AKAD BORONGAN DALAM SISTEM JUAL BELI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Masail al-Fiqhiyyah al-Haditsah
Dosen pengampu: Amin Farih, M. Ag
Disusun oleh,
Nama :
Malikhah
NIM :
103111123
Jurusan/ Kelas : PAI/
3C
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2011
AKAD BORONGAN DALAM SISTEM JUAL BELI
I.
PENDAHULUAN
Melihat perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin modern,
tentunya akan terjadi banyak perubahan dalam sistem ekonomi. Sesuatu yang tidak
dapat dihindarkan dalam sejarah, terjadi perubahan dari kehidupan tradisional
ke kehidupan perkotaan.
Perubahan ekonomi masyarakat pedesaan pun juga akan tergeser, mulai
dari sistem perekonomian berbasis pertanian kepada sistem perekonomian berbasis
industri dan perdagangan. Dalam konteks ini
perubahan budaya ini konsep-konsep fiqih (muamalah) tentulah harus sejalan
dengan al-Quran dan al-Hadist.
Melihat
semakin pesatnya berbagai kemajuan yang telah terjadi dalam kehidupan
perekonomian masyarakat saat ini tentunya menuntut kita untuk lebih peka dan
lebih hati dalam berbagi sistem yang kadang mengecewakan salah satu pihak, hal
ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita cermati dalam
proses jual beli borongan. Untuk itu dalam makalah ini, pemakalah mencoba untuk
mengulas lebih spesifik mengenai akad borongan, bagaimana hukum akad sendiri,
dan permasalahan-permasalahan yang kadang timbul dalam akad borongan itu
sendiri serta apakah layak menurut sistem perekonomian yang berlandaskan
Al-Qur’an dan Hadits?
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
Hakikat Sistem Jual Beli?
2.
Bagaimana
Pandangan Islam Terkait Jual Beli Borongan?
3.
Bagaimana
Studi Kasus Terkait Jual Beli Borongan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sistem Jual Beli
Jual beli menurut etimologi berarti:
مقا بلة الشي ء با لشى ء
Artinya:
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain)”
Sedangkan jual beli menurut terminologi,
para ulama berbeda pendapat dalam mendefiisikannya, antara lain:
1.
Menurut ulama Hanafiyah:
مبا د لة ما ل بما ل على وجه مخصو ص
Artinya:
“Pertukaran harta (benda) dengan harta
berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2.
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’
مقا بلة مال بما ل تمليكا
Artinya:
“Pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan.”
Dalam jual beli terdapat empat macam
syarat, yaitu terjadinya akad (in’iqad), syarat sahnya akad, syarat
terlaksananya akad (nafadz), dan syarat hujum.[1]
Akad berasal
dari (al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud) secara bahasa berarti al-rabth’
“ ikatan, mengikat”.
Sedangkan
dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagi berikut :
“Akad
adalah pertalian antara ijab dan Qabul yang dibenarkan oleh Syara’ yang
menimbulkan akibat hukum didalamnya”
Yang di
maksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak
melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak
pertama. Sedangkan Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan
kehendak pihak lain, biasanya dinamakan pihak kedua. Menerima atau menyetujui
pernyataan ijab. Maksud trem yang dibenarkan oleh syarat (‘al wajhin
masyru’in) adalah bahwasanya setiap berakad tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan syari’at Islam.[2]
Adapun
syarat sahnya akad, antara lain:
1. Ahli akad
Menurut ulama Hanafiyah, seorang anak yang
berakal dan mumaziz (berumur 7 tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli
aqad. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad anak mumayiz
bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayiz
yang belum baligh tidak boleh melakukan akad sebelum sebab ia belum dapat
menjaga agama dan hartanya (masih bodoh).
2. Qabul harus sesuai dengan ijab
3. Ijab dan qabul harus bersatu
Yakni berhubungan antara ijab dan qabul
walaupun tempatnya tidak bersatu.[3]
B.
Pandangan
Islam Terkait Jual Beli Spekulatif
Dasar Hukum jual beli spekulatif:
عَنِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ أَنْ نَبِيْعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ
Artinya:
Dari Abdullah
bin Umar, dia berkata, “Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan secara
taksiran, maka Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai kami memindahkannya
dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526).
Makna dari جِزَافًا
adalah jual-beli makanan tanpa ditakar, ditimbang, dan tanpa ukuran tertentu.
Akan tetapi menggunakan sistem taksiran, dan inilah makna jual-beli borongan.
Jual beli ini juga sering disebut dengan jual beli juzaf. Atau
dalam terminologi ilmu fiqh yaitu menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang,
atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, ditimbang, dan dihitung lagi.[4]
Menjual
onggokan, bila masing-masing di penjual dan pembeli tidak mengetahui jumlahnya,
jaiz hukumnya tanpa ada khilaf. Adapun bila salah seorang dari keduanya tahu jumlahnya,
maka jual beli secara tanpa takar itu tidak boleh menurut ijma’.[5]
Akad borongan
menurut Malikiyah diperbolehkan jika barang tersebut bisa ditakar,
ditimbang atau secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi,
namun dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Malikiyah.
Al Qur’an menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari
muamalah, seperti firman Allah dalam surat al Al-Isra’ ayat 35:
واوفواالكيل اذا كلتم وزنوابا لقسطا س المستقيم ذلك خير
وا حسن تا ويلا
Artinya:
“Penuhilah
takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan jujur dan lurus yang
demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan.”
Adapun beberapa
syarat dalam jual beli spekulatif, menurut para ahli fiqih Malikiyah diantaranya:
1.
Baik pembeli atau penjual
sama-sama tidak tahu ukuran barang dagangan. Kalau salah seorang di antaranya
mengetahui, jual beli itu tidak sah.
2.
Jumlah barang dagangan jangan
banyak sekali sehingga sulit untuk diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu
sedikit sekali sehingga terlalu mudah untuk dihitung, jadi penjualan spekulatif
ini menjadi tidak ada gunanya.
3.
Tanah tempat meletakkan barang itu
harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
4.
Barang dagangan harus tetap dijaga
dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
C.
Studi
Kasus Terkait Jual Beli Spekulatif
Ada beberapa kasus yang pernah terjadi terkait jual beli spekulatif
pada zaman Rasulullah, diantaranya:
1.
Dalam
hadits Ibnu Umar, bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para
kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah melarang kami menjualnya
sebelum kami memindahkannya dari tempatnya.
2.
Dalam
riwayat lain disebutkan, “Aku pernah melihat para sahabat di zaman Rasulullah
kalau membeli makanan secara spekulatif, mereka diberi hukuman pukulan bila
menjualnya langsung di lokasi pembelian, kecuali kalau mereka telah
memindahkannya ke kendaraan mereka.” HR. Bukhari
Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa para sahabat sudah
terbiasa melakukan jual beli spekulatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa
jual beli semacam itu diperbolehkan.[6]
Studi kasus
yang lain misalnya tentang jual beli kentang secara borongan. Jual beli kentang
secara borongan yang masih berada dalam tanah termasuk jual beli yang dilarang
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَر
Artinya:
Dari Abu
Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR.
Muslim: 1513)
Gharar
adalah jual beli yang terdapat unsur yang tidak jelas. Pendapat yang rajih
(kuat) insya Allah adalah yang membolehkan, berdasarkan beberapa sebab, di
antaranya:
1.
Jual-beli tersebut tidak termasuk
dalam jual beli gharar, karena orang yang sudah berpengalaman akan mampu untuk
mengetahui isi dan kadar tanaman tersebut meskipun belum dicabut. Misalnya,
dengan melihat batang dan daunnya maka bisa diprediksikan apakah biji-bijian
tersebut bagus ataukah tidak, juga dengan mencabut satu atau dua tanaman akan
bisa diprediksikan berapa jumlah yang akan dihasilkan dalam kebun atau ladang
tersebut.
2.
Jual-beli tersebut sangat dibutuhkan
manusia, terutama yang mempunyai lahan luas, yang akan sangat menyulitkan
sekali kalau diharuskan memanennya sendiri. Oleh karena itu, kalau diharamkan,
maka akan sangat memberatkan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mencabut sesuatu yang berat dari syariat ini.[7]
Allah berfirman:
…
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
….
“…Dan
tidaklah Allah menjadikan dalam agama Islam kesulitan bagi kalian…” (Qs.
Al-Hajj: 78)
IV.
KESIMPULAN
Pada hakikatnya, jual beli merupakan pertukaran sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Atau jual beli merupakan pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara
khusus (yang dibolehkan).
Dalam hal ini, terkait jual beli secara
borongan/ spekulatif/ juzaf hukumnya diperbolehkan. Jual beli
semacam itu diperbolehkan asalkan jelas unsur-unsurnya, serta ada ijab qabul
antara penjual dan pembeli dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Ini
juga berdasarkan pendapat dari kalangan Malikiyah yang membolehkan jual beli
borongan dengan cara menakar/menimbang, dihitung secara borongan tanpa
ditimbang, ditakar dan dihitung lagi.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami
menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami buat. Untuk
itu, kritik dan saran sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mushlih,
Abdullah. 2004. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq
Machfudz, Sahal. Ensiklopedi Ijma’. 1987. Jakarta: Pustaka
Firdaus
Syafei,
Rachmat. Fiqh Muamalah. 2001. Bandung: CV. Pustaka Setia
//http//:/Borongan/akad-jual-beli-borongan-dalam-islam.html
//http//:/B4C44N/Borongan/Juzaf
(Jual Beli Spekulatif) « Blog Abu Umamah™.htm
[1] Rachmat
Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 73-76
[2] http:/Borongan/akad-jual-beli-borongan-dalam-islam.html
[3] Rachmat
Syafei, Op. Cit, hlm. 77-78
[4] Abdullah
Al-Mushlih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004),
hlm. 93
[5] Sahal
Machfudz, Ensiklopedi Ijma’, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 277
[6] Abdullah
Al-Mushlih, Op. Cit, hlm. 94
[7]
www//E:/B4C44N/Borongan/Juzaf (Jual Beli Spekulatif) « Blog Abu Umamah™.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar