PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP
IMPERIALISME BELANDA
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Islam Indonesia
Dosen
Pengampu: Maftukhah, M.SI
Disusun
Oleh:
Tri
isnaini (103111103)
Muhammad Kholid
Mawardi (103111127)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PERLAWANAN
RAKYAT TERHADAP IMPERIALISME BELANDA
I.
Pendahuluan
Menjelang
kedatangan bangsa Eropa, masyarakat di wilayah Nusantara hidup dengan tenteram
di bawah kekuasaan raja-raja. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia
mula-mula disambut baik oleh bangsa Indonesia, Kedatangan bangsa Eropa membawa perubahan terhadap gerak kehidupan di
Nusantara. Monopoli perdagangan, dominasi politik dan usaha-usaha merusak nilai
luhur Islam yang dimiliki oleh kerajaan pada masa itu. Timbul perlawanan dari
kerajaan Islam dengan dorongan agama Islam sebagai dasar perjuangan.
Agama Islam
pada mulanya dipakai untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau
kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik
atau ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada persekutuan kerajaan-kerajaan Islam
dalam menghadapi Kompeni Belanda, dan
kekuatan-kekuatan yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan yang dapat
merugikan kerajaan-kerajaan Islam itu. tetapi lama-kelamaan rakyat Indonesia
mengadakan perlawanan karena sifat-sifat dan niat-niat jahat bangsa Eropa mulai
terkuak dan diketahui oleh bangsa Indonesia. Perlawanan-perlawanan yang
dilakukan rakyat Indonesia disebabkan orang-orang Barat ingin memaksakan
monopoli perdagangan dan berusaha mencampuri urusan kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Dengan alasan itulah timbul perlawanan di berbagai daerah untuk
memerangi imperialisme belanda.
II.
Rumusan
masalah
A.
Bagaimana
keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia ketika Belanda datang?
B.
Apa
maksud dan tujuan kedatangan belanda?
C.
Bagaimana
perlawanan rakyat terhadap imperialisme Belanda?
III.
Pembahasan
A.
Keberadaan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda datang
Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan
abad ke-17 keadaan kerajaan – kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama.
Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik,
tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di kerajaan – kerajaan tersebut.
Misalnya di Sumatera, sudah memeluk Islam sekitar tiga abad, sementara di
Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja berlangsung.
Di Sumatra, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan
politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi tiga: Aceh, Portugis,dan
Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam. Pada abad ke-16,
tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para pedagang muslim
menghindar dari Malaka, dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh
berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan Nusantara.
Ketika itu aceh memang sedang berada pada masa kejayaannya, di
bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda wafat dalam usia 46
tahun pada 27 september 1636. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan
ini masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah ia
meninggal dunia 15 februari 1641, aceh secara berturut- turut dipimpin oleh
tiga orang wanita selama 59 tahun. Pada saat itulah Aceh mulai mengalami
kemunduran. Daerah – daerah di Sumatra yang berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan
diri.
Meskipun sudah jauh menurun, Aceh masih bertahan lama menikmati
kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan-kerjaan Islam
lainnya, seperti Minangkabau, Jambi, Riau dan Palembang tidak demikian.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dafi pesisir ke
pedalaman, yaitu dari Demak ke pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat
pemerintah itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan
sejarah Islam di Jawa, di antaranya adalah (1) kekuasaan dan sistem politik
didasarkan atas basis agraris, (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan
pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayaran Jawa, dan (3)
terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala
akibatnya.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah
kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Agung. Pada
masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak –kontak bersenjata antara kerajaan
Mataram dengan VOC mulai terjadi. Meskipun Ekspansi Mataram telah menghancurkan
kota-kota pesisir dan mengakibatkan perdagangan setengahnya menjadi lumpuh,
namun sebagai penghasil utama dan pengekspor beras, posisi Mataram dalam
jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara
lain karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, banten juga menarik perdagangan
lada dari Indrapura, Lampung dan Palembang. Produksi ladanya sendiri sebenarnya
kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan – pelabuhan Jawa timur akibat
politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat
jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser.
Di sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan makasar berkembang
dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku,
Filipina, Cins, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan kepulauan Indonesia bagian
barat. Akan tetapi, ada faktor-faktor historis lain yang mempercepat
perkembangan itu. Pertama, pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan
terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makasar. Kedua, arus migrasi
Melayu bertambah besar setelah aceh mengadakan ekspedisi terus-menerus ke Johor
dan pelabuhan – pelabuhan di semenanjung Melayu. Ketiga, blokade Belanda terhadap
malaka di hindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia
barat dan Asia timur. Keempat,
merosotnya pelabuhan Jawa timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh
pelabuhan Makasar. Kelima, usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah
di Maluku membuat Makasar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara
Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam berkembang di sana.[1]
Sementara itu Maluku, Banda, Seram dan Ambon Sebagaimana pangkal
atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang barat yang ingin
mrnguasainya dengan politik monopolinya.
B.
Perkembangan
Kolonialisme dan Imperialisme Belanda di Indonesia
Pada mulanya Belanda datang ke Indonesia hanya untuk menjalin
hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian
mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bagi bangsa
Indonesia.[2] Awalnya
hanya Perseroan Amsterdam yang mengirimkan kapal dagangnya ke Indonesia,
melihat hasil yang di peroleh Perseroan amsterdam itu, banyak perseroan lain
berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan maret
1602 perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten-general Republik dengan
satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk
berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara tanjung harapan
dan kwpulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC).[3]
Hak – hak khusus yang di berikan kepada Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) adalah
1.
Membuat perjanjian dengan raja2
setempat
2.
Menyatakan perang dan perdamaian
3.
Membuat senjata & benteng
4.
Mencetak uang
5.
Mengangkat & memberhentikan
pegawai
6.
Mengadili perkara.
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat Bali.
Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-rempah.
Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang dengan Portugis di Ambon,
tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk mendirikan benteng tersendiri. Dalam
angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten, dan
Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng portugis di Tidore.
Dalam usaha mengembangkan perdagangan, VOC nampak ingin melakukan
monopoli. Karena itu aktivitasnya yang ingin menguasai perdagangan Indonesia
menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya
terancam. Sistem monopoli itu bertentangan dengan sistem tradisional yang
dianut masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan
semakin memperkuat sikap permusuhan pribumi tersebut. Namun secara politis VOC
dapat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.[4]
Pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7
juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin operasinya di cabut. Kemunduran,
kebangkrutan dan di bubarkannya VOC disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain : pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, utang besar,
dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan atau hasil
tanaman penduduk sehingga mmenimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa
maupun penduduk yang sangat menderita.[5]
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi
Indonesia pindah ke tangan pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda ini
berlangsung sampai tahun 1942, dan hanya di Interupsi pemerintahan inggris
selama beberapa tahun pada 1811-1816. Sampai tahun 1811, pemerintahan Hindia
Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816,
Belanda justru memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan
sebanyak-banyaknya kepada negara induk, guna menanggulangi masalah ekonomi
belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830
pemerintahan Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan
suez di buka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah
menerapkan politik liberal di indonesia. Perusahan dan modal swasta di buka
seluas – luasnya. Meskiun dalam politik liberal itu kepentingan dan hak pribumi
mendapagt perhatian tetapi pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang
berarti. Baru pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis, politik balas
budi.[6]
C.
Perlawanan
rakyat terhadap imperialisme Belanda
Penjajahan belanda terhadap bangsa Indonesia, mendapat perlawanan
sengit dari rakyat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan
perlawanan terhadap penjajah Belanda, karena bangsa Indonesia merasa di jajah
dan diperlakukan semena – mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut tidak hanya
bermotif politik kebangsaan, melainkan juga karena bermotif agama. Penjajah
belanda di samping ingin menguasai Indonesia, juga menyebarkan agama mereka,
yaitu kristenisasi terhadap penduduk pribumi.
Faktor-faktor
penyebab sulitnya perkembangan agama Kristen di Indonesia pada
waktu itu adalah:
a)
Pada waktu itu agama Kristen
dianggap identik dengan agama penjajah
b)
Pemerintah kolonial tidak menghargai
prinsip persamaan derajat manusia
c)
Sebagian besar rakyat Indonesia
telah menganut agama lain.
Oleh karena
itulah upaya penyebaran dilakukan di daerah-daerah yang belum tersentuh agama
lainnya. Juga dilakukan dengan mengadakan tindakan-tindakan kemanusiaan seperti
mendirikan rumah sakit dan sekolah. Akhirnya berkat kerja keras kaum misionaris
dan zending, agama Kristen dapat berkembang di Indonesia sampai sekarang.
Akibatnya rakyat dan bangsa
indonesia di hampir semua wilayah mengadakan perlawanan terhadap penjajahan
Belanda. Perlawanan-perlawanan itu antara lain sebagai berikut.[7]
1.
Perang
Padri
Perang Padri
terjadi di minangkabau Sumatera barat berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan
Padri sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya,
gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa
perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan
b. Periode 1821–1838 adalah masa
perang Paderi melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme.
Sejak tahun
1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi
berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan
kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat
justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.[8]
Pada mulanya
gerakan yang dikenal dengan nama padri ini dilakukan melalui ceramah di surau
dan masjid. Konflik terbuka dengan golongan penantang baru terjadi ketika
golongan adat mengadakan pesta menyambung ayam di kampung batabuh. Pesta
maksiat itu diperangi oleh golongan padri. Sejak itulah perang antara kaum
padri dengan kaum adat mulia berlangsung.
Sebenarnya
banyak kaum adat yang mendukung dan berpihak kepada kaum Padri. Tantangan keras
yang di hadapi padri berasal dari keturunan Raja-raja. Mereka inilah yang
senantiasa menghambat gerakan tersebut, mungkin, karena alasan khawatir
kehilngan pengaruh dan kekuasaan di kalangan rakyat. Golongan terakhir ini
kemudian meminta bantuan kepada pemerintah Hindia Belanda yang di sambut dengan
senang hati. Pada tangal 21 februari 1921, perjanjian antara kaum adat dan
belanda di tandatangani. Sejak itu bermulalah perang antara golongan padri
dengan di dukung oleh rakyat melawan pasukan Belanda yang di dukung
persenjataaan modern dan personil terlatih.
Kaum paderi memperkuat benteng yang tangguh di bonjol. Yang
sekaligus berfungsi sebagai pusat pengumpulan logistik dan pembuatan senjata
api. Benteng ini di pimpin oleh Muhammad Syahab yang kemudian bergelar tuaanku
Imam Bonjol.[9]
Belanda
menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol.
Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya,
Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada penangkapan Tuanku
Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke
Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado
hingga wafat tanggal 6 November 1864.[10]
Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah Imam
Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu
berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.[11]
Walaupun Paderi kalah di tangan Belanda,
gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama di samping adat, terjadi asimilasi
doktrin agama ke dalam plot Minangkabau sebagai pola perilaku ideal. Doktrin
agama diidentifikasikan lebih jelas sebagaai satu-satunya standar perilaku.
Adat islamiah yang dilahirkannya menjadi adat yang berlaku, sementara adat yang
bertentangan dengan islam di pandang sebagai adat jahiliah yang terlarang.[12]
2.
Perang
Diponegoro
Perang
Diponegoro disebut juga dengan perang jawa. Perang Diponegoro berlangsung
hampir di seluruh jawa antara tahun 1825-1830. Perang tersebut bernafaskan
islam, bertujuan mengusir penjajah untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilaan.[13]
Pengaruh
Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad
ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan
kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di
bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara
lain sebagai berikut.
a.
Adanya kekecewaan dan kebencian
kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan
keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b.
Adanya kebencian rakyat pada umumnya
dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c.
Adanya kekecewaan di kalangan para
bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d.
Sebagai sebab khususnya ialah adanya
pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di
Tegalrejo.
Dalam perang, pangeran Diponegoro menggunakan taktik gerilya.
Peperangan segera menyebar luas ke mana-mana. Kota Yogya di kepung sehingga penduduk Belanda
merasa terancam. Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak
korban berguguran di pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri dengan
melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerakan tentara Pangeran
Diponegoro. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri belanda sekitar 3000
orang.
Dengan
berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan
menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19
Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran
Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo
(menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat
bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat
situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat.
Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran
Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka Diponegoro
diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro mau
berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De
Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan
mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia,
dipindahkan ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun.[14]
3.
Perang
Aceh
Perang aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1873 – 1904.
Belanda memang membutuhkan waktu yang lama untuk memadamkan perang itu
mengingat perang ini melibatkan seluruh rakyat aceh. Kaum ulama membantu mengubahnya
menjadi perang suci agama. Dengan islam sebagai ideologi bersama, mereka gigih
melawan musuh mereka bersama, orang- orang kafir belanda.[15] Rakyat
Aceh dalam menegakkan eksistensinya terhadap praktek imperialisme Belanda,
berjuang dengan sendi-sendi kehidupan rakyat Aceh, yaitu Adat bersendi syarah,
syarah bersendi kitabullah.[16]
Belanda menyerang
Aceh pertama pada 1873 di bawah pimpinan Jend Kohler di depan Masjid Raya, namun gagal. Serangan kedua Desember 1873
dipimpin Jend. Van Suieten, berhasil merebut masjid Raya dan Istana. Setelah
Teuku Cik Di Tiro sebagai pemimpin utama Aceh Wafat. Pucuk pimpinan
dilanjutkan oleh Teuku Umar dan Panglima Polim. Pada tahun 1893, Teuku Umar
beserta pasukannya memanfatkan kelengahan Belanda dengan tujuan mendapatkan
senjata. Disambut baik dan mendapat gelar Teuku Johan pahlawan. Pada tahun
1896, Teuku Umar bergabung kembali dengan rakyat Aceh dengan membangun markas
pertahanan Meulaboh.[17]
Sebelum fajar, pada tanggal 23 Mei
1896, pasukan Belanda sudah bertempur dengan musuh, dan seberapapun kuat
pasukan dan keberanian yang ditunjukkan oleh Umar untuk memimpin pasukan, ia
harus mundur; untuk itulah J.B. van Heutsz dan
Henri
Mari Vis diberi
penghargaan. Gampong Lam Hasan menunjukkan perlawanan sengit; selama berjam-jam
baterai artileri yang kuat dekat Lamjamu ditembakkan tanpa henti; sia-sia saja
Batalyon Infanteri IX mencoba menembus pertahanan yang kokoh itu dan saat fajar
menyingsing mayor infanteri JR. Jacobs, dengan pasukan cadangannya yang terdiri
atas 3 kompi di
Batalyon VII, ditugaskan membantu Batalyon IX dan merebut Lam
Hasan. Dengan Kompi
I di barisan, separuh Kompi II pada sayap kiri dan sisanya ditanam di Ajuen
Tebal untuk menghadapi gerak maju musuh. Dalam 20 menit, tempat itu sudah diduduki Belanda dan seluruh pemberontak dibasmi
habis. Dari separuh kompi yang turut serta dalam pertempuran yang sesungguhnya,
2 perwira terbunuh dan 30 orang lainnya namun mereka tetap menang. May. JR.
Jacobs, yang tertembak bersama kudanya hingga harus jalan kaki bersama Kompi I untuk berperang, untuk
kesempatan ini dihargai dan selama pertempuran berikutnya hingga akhir bulan Oktober
dianugerahi Militaire
Willems-Orde Kelas IV.
Serangan ke Lampisang diawali secara mendadak di malam hari oleh
sebagian garis pertama sayap kanan dan kiri; barisan Van Heutsz harus mendaki bukit dan
menduduki Glee Putih. Dibantu gelap, mereka mencapai perbukitan tanpa
menghadapi perlawanan dan dapat melanjutkan serangan ke atas. Setibanya di
atas, mereka dapat memantau Lampisang. Dari situlah tembakan diawali, yang di
situ baterai gunung diperlukan. Umar dan pengikutnya melancarkan serangan
mendadak yang singkat ke Bukit Sebun Beradin yang terletak di selatan. Van Heutsz mengirim laporan
bahwa gerak maju harus secepatnya dilakukan oleh Batalyon VII dan IX. Lamteungoh, Lam
Manyang dan Lam
Isek ditaklukkan
oleh Batalyon XII dan XV, yang untuk itu Pasukan Cadangan Kolonial yang
dipimpin oleh Sipko
Adriaan Drijber
diberi penghargaan khusus. Sipko
Drijber terluka 2
kali. Pada tanggal 23 Mei,
pasukan Belanda menderita kekalahan besar, ada 160 orang yang tak
diikutsertakan lagi dalam serangan.
Di pagi berikutnya, pasukan bergerak
ke Lampisang dan tempat tinggal Teuku Umar dibakar, diikuti dengan sebuah kubu
yang kuat, yang terdiri atas Kampung Beradin dan Benteng Sebun. Secara
keseluruhan, operasi di daerah Teuku Umar menelan 200 korban tewas dan terluka
dari pihak Belanda. Setelah dihukum, pasukan kembali ke Kutaraja. JJK. de
Moulin diangkat sebagai Gubernur Aceh namun hanya bertugas dalam waktu singkat.
Pada tanggal 7 Juli
1896, ia meninggal akibat hipertermia.
Sejak bulan
Mei 1898, serangan demi serangan pasukan Belanda semakin gencar di laksanakan.
Beberapa ulama dan uleebalang terpaksa menyerah. Teuku Umar menyingkir ke Aceh
timur, sementara panglima Polim menyingkir ke aceh barat, walaupun terdesak
tetapi laskar aceh belum menyerah dan memusatkan pertahanan di daerah gayo. Dalam
suatu peperangan, Teuku umar gugur. Satu persatu uleebalang menyerah. Daerah
demi daerah jatuh ke tangan musuh. Akhirnya pada 1904 Aceh terpaksa menandatangani
Perjanjian singkat Yang berisi, “ Aceh mengakui kedaulatan Belanda”, Perang
Aceh yang dahsyat itupun akhirnya berakhir.[18]
4.
Perang
Banten
Pemberontakan rakyat di cilegon terjadi pada tahun 1888, di pimpin
oleh K.H. Wasit. Wasit bersama H. Islmail, dan para ulama lain, menyusun
perlawanan terhadap penjajah. Kemurkaan rakyat cilegon karena kelaparan,
kematian ternak yang ditembaki Belanda dengan semena-mena, dan kebencian yang
telah berkumpul karena melihat keangkuhan pegawai pemerintah Belanda,
pengekangan penjajahan terhadap pengamalan ajaran islam, serta berbagai sebab
lain menjadi pemicu perlawanan raakyat cilegon terhadap Belanda. Para pemimpin
pemberontakaan rakyat terhadap Belanda di cilegon sebagian besar adalah
murid-murid yang pernah belajar kepada syaikh Nawawi Al Bantani, seorang ulama
besar di arab yang berasal dari Banten.[19]
Pemebrontakan terhadap penjajah oleh rakyat Banten terjadi, kota
Cilegon di searng rakyat. Dengan sorak tahlil yang menggema rakyat masuk
merangsek kedalam kota memerangi penjajah. Pemicu pemberontakan sebagaimana
disebutkan diatas disebabkan oleh banyak faktor, tetapi yang paling pokok
menjadi landasan pemberontakan adalah karena sikap penjajah yang menghalangi
kebebasan beragama, dan juga diperlakuan semena-mena pihak penjajah terhadap
para petani Banten.[20]
Dalam pemberontakan rakyat tersebut, asisten residen Goebels dan
beberapa orang keluarganya tewas. Akan tetapi, ketika bantuan dari Serang yang
membawa 40 pasukan serdadu di bawah pimpinan Letnan Bartlemy datang, perlawanan
rakyat menjadi melemah.
Pimpinan perang KH.Wasit di hukum gantug oleh Belanda. Adapun para
pimpinan yang lain di buang kewilayah lain.[21]
Akan tetapi, walaupun pemberontakan rakyat dapat di padamkan oleh pihak
penjajah Belanda, semnagat rakyat untuk bersatu melawan penjajah terus berkobar
di hati rakyat Banten.[22]
Disamping beberapa peperangan sebagai mana di sebutkan diatas,
terdapat pula peperangan peperangan lain terhadap penjajahan Belanda di
berbagai wilayah Indonesia. Diantaranya yaitu peperangan di Makasar, Jambi,
Banjar, palembang dan lain sebagainya.
IV.
Analisis
Keadaan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda masuk tidaklah sama, ini di
karenakan keadaan politik dikerajaan itu dan juga proses pengembangan Islam di
masing-masing kerajaan. Awal Belanda masuk di Indonesia, rakyat pribumi tidak menaruh
curiga sama sekali terhadap Belanda atau dalam hal ini VOC. Karena tujuan awal
VOC datang ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia
kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan
tersebut dan menjadi tuan bagi bagi bangsa Indonesia.
VOC pun
mengadakan ekspedisi ke berbagai wilayah Indonesia dan berhasil menguasai
berbagai daerah. Setelah beberapa tahun menguasai daearah – daerah indonesia,
karena beberapa faktor VOC di bubarkan dan daerah jajahaan VOC di ambil alih
oleh pemerintahan Belanda.
Pengambil
alihan daerah jajahan kepada pememerintahah Belanda semakin menambah parah
kekejaman yang dilakukan kepada rakyat pribumi. Hampir daerah-daerah di seluruh
wilayah Nusantara melawan Belanda.
Tidak semudah
itu untuk menjajah sebuah daerah karena rakyat pribumi setiap daerah tidak
menerima ketika daerahnya di jajah. Dalam hal ini peran ulama dalam perjuangan
bangsa Indonesia menentang penjajah sangat besar. Ketika bangsa Indonesia
melawan penjajah, tidak sedikit peran para ulama yang ikut andil bagian sebagai
pejuang. Kenyataan menunjukkan, terjajahnya bangsa Indonesia oleh para penjajah
bukan suatu proses tanpa perlawanan. Sebaliknya hal tersebut merupakan proses
panjang penuh dengan perlawanan gigih dan perkasa dari bangsa Indonesia yang di
pelopori para ulama. Salah satu sumber kejiwaan yang dominan dari pada
rangkaian perlawanan bersenjata selama kurang lebih tiga abad adalah ajaran –
ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka, Dari
Perbendaharaan lama, Jakarta: Pustaka panji Mas, 1982
----------, Sejarah
Umat Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Ibrahim
Ahmad, Islam di Asia Tenggara perspektif sejarah. Jakarta: LP3S, 1989
Kartodirdjo, Sartono,
Pengntar sejarah Islam Baru, Jakarta : Gramedia, 1987
Munir A, Samsul,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Thohir,
Ajit, Perkembangan Peradaban di kawasan dunia Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Jaya,1998
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Jaya,1998), hlm. 234
[2] Ajit Thohir, Perkembangan Peradaban di kawasan dunia Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers,2009), hlm. 297
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengntar sejarah Islam Baru, (Jakarta :
Gramedia, 1987), hlm. 71
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 235
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 236
[6] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009),
hlm. 379-380
[7] Samsul Munir A, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 389
[8] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 391
[9] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 391
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 244
[11] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 391
[12] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 392
[13] Samsul Munir A, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 395
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 247
[15] Ahmad Ibrahim, Islam di Asia Tenggara perspektif sejarah.
(Jakarta: LP3S, 1989), hlm. 170
[16] Hamka, Sejarah Umat Manusia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 297
[17] Samsul Munir A, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 398
[18] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 399
[19] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 402
[20]Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 402
[21] Hamka, Dari Perbendaharaan lama, (Jakarta: Pustaka panji Mas,
1982), hlm. 105
[22] Samsul Munir A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 403
Tidak ada komentar:
Posting Komentar