perdagangan, dominasi politik dan usaha-usaha merusak nilai luhur Islam yang dimiliki oleh kerajaan pada masa itu. Timbul perlawanan dari kerajaan Islam dengan dorongan agama Islam sebagai dasar perjuangan.
Agama Islam pada mulanya dipakai untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik atau ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Kompeni Belanda, dan kekuatan-kekuatan yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan yang dapat merugikan kerajaan-kerajaan Islam itu. tetapi lama-kelamaan rakyat Indonesia mengadakan perlawanan karena sifat-sifat dan niat-niat jahat bangsa Eropa mulai terkuak dan diketahui oleh bangsa Indonesia. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia disebabkan orang-orang Barat ingin memaksakan monopoli perdagangan dan berusaha mencampuri urusan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Dengan alasan itulah timbul perlawanan di berbagai daerah untuk memerangi imperialisme belanda.

  II.          Rumusan masalah
A.  Bagaimana  keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda datang?
B.  Apa maksud dan tujuan kedatangan belanda?
C.  Bagaimana perlawanan rakyat terhadap imperialisme Belanda?



III.          Pembahasan
A.  Keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda datang
Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan abad ke-17 keadaan kerajaan – kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di kerajaan – kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatera, sudah memeluk Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja berlangsung.
Di Sumatra, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi tiga: Aceh, Portugis,dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam. Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para pedagang muslim menghindar dari Malaka, dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan Nusantara.
Ketika itu aceh memang sedang berada pada masa kejayaannya, di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda wafat dalam usia 46 tahun pada 27 september 1636. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah ia meninggal dunia 15 februari 1641, aceh secara berturut- turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Pada saat itulah Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah – daerah di Sumatra yang berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Meskipun sudah jauh menurun, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan-kerjaan Islam lainnya, seperti Minangkabau, Jambi, Riau dan Palembang tidak demikian.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dafi pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintah itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, di antaranya adalah (1) kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris, (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayaran Jawa, dan (3) terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak –kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Meskipun Ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil utama dan pengekspor beras, posisi Mataram dalam jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, banten juga menarik perdagangan lada dari Indrapura, Lampung dan Palembang. Produksi ladanya sendiri sebenarnya kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan – pelabuhan Jawa timur akibat politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser.
Di sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan makasar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku, Filipina, Cins, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan kepulauan Indonesia bagian barat. Akan tetapi, ada faktor-faktor historis lain yang mempercepat perkembangan itu. Pertama, pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makasar. Kedua, arus migrasi Melayu bertambah besar setelah aceh mengadakan ekspedisi terus-menerus ke Johor dan pelabuhan – pelabuhan di semenanjung Melayu. Ketiga, blokade Belanda terhadap malaka di hindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia barat dan Asia timur. Keempat,  merosotnya pelabuhan Jawa timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh pelabuhan Makasar. Kelima, usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makasar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam berkembang di sana.[1]
Sementara itu Maluku, Banda, Seram dan Ambon Sebagaimana pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang barat yang ingin mrnguasainya dengan politik monopolinya.
B.  Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Belanda di Indonesia
Pada mulanya Belanda datang ke Indonesia hanya untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bagi bangsa Indonesia.[2] Awalnya hanya Perseroan Amsterdam yang mengirimkan kapal dagangnya ke Indonesia, melihat hasil yang di peroleh Perseroan amsterdam itu, banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan maret 1602 perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten-general Republik dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara tanjung harapan dan kwpulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).[3]
Hak – hak khusus yang di berikan kepada Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) adalah
1.      Membuat perjanjian dengan raja2 setempat
2.      Menyatakan perang dan perdamaian
3.      Membuat senjata & benteng
4.      Mencetak uang
5.      Mengangkat & memberhentikan pegawai
6.      Mengadili perkara.
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang dengan Portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk mendirikan benteng tersendiri. Dalam angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten, dan Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng portugis di Tidore.
Dalam usaha mengembangkan perdagangan, VOC nampak ingin melakukan monopoli. Karena itu aktivitasnya yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam. Sistem monopoli itu bertentangan dengan sistem tradisional yang dianut masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan semakin memperkuat sikap permusuhan pribumi tersebut. Namun secara politis VOC dapat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.[4]
Pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin operasinya di cabut. Kemunduran, kebangkrutan dan di bubarkannya VOC disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, utang besar, dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan atau hasil tanaman penduduk sehingga mmenimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.[5]
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ke tangan pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942, dan hanya di Interupsi pemerintahan inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816. Sampai tahun 1811, pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816, Belanda justru memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negara induk, guna menanggulangi masalah ekonomi belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830 pemerintahan Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan suez di buka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah menerapkan politik liberal di indonesia. Perusahan dan modal swasta di buka seluas – luasnya. Meskiun dalam politik liberal itu kepentingan dan hak pribumi mendapagt perhatian tetapi pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Baru pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis, politik balas budi.[6]

C.  Perlawanan rakyat terhadap imperialisme Belanda
Penjajahan belanda terhadap bangsa Indonesia, mendapat perlawanan sengit dari rakyat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, karena bangsa Indonesia merasa di jajah dan diperlakukan semena – mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut tidak hanya bermotif politik kebangsaan, melainkan juga karena bermotif agama. Penjajah belanda di samping ingin menguasai Indonesia, juga menyebarkan agama mereka, yaitu kristenisasi terhadap penduduk pribumi.
Faktor-faktor penyebab sulitnya perkembangan agama Kristen di Indonesia pada waktu itu adalah:
a)      Pada waktu itu agama Kristen dianggap identik dengan agama penjajah
b)      Pemerintah kolonial tidak menghargai prinsip persamaan derajat manusia
c)      Sebagian besar rakyat Indonesia telah menganut agama lain.
Oleh karena itulah upaya penyebaran dilakukan di daerah-daerah yang belum tersentuh agama lainnya. Juga dilakukan dengan mengadakan tindakan-tindakan kemanusiaan seperti mendirikan rumah sakit dan sekolah. Akhirnya berkat kerja keras kaum misionaris dan zending, agama Kristen dapat berkembang di Indonesia sampai sekarang.
 Akibatnya rakyat dan bangsa indonesia di hampir semua wilayah mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Perlawanan-perlawanan itu antara lain sebagai berikut.[7]
1.      Perang Padri
Perang Padri terjadi di minangkabau Sumatera barat berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Padri sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan
b. Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.[8]
Pada mulanya gerakan yang dikenal dengan nama padri ini dilakukan melalui ceramah di surau dan masjid. Konflik terbuka dengan golongan penantang baru terjadi ketika golongan adat mengadakan pesta menyambung ayam di kampung batabuh. Pesta maksiat itu diperangi oleh golongan padri. Sejak itulah perang antara kaum padri dengan kaum adat mulia berlangsung.
Sebenarnya banyak kaum adat yang mendukung dan berpihak kepada kaum Padri. Tantangan keras yang di hadapi padri berasal dari keturunan Raja-raja. Mereka inilah yang senantiasa menghambat gerakan tersebut, mungkin, karena alasan khawatir kehilngan pengaruh dan kekuasaan di kalangan rakyat. Golongan terakhir ini kemudian meminta bantuan kepada pemerintah Hindia Belanda yang di sambut dengan senang hati. Pada tangal 21 februari 1921, perjanjian antara kaum adat dan belanda di tandatangani. Sejak itu bermulalah perang antara golongan padri dengan di dukung oleh rakyat melawan pasukan Belanda yang di dukung persenjataaan modern dan personil terlatih.
Kaum paderi memperkuat benteng yang tangguh di bonjol. Yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pengumpulan logistik dan pembuatan senjata api. Benteng ini di pimpin oleh Muhammad Syahab yang kemudian bergelar tuaanku Imam Bonjol.[9] Belanda menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864.[10] Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.[11]
 Walaupun Paderi kalah di tangan Belanda, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama di samping adat, terjadi asimilasi doktrin agama ke dalam plot Minangkabau sebagai pola perilaku ideal. Doktrin agama diidentifikasikan lebih jelas sebagaai satu-satunya standar perilaku. Adat islamiah yang dilahirkannya menjadi adat yang berlaku, sementara adat yang bertentangan dengan islam di pandang sebagai adat jahiliah yang terlarang.[12]
2.      Perang Diponegoro
Perang Diponegoro disebut juga dengan perang jawa. Perang Diponegoro berlangsung hampir di seluruh jawa antara tahun 1825-1830. Perang tersebut bernafaskan islam, bertujuan mengusir penjajah untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilaan.[13]
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a.       Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b.      Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c.       Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d.      Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Dalam perang, pangeran Diponegoro menggunakan taktik gerilya. Peperangan segera menyebar luas ke mana-mana. Kota Yogya di kepung sehingga penduduk Belanda merasa terancam. Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban berguguran di pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri dengan melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerakan tentara Pangeran Diponegoro. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri belanda sekitar 3000 orang.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun.[14]
3.      Perang Aceh
Perang aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1873 – 1904. Belanda memang membutuhkan waktu yang lama untuk memadamkan perang itu mengingat perang ini melibatkan seluruh rakyat aceh. Kaum ulama membantu mengubahnya menjadi perang suci agama. Dengan islam sebagai ideologi bersama, mereka gigih melawan musuh mereka bersama, orang- orang kafir belanda.[15] Rakyat Aceh dalam menegakkan eksistensinya terhadap praktek imperialisme Belanda, berjuang dengan sendi-sendi kehidupan rakyat Aceh, yaitu Adat bersendi syarah, syarah bersendi kitabullah.[16]
Belanda menyerang Aceh pertama pada 1873 di bawah pimpinan Jend Kohler di depan Masjid Raya,  namun gagal. Serangan kedua Desember 1873 dipimpin Jend. Van Suieten, berhasil merebut masjid Raya dan Istana. Setelah Teuku Cik Di Tiro  sebagai pemimpin utama Aceh Wafat. Pucuk pimpinan dilanjutkan oleh Teuku Umar dan Panglima Polim. Pada tahun 1893, Teuku Umar beserta pasukannya memanfatkan kelengahan Belanda dengan tujuan mendapatkan senjata. Disambut baik dan mendapat gelar Teuku Johan pahlawan. Pada tahun 1896, Teuku Umar bergabung kembali dengan rakyat Aceh dengan membangun markas pertahanan Meulaboh.[17]
Sebelum fajar, pada tanggal 23 Mei 1896, pasukan Belanda sudah bertempur dengan musuh, dan seberapapun kuat pasukan dan keberanian yang ditunjukkan oleh Umar untuk memimpin pasukan, ia harus mundur; untuk itulah J.B. van Heutsz dan Henri Mari Vis diberi penghargaan. Gampong Lam Hasan menunjukkan perlawanan sengit; selama berjam-jam baterai artileri yang kuat dekat Lamjamu ditembakkan tanpa henti; sia-sia saja Batalyon Infanteri IX mencoba menembus pertahanan yang kokoh itu dan saat fajar menyingsing mayor infanteri JR. Jacobs, dengan pasukan cadangannya yang terdiri atas 3 kompi di Batalyon VII, ditugaskan membantu Batalyon IX dan merebut Lam Hasan. Dengan Kompi I di barisan, separuh Kompi II pada sayap kiri dan sisanya ditanam di Ajuen Tebal untuk menghadapi gerak maju musuh. Dalam 20 menit, tempat itu sudah diduduki Belanda dan seluruh pemberontak dibasmi habis. Dari separuh kompi yang turut serta dalam pertempuran yang sesungguhnya, 2 perwira terbunuh dan 30 orang lainnya namun mereka tetap menang. May. JR. Jacobs, yang tertembak bersama kudanya hingga harus jalan kaki bersama Kompi I untuk berperang, untuk kesempatan ini dihargai dan selama pertempuran berikutnya hingga akhir bulan Oktober dianugerahi Militaire Willems-Orde Kelas IV.
Serangan ke Lampisang diawali secara mendadak di malam hari oleh sebagian garis pertama sayap kanan dan kiri; barisan Van Heutsz harus mendaki bukit dan menduduki Glee Putih. Dibantu gelap, mereka mencapai perbukitan tanpa menghadapi perlawanan dan dapat melanjutkan serangan ke atas. Setibanya di atas, mereka dapat memantau Lampisang. Dari situlah tembakan diawali, yang di situ baterai gunung diperlukan. Umar dan pengikutnya melancarkan serangan mendadak yang singkat ke Bukit Sebun Beradin yang terletak di selatan. Van Heutsz mengirim laporan bahwa gerak maju harus secepatnya dilakukan oleh Batalyon VII dan IX. Lamteungoh, Lam Manyang dan Lam Isek ditaklukkan oleh Batalyon XII dan XV, yang untuk itu Pasukan Cadangan Kolonial yang dipimpin oleh Sipko Adriaan Drijber diberi penghargaan khusus. Sipko Drijber terluka 2 kali. Pada tanggal 23 Mei, pasukan Belanda menderita kekalahan besar, ada 160 orang yang tak diikutsertakan lagi dalam serangan.
Di pagi berikutnya, pasukan bergerak ke Lampisang dan tempat tinggal Teuku Umar dibakar, diikuti dengan sebuah kubu yang kuat, yang terdiri atas Kampung Beradin dan Benteng Sebun. Secara keseluruhan, operasi di daerah Teuku Umar menelan 200 korban tewas dan terluka dari pihak Belanda. Setelah dihukum, pasukan kembali ke Kutaraja. JJK. de Moulin diangkat sebagai Gubernur Aceh namun hanya bertugas dalam waktu singkat. Pada tanggal 7 Juli 1896, ia meninggal akibat hipertermia.
Sejak bulan Mei 1898, serangan demi serangan pasukan Belanda semakin gencar di laksanakan. Beberapa ulama dan uleebalang terpaksa menyerah. Teuku Umar menyingkir ke Aceh timur, sementara panglima Polim menyingkir ke aceh barat, walaupun terdesak tetapi laskar aceh belum menyerah dan memusatkan pertahanan di daerah gayo. Dalam suatu peperangan, Teuku umar gugur. Satu persatu uleebalang menyerah. Daerah demi daerah jatuh ke tangan musuh. Akhirnya pada 1904 Aceh terpaksa menandatangani Perjanjian singkat Yang berisi, “ Aceh mengakui kedaulatan Belanda”, Perang Aceh yang dahsyat itupun akhirnya berakhir.[18]
4.       Perang Banten
Pemberontakan rakyat di cilegon terjadi pada tahun 1888, di pimpin oleh K.H. Wasit. Wasit bersama H. Islmail, dan para ulama lain, menyusun perlawanan terhadap penjajah. Kemurkaan rakyat cilegon karena kelaparan, kematian ternak yang ditembaki Belanda dengan semena-mena, dan kebencian yang telah berkumpul karena melihat keangkuhan pegawai pemerintah Belanda, pengekangan penjajahan terhadap pengamalan ajaran islam, serta berbagai sebab lain menjadi pemicu perlawanan raakyat cilegon terhadap Belanda. Para pemimpin pemberontakaan rakyat terhadap Belanda di cilegon sebagian besar adalah murid-murid yang pernah belajar kepada syaikh Nawawi Al Bantani, seorang ulama besar di arab yang berasal dari Banten.[19]
Pemebrontakan terhadap penjajah oleh rakyat Banten terjadi, kota Cilegon di searng rakyat. Dengan sorak tahlil yang menggema rakyat masuk merangsek kedalam kota memerangi penjajah. Pemicu pemberontakan sebagaimana disebutkan diatas disebabkan oleh banyak faktor, tetapi yang paling pokok menjadi landasan pemberontakan adalah karena sikap penjajah yang menghalangi kebebasan beragama, dan juga diperlakuan semena-mena pihak penjajah terhadap para petani Banten.[20]
Dalam pemberontakan rakyat tersebut, asisten residen Goebels dan beberapa orang keluarganya tewas. Akan tetapi, ketika bantuan dari Serang yang membawa 40 pasukan serdadu di bawah pimpinan Letnan Bartlemy datang, perlawanan rakyat menjadi melemah.
Pimpinan perang KH.Wasit di hukum gantug oleh Belanda. Adapun para pimpinan yang lain di buang kewilayah lain.[21] Akan tetapi, walaupun pemberontakan rakyat dapat di padamkan oleh pihak penjajah Belanda, semnagat rakyat untuk bersatu melawan penjajah terus berkobar di hati rakyat Banten.[22]
Disamping beberapa peperangan sebagai mana di sebutkan diatas, terdapat pula peperangan peperangan lain terhadap penjajahan Belanda di berbagai wilayah Indonesia. Diantaranya yaitu peperangan di Makasar, Jambi, Banjar, palembang dan lain sebagainya.








IV.          Analisis
Keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda masuk tidaklah sama, ini di karenakan keadaan politik dikerajaan itu dan juga proses pengembangan Islam di masing-masing kerajaan. Awal Belanda masuk di Indonesia, rakyat pribumi tidak menaruh curiga sama sekali terhadap Belanda atau dalam hal ini VOC. Karena tujuan awal VOC datang ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bagi bangsa Indonesia.
VOC pun mengadakan ekspedisi ke berbagai wilayah Indonesia dan berhasil menguasai berbagai daerah. Setelah beberapa tahun menguasai daearah – daerah indonesia, karena beberapa faktor VOC di bubarkan dan daerah jajahaan VOC di ambil alih oleh pemerintahan Belanda.
Pengambil alihan daerah jajahan kepada pememerintahah Belanda semakin menambah parah kekejaman yang dilakukan kepada rakyat pribumi. Hampir daerah-daerah di seluruh wilayah Nusantara melawan Belanda.
Tidak semudah itu untuk menjajah sebuah daerah karena rakyat pribumi setiap daerah tidak menerima ketika daerahnya di jajah. Dalam hal ini peran ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajah sangat besar. Ketika bangsa Indonesia melawan penjajah, tidak sedikit peran para ulama yang ikut andil bagian sebagai pejuang. Kenyataan menunjukkan, terjajahnya bangsa Indonesia oleh para penjajah bukan suatu proses tanpa perlawanan. Sebaliknya hal tersebut merupakan proses panjang penuh dengan perlawanan gigih dan perkasa dari bangsa Indonesia yang di pelopori para ulama. Salah satu sumber kejiwaan yang dominan dari pada rangkaian perlawanan bersenjata selama kurang lebih tiga abad adalah ajaran – ajaran Islam.






DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Dari Perbendaharaan lama, Jakarta: Pustaka panji Mas, 1982
----------, Sejarah Umat Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Ibrahim Ahmad, Islam di Asia Tenggara perspektif sejarah. Jakarta: LP3S, 1989
Kartodirdjo, Sartono, Pengntar sejarah Islam Baru, Jakarta : Gramedia, 1987
Munir A, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Thohir, Ajit, Perkembangan Peradaban di kawasan dunia Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam,  Jakarta: Raja Grafindo Jaya,1998



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Jaya,1998), hlm. 234
[2] Ajit Thohir, Perkembangan Peradaban di kawasan dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), hlm. 297
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengntar sejarah Islam Baru, (Jakarta : Gramedia, 1987), hlm. 71
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 235
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 236
[6] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 379-380
[7]  Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 389
[8] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 391
[9] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 391
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 244
[11] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 391
[12] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 392
[13]  Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 395
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 247
[15] Ahmad Ibrahim, Islam di Asia Tenggara perspektif sejarah. (Jakarta: LP3S, 1989), hlm. 170
[16] Hamka, Sejarah Umat Manusia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 297
[17]  Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 398
[18] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 399
[19] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 402
[20]Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 402
[21] Hamka, Dari Perbendaharaan lama, (Jakarta: Pustaka panji Mas, 1982), hlm. 105
[22] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 403

Tidak ada komentar:

Posting Komentar