efek bintang bertaburan pada kurso

Efek Blog

Kamis, 30 Mei 2013

AKAD BORONGAN DALAM SISTEM JUAL BELI



AKAD BORONGAN DALAM SISTEM JUAL BELI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Masail al-Fiqhiyyah al-Haditsah
Dosen pengampu: Amin Farih, M. Ag



Disusun oleh,
      Nama                      : Malikhah
      NIM                        : 103111123
       Jurusan/ Kelas        : PAI/ 3C

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA  ISLAM  NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2011

AKAD BORONGAN DALAM SISTEM JUAL BELI
       I.            PENDAHULUAN
Melihat perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin modern, tentunya akan terjadi banyak perubahan dalam sistem ekonomi. Sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam sejarah, terjadi perubahan dari kehidupan tradisional ke kehidupan perkotaan.
Perubahan ekonomi masyarakat pedesaan pun juga akan tergeser, mulai dari sistem perekonomian berbasis pertanian kepada sistem perekonomian berbasis industri dan perdagangan. Dalam konteks ini perubahan budaya ini konsep-konsep fiqih (muamalah) tentulah harus sejalan dengan al-Quran dan al-Hadist.
Melihat semakin pesatnya berbagai kemajuan yang telah terjadi dalam kehidupan perekonomian masyarakat saat ini tentunya menuntut kita untuk lebih peka dan lebih hati dalam berbagi sistem yang kadang mengecewakan salah satu pihak, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita cermati dalam proses jual beli borongan. Untuk itu dalam makalah ini, pemakalah mencoba untuk mengulas lebih spesifik mengenai akad borongan, bagaimana hukum akad sendiri, dan permasalahan-permasalahan yang kadang timbul dalam akad borongan itu sendiri serta apakah layak menurut sistem perekonomian yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits?

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah Hakikat Sistem Jual Beli?
2.    Bagaimana Pandangan Islam Terkait Jual Beli Borongan?
3.    Bagaimana Studi Kasus Terkait Jual Beli Borongan?

 III.            PEMBAHASAN
A.       Sistem Jual Beli
Jual beli menurut etimologi berarti:
مقا بلة الشي ء با لشى ء                                                                         
Artinya:
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”
Sedangkan jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefiisikannya, antara lain:
1.         Menurut ulama Hanafiyah:
مبا د لة ما ل بما ل على وجه مخصو ص                                               
Artinya:
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2.         Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’
مقا بلة مال بما ل تمليكا                                                                     
Artinya:
“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu terjadinya akad (in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat hujum.[1]
Akad berasal dari (al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud) secara bahasa berarti al-rabth’ “ ikatan, mengikat”.
Sedangkan dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagi berikut :
Akad adalah pertalian antara ijab dan Qabul yang dibenarkan oleh Syara’ yang menimbulkan akibat hukum didalamnya”
Yang di maksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain, biasanya dinamakan pihak kedua. Menerima atau menyetujui pernyataan ijab. Maksud trem yang dibenarkan oleh syarat (‘al wajhin masyru’in) adalah bahwasanya setiap berakad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.[2]
Adapun syarat sahnya akad, antara lain:
1.      Ahli akad
Menurut ulama Hanafiyah, seorang anak yang berakal dan mumaziz (berumur 7 tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli aqad. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad anak mumayiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayiz yang belum baligh tidak boleh melakukan akad sebelum sebab ia belum dapat menjaga agama dan hartanya (masih bodoh).
2.      Qabul harus sesuai dengan ijab
3.      Ijab dan qabul harus bersatu
Yakni berhubungan antara ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu.[3]

B.       Pandangan Islam Terkait Jual Beli Spekulatif
Dasar Hukum jual beli spekulatif:
عَنِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نَبِيْعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ
Artinya:
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan secara taksiran, maka Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai kami memindahkannya dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526).
Makna dari جِزَافًا adalah jual-beli makanan tanpa ditakar, ditimbang, dan tanpa ukuran tertentu. Akan tetapi menggunakan sistem taksiran, dan inilah makna jual-beli borongan.
Jual beli ini juga sering disebut dengan jual beli juzaf. Atau dalam terminologi ilmu fiqh yaitu menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang, atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, ditimbang, dan dihitung lagi.[4]

Menjual onggokan, bila masing-masing di penjual dan pembeli tidak mengetahui jumlahnya, jaiz hukumnya tanpa ada khilaf. Adapun bila salah seorang dari keduanya tahu jumlahnya, maka jual beli secara tanpa takar itu tidak boleh menurut ijma’.[5]
Akad borongan menurut Malikiyah diperbolehkan jika barang tersebut bisa ditakar, ditimbang atau secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Malikiyah. Al Qur’an menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari muamalah, seperti firman Allah dalam surat al Al-Isra’ ayat 35:
واوفواالكيل اذا كلتم وزنوابا لقسطا س المستقيم ذلك خير وا حسن تا ويلا                          
Artinya:
“Penuhilah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan jujur dan lurus yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan.”
Adapun beberapa syarat dalam jual beli spekulatif, menurut para ahli fiqih Malikiyah diantaranya:
1.         Baik pembeli atau penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagangan. Kalau salah seorang di antaranya mengetahui, jual beli itu tidak sah.
2.         Jumlah barang dagangan jangan banyak sekali sehingga sulit untuk diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sekali sehingga terlalu mudah untuk dihitung, jadi penjualan spekulatif ini menjadi tidak ada gunanya.
3.         Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
4.         Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
C.      Studi Kasus Terkait Jual Beli Spekulatif
Ada beberapa kasus yang pernah terjadi terkait jual beli spekulatif pada zaman Rasulullah, diantaranya:
1.         Dalam hadits Ibnu Umar, bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah melarang kami menjualnya sebelum kami memindahkannya dari tempatnya.
2.         Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku pernah melihat para sahabat di zaman Rasulullah kalau membeli makanan secara spekulatif, mereka diberi hukuman pukulan bila menjualnya langsung di lokasi pembelian, kecuali kalau mereka telah memindahkannya ke kendaraan mereka.” HR. Bukhari
Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli spekulatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa jual beli semacam itu diperbolehkan.[6]
Studi kasus yang lain misalnya tentang jual beli kentang secara borongan. Jual beli kentang secara borongan yang masih berada dalam tanah termasuk jual beli yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَر                                                                                                                       
Artinya:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Gharar adalah jual beli yang terdapat unsur yang tidak jelas. Pendapat yang rajih (kuat) insya Allah adalah yang membolehkan, berdasarkan beberapa sebab, di antaranya:
1.          Jual-beli tersebut tidak termasuk dalam jual beli gharar, karena orang yang sudah berpengalaman akan mampu untuk mengetahui isi dan kadar tanaman tersebut meskipun belum dicabut. Misalnya, dengan melihat batang dan daunnya maka bisa diprediksikan apakah biji-bijian tersebut bagus ataukah tidak, juga dengan mencabut satu atau dua tanaman akan bisa diprediksikan berapa jumlah yang akan dihasilkan dalam kebun atau ladang tersebut.
2.          Jual-beli tersebut sangat dibutuhkan manusia, terutama yang mempunyai lahan luas, yang akan sangat menyulitkan sekali kalau diharuskan memanennya sendiri. Oleh karena itu, kalau diharamkan, maka akan sangat memberatkan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencabut sesuatu yang berat dari syariat ini.[7] Allah berfirman:
                                                                          وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ ….
“…Dan tidaklah Allah menjadikan dalam agama Islam kesulitan bagi kalian…” (Qs. Al-Hajj: 78)

 IV.            KESIMPULAN
Pada hakikatnya, jual beli merupakan pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Atau jual beli merupakan pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
Dalam hal ini, terkait jual beli secara borongan/ spekulatif/ juzaf hukumnya diperbolehkan. Jual beli semacam itu diperbolehkan asalkan jelas unsur-unsurnya, serta ada ijab qabul antara penjual dan pembeli dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Ini juga berdasarkan pendapat dari kalangan Malikiyah yang membolehkan jual beli borongan dengan cara menakar/menimbang, dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar dan dihitung lagi.

    V.            PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami buat. Untuk itu, kritik dan saran sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Mushlih, Abdullah. 2004. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq
Machfudz, Sahal. Ensiklopedi Ijma’. 1987. Jakarta: Pustaka Firdaus
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. 2001. Bandung: CV. Pustaka Setia
//http//:/Borongan/akad-jual-beli-borongan-dalam-islam.html
//http//:/B4C44N/Borongan/Juzaf (Jual Beli Spekulatif) « Blog Abu Umamah™.htm


[1] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 73-76
[2] http:/Borongan/akad-jual-beli-borongan-dalam-islam.html
[3] Rachmat Syafei, Op. Cit, hlm. 77-78
[4] Abdullah Al-Mushlih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 93
[5] Sahal Machfudz, Ensiklopedi Ijma’, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 277
[6] Abdullah Al-Mushlih, Op. Cit, hlm. 94
[7] www//E:/B4C44N/Borongan/Juzaf (Jual Beli Spekulatif) « Blog Abu Umamah™.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar