PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
(PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam
di Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah,
M.SI
Disusun oleh:
Zeni
Ngindahul Masruroh (103111106)
Zubaedah (103111107)
Ahmad Fahri
Yahya A (103111136)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
(PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN)
I.
PENDAHULUAN
Dalam proses
pejalanannya, Islam selalu memberi perubahan bagi suatu negara.
Perubahan-perubahan tersebut baik dalam bidang politik, sosial, dan peradaban.
Ini karena Islam selaku agama telah mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat
dan bernegara dalam cakrawala kehidupan solidaritas umat Islam sedunia.
Sebagaimana peradaban Islam di Indonesia, betapapun kebudayaannya sangat minim
dibandingkan dengan peradaban Mughal (India) yang memiliki simbol Taj Mahal, di
Indonesia peradabannya sangat sederhana, miskin. Namun Islam yang datang ke
Nusantara membawa kemajuan (Tamaddun) dan kecerdasan.
Dengan kedatangan Islam
masyarakat Indonesia mengalami transformasi dari masyarakat agraris feodal ke
masyarakat kota. Karena Islam pada dasarnya adalah perkotaan (Urban). Peradaban
Islam pada hakikatya juga Urban dengan bukti-bukti Islamisasi di Nusantara
bermula dari kota-kota pelabuhan, dikembangkan atas perlindungan istana,
sehingga kemudian menjadi pengembangan ekonomi, intelektual dan politik. Akibat
pengaruh Islam inilah Nusantara menjadi maju dalam bidang perdagangan secara
Internasional. Namun kedatangan pedagang Barat, transformasi ini menjadi
terganggu. Betapa tidak, Islam datang tidak dengan melakukan penjajahan dan
peperangan, melainkan dengan damai. Sebaliknya Barat datang ke Nusantara dengan
melakukan penjajahan dan politik pecah belah dengan tujuan menguasai
perdagangan, ekonomi, dan kekayaan alam yang terkandung di wilayah Nusantara
ini.[1]
Dengan kedatangan
bangsa barat ke Indonesia, bagaimanakah peradaban Islam di Indonesia pra dan
pasca kemerdekaan ? Berikut makalah kami akan menyajikan tentang peradaban
Islam di Indonesia pra dan pasca kemerdekaan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Peradaban Islam pada
Masa Pra-Kemerdekaan ?
B.
Bagaimana Peradaban Islam Pasca
Kemerdekaan ?
C.
Apa Saja Hasil-hasil atau Bukti
Paradigma di Indonesia ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Peradaban Islam
Pra-Kemerdekaan
1.
Birokrasi Keagamaan
Pertumbuhan komunitas Islam di Indonesia bermula di berbagai
pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra, Jawa, dan Pulau lainnya. Hal ini di
karenakan penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para
pedagang. Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daerah pesisir
seperti: Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore.
Dari sana kemudian Islam menyebar kedaerah-daerah sekitar.[2]
Di samping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibukota
kerajaan juga merupakan tempat berkumpul para ulama dam mubaligh Islam. Ibn
Bathutah menceritakan, sultan kerajaan samudra pasai, Sultan Malik al-Zahir,
dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja sendiri sangat menggemari
diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan. Di Aceh, raja-raja mengangkat para
ulama sebagai penasehat dan pejabat di bidang keagamaan. Kedudukan ulama
sebagai penasehat raja tidak hanya di Aceh saja, tetapi juga terdapat di
kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Disamping sebagai penasehat raja, para ulama
juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut
qadhi.[3]
Ulama sangat berperan di samping sebagai penyebar agama juga
berpartisipasi dalam bidang pendidikan. Ada dua cara yang dilakukan oleh para
ulama terkait dengan bidang pendidikan. Pertama, membentuk kader-kader
ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas.
Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal
dengan pesantren atau langgar di Jawa, Dayah di Aceh dan Surau di Minangkabau.
Waktu belajar diatur sesuai dengan kondisi pesantren masing-masing. Mata
pelajaran yang terpenting adalah Ushuluddin, Ushul Fiqh, fiqh dan Arabiyah.
Kondisi pendidikan semacam itu berlangsung dan terus berkembang terus menerus
dari tahun ke tahun sampai sesudah tahun 1900. Para pemimpin pergerakan
Nasional sadar bahwa penyelenggaraan pendidikan yang seperti itu harus dirubah
dan memasukkan pendidikan yang bersifat Nasional ke dalam perjuangannya. Maka
lahirlah sekolah-sekolah partikular atas usaha perintis kemedekaan. Sekolah itu
mula-mula bercorak sesuai dengan polotik seperti Taman Siswa, Kesatrian,
Institut dan lain-lain yang bercorak Islam.[4]
Cara kedua yang dilakukan ulama adalah melalui karya-karya yang
tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut
mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu keagamaan di Indonesia pada masa
itu. Di antara ilmuan muslim pertama di Indonesia adalah:
a.
Hamzah Fansuri
Seorang sufi terkemuka yang berasal dari
Fansur (Barus) Sumatra Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asrarul Arifin
fi Bayan ila Suluk wa at-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat dan
inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karya-karyanya yang lain di antaranya
adalah Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab
al’Asyikin.[5]
b.
Syamsuddin as-Sumatrani
Beliau adalah murid dari Hamzah Fansuri,
Beliau mengarang buku yang berjudul Mir’atul Mukminin (Cermin orang-orang
beriman) yang berisikan tanya jawab tentang ilmu kalam
c.
Nuruddin al-Raniri
Al-Raniri dikenal sebagai orang yang
sangat giat membela ajaran ahlussunnah waljamaah. Karya-karya beliau meliputi
berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fikih, hadits, akidah,
sejarah, tasawuf, dan sekte-sekte agama. Di antara karya-karyanya ialah al-Shirath,
al-Mustaqim, Bustan al-Salathin dan Asrar al-Insan fi Ma’rifati al-Ruh wa al
Rahman.[6]
d.
Abdur Rauf Singkel
Ia menghidupkan kembali ajaran tasawuf
yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansari melalui tarekat Syatariyah
yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan dan metafor yang berbeda.[7]
2.
Politik
Sekitar abad XIV, umat Islam di nusantara berhasil membentuk suara
pemerintahan yang bercorak Islam. Namun dalam hal-hal tertentu belum sepenuhnya
bercorak Islam, melainkan adanya perpaduan antara corak Indonesia sebagai
pengaruh dari corak pemerintahan agama lama dengan corak yang di bawa agama
Islam. Perkembangan selanjutnya, banyak bermunculan negara-negara Islam dalam
bentuk kerajaan. Para pemangku pemerintahannya berusaha memperbaiki keadaan
negaranya sehingga corak keislamannya lebih menonjol seperti di bentuknya
lembaga qadhi (Dewan hakim), Badan Permusyawaratan yang di dalamnya terdiri
dari para ulama dan tokoh masyarakat dan perundang-undangan terutama dalam
masalah jual beli (perdagangan).[8]
Pada saat kerajaan-kerajaan Islam telah tumbang dan munculnya
pemerintahan rezim dengan menamakan dirinya sebagai pemerintah Hindia Belanda,
peranan umat Islam dalam politik pemerintah tidaklah berhenti. Secara formal
terdapat kaum muslimin yang turut serta duduk dalam jajaran pegawai, secara
informal umat Islam memerankan politiknya melalui organisasi-organisasi yang
dibentuknya. Di antaranya[9]:
a.
Serikat Dagang Islam
Serikat Dagang Islam didirikan di Jakarta
pada tahun 1909 M oleh R.M. Tirtoadisurya yaitu sebagai sebuah perseroan dagang
yang didasarkan pada corak baru dan ide baru. Dua tahun berikutnya dibentuk
pula cabangnya di Bogor SDI itu bercorak koperasi dengan tujuan untuk merobohkan
monopoli saudagar-saudagar bangsa Tionghoa.[10]
b.
Serikat Islam (SI)
Serikat Islam didirikan di Solo pada
tanggal 11 november 1911 oleh seorang pedagang muslim, Haji Samanhudi. SI
tumbuh dari organisasi yang
mendahuluinya yang bernama Serikat Dagang Islam.[11]
Perubahan nama dari SDI ke SI menjadikan organisasi ini mempunyai perubahan
orientasi: dari komersial ke politik. Organisasi ini muncul disebabkan oleh dua
hal. Pertama, daya dorong ekonomi di balik kegiatan-kegiatan organisasi
ini yang berasal dari persaingan perdagangan dengan orang-orang China yang
tidak terkekang oleh kontrol-kontrol yang terbatasi oleh pemerintah kolonial. Kedua,
aktifitas-aktifitas keagamaan dalam oganisasi ini, sebagian telah dipacu oleh
kegiatan-kegiatan misionaris Kristen yang semakin meningkat sejak 1910.[12]
Tujuan dari organisasi ini adalah menyusun masyarakat Islam agar ia hidup
berkumpul menjadi saudagar. Selain itu juga mengerahkan hati umat Islam supaya
bersatu dan tolong menolong di dalam lingkaran dan batas undang-undang negara.
Melakukan segala daya upaya untuk mengangkat derajat rakyat guna kesentosaan
dan kemakmuran tanah tumpah darahnya. Dalam perkembangannya SI mengalami
beberapa periode:
1)
Periode menentukan corak dan
bentuk untuk mempersiapkan diri sebagai organisasi yang menyiapkan diri untuk
melakukan kegiatan sebagai partai yang berlangsung dari tahun 1911-1916
2)
Periode penentuan yaitu periode
pada saat seluruh organisasi telah siap memasuki periode puncak guna ikut
melibatkan diri dalam kegiatan politik. Periode ini berlangsung dari tahun
1916-1921
3)
Periode pada saat kegiatan partai
melakukan konsolidasi kedalam. Dalam periode ini partai tersebut bersaing keras
dengan golongan Komunis disamping juga mengalami tekanan-tekanan yang
dilancarkan oleh pemerintah Belanda. Periode ini berlangsung dari tahun
1921-1927
4)
Periode saat kekuatan partai
memperlihatkan kegigihannya dalam mempertahankan eksistensinya dalam forum
politik Indonesia. Periode ini berlangsung dari tahun 1927-1942.[13]
c.
Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI)
Komunikasi yang kurang
baik di antara organisasi Islam tidak jarang membawa pergesekan-pergesekan dan
bahkan konflik di antara umat Islam. Kesadaran yang mendalam akan pentingnya
memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berdasarkan
Islam, maka K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H.A Wahab Chasbullah (NU) dan
pimpinan lainnya dari SI, al Irsyad, al-Islam, Perserikatan Ulama, dan
lain-lain telah berhasil membentuk suatu badan federatif yang disebut dengan Majelis
Islam Ala Indonesiy (Majelis Tinggi Islam Indonesia). Majelis yang lebih
dikenal dengan MIAI ini didirikan di Surabaya pada 21 September 1937.[14]
MIAI tidak dapat
membatasi diri semata-mata pada masalah agama. Situasi politik Indonesia dan
tuntutan-tuntutan yang kian bertambah dari pergerakan kemerdekaan Indonesia
pada umumya, terutama untuk mendirikan parlemen Indonesia dan akhirnya
kemerdekaan, menyebabkan federasi ini mengeluarkan pendapat dan pernyataan yang
bersifat politik.[15]
Belum sampai lima
tahun kehadiran MIAI, pasukan Jepang mendarat di Indonesia dan dengan mudah
dapat mengusir Belanda. Berbeda dengan Belanda, Jepang berusaha merangkul umat
Islam untuk memobilisasi seluruh penduduk dalam rangka menyokong tujuan-tujuan
perang mereka yang cepat dan mendesak. Alasan Jepang merangkul umat Islam
adalah pertama, mereka mempunyai keyakinan agama yang kuat, sebagai
moral perjuangan. Kedua, berhubungan erat dengan yang pertama, kekuatan
Islam yang besar mendapatkan pijakan yang kuat karena dukungan rakyat yang luas
di Indonesia. Dalam kontek sosio-politik dan militer seperti inilah terlihat
mengapa pihak fasis Jepang membiarkan MIAI hidup buat sementara. Dalam waktu
cepat, Jepang memang benar-benar membutuhkan bantuan umat Islam. Karena MIAI
didirikan atas prakasa kaum Muslimin sendiri dan mempunyai kecenderungan
anti-kolonialisme, maka Jepang membubarkan MIAI pada oktober 1943.[16]
3.
Seni dan Arsitektur
Dalam seni arsitertur, terutama dalam bangunan sarana peribadatan
seperti masjid, Mushalla, bahkan rumah-rumah di Indonesia banyak yang berseni Islam
seperti terdapatnya tulisan Arab (kaligrafi Islam) yang terpajang pada
bangunan-bangunan, rumah-rumah penduduk dan sebagainya. Hasil seni bangunan
yang mempunyai nilai sejarah diantaranya adalah masjid kuno Demak, sendang
dawur agung kesepuhan di Cirebon, masjid agung Banten, Baiturrahman di Aceh dan
lain-lain.[17]
B.
Peradaban Islam Pasca
Kemerdekaan
1.
Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya
Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian
lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan desember 1945
menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak
pemerintah agar memberikan bantuan pada madrasah. Departemen agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan
agama Islam, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan
agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45
orang diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada tahun 1948,
didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo. Haji Mahmud Yunus, seorang
lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam diPadang,
menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Dalam rencananya, ibtidaiyah
selama 6 tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud
Yunus juga menyarankan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum
yang disetujui oleh konferensi pendidikan se-Sumatera di Padang Pajang, 2-10
Maret 1947.[18]
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di
Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka
Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945 di Padang, yang terdiri dari
Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Perguruan Tinggi
Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat
perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950,
Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada
tangal 26 September 1951 secara resmi dbuka perguruan Tinggi baru dengan nama
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan Kementerian
Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama ADIA).
Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas
dalam pemerintahan dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960,
PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga
dibawah Kementerian Agama.[19]
IAIN bertanbah pesat dan melahirkan cabang-cabangnya di
berbagai wilayah ditambah dengan tumbuhnya perguruan tinggi swasta, diantaranya
UNJ, UM, UNISBA, UNISMA. Pendidikan Islam mengalami kemajuan dalam mengiringi
modernitas. Terakhir pada tahun 2002, IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi
UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah yang di dalamnya
menyelenggarakan pendidikan selain fakultas-fakultas Agama juga membuka program
pasca sarjana.[20]
2.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pertama kali Majelis Ulama Indonesia
berdiri pada masa Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah,
karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di samping untuk tujuan pembinaan
mental, rohani dan agama masyarakat, oleh pemerintah waktu itu Majelis ini
dimaksudkan untuk ikut ambil bagian dalam “penyelenggaraan revolusi dan
pembangunan semesta berencana” dalam rangka Demokrasi Terpimpin”. Akan tetapi
setelah Seokarno jatuh, baru kegiatan-kegiatan Majelis ulama daerah meningkat.
Meskipun majelis ini secara nasional tidak mempunyai kendali dan cara kerja
yang sama antara satu daerah dengan daerah lain, karena majelis pusat praktis
tidak berfungsi lagi.[21]
Pada masa Soeharto, Ia mengharapkan
berdirinya Majelis Ulama Indonesia. Dalam tahun 1975 usaha-usaha dimulai untuk
mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibukota
profinsi dibentuk, atau bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka
pembentukan majelis ulama yang baru. Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia
Musyawarah Nasional 1 Majelis Ulama seluruh Indonesia. Musyawarfah itu sendiri
dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis
Ulama propinsi. Ketika itulah Majelis ulama yang baru dinyatakan berdiri dengan
nama Majelis Ulama Indonesia.[22]
3.
Hukum Islam
Usaha untuk
mengundangkan peraturan perkawinan
secara Nasional sudah dimulai sejak tahun 1950 dengan terbentuknya suatu
panitia khusus yang diketuai oleh Teuku Muhammad Hasan. Baru pada tahun 1958,
hasil kerja panitia ini dibicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat, bersama-sama
dengan suatu usul Rancangan Undang-undang yang dimajukan oleh kalangan
nasionalis. Akan tetapi kedua rancangan ini dikesampingkan karena terjadi
kemacetan dalam perdebatan di parlemen. Rancangan Undang-undang yang sama
kemudian disusun kembali tahum 1967 dan 1968. Kedua rancangan ini dibicarakan dalam
sidang DPR tahun 1973, tetapi mengalami hal yang sama karena wakil dari
golongan Katholik menolak rancangan itu. Akibatnya pemerintah menarik kembali
kedua rancangan tersebut dan mengusulkan RUU yang baru pada tanggal 31 Juli
1973. Ketika rancangan ini disidangkan, pihak Islam merasa keberatan dan
beberapa ratus pelajar Islam melakukan protes di ruang DPR karena banyak
butir-butir RUU yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Diluar sidang
DPR masalah protes itu dapat diselesaikan dengan mengubah RUU tersebut,
sehingga seluruhnya sesuai dengan tuntutan kalangan Islam. Yang akhir inilah
yang diundangkan pada bulan Januari 1974. Kemantapan posisi hukum Islam dalam
sistem hukum Nasional semakin meningkat setelah Undang-undang Peradilan Agama
diterapkan tahun 1989.[23]
C.
Hasil-hasil atau Bukti
Paradigma di Indonesia
Islam tersebar di
berbagai daerah di Indonesia, bukti keberadaan Islam itu dapat dilihat bukan
saja dari para pemeluknya yang memiliki pengikut paling besar di Indonesia. Bukti
historis dan arkeologis juga mendukung keberadaan Islam di Indonesia. Bukti
historis dan arkeologis dapat dilihat pada budaya dan tradisi yang telah lama
hidup dan berkembang pada masyarakat. Peninggalan Islam yang dapat kita
saksikan hari ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan
setempat. Peninggalan-peninggalan
sejarah Islam di Indonesia, antara lain dalam bentuk masjid, nisan, makam, dan
kaligrafi.
1. Masjid
Masjid
merupakan tempat sholat umat Islam, masjid tersebar di berbagai daerah. Bentuk
dan ukuran masjid bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid
ialah atap (kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke
atas makin kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas.
Misalnya masjid Jami’ Tuban yang didirikan 1928, masjid Agung kediri (1935),
dan masjid Agung Demak yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan
keindahannya.[24]
2. Kaligrafi
Seni kaligrafi Islami berkembang seiring
dengan berkembangnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ketidaksukaan
Islam pada penggambaran makhluk hidup secara visual ikut mendorong perkembangan
kaligrafi. Seni kaligrafi tidak hanya berkembang di Arab, namun juga di Iran,
Irak, Turki dan Indonesia.tujuan pembuatan kaligrafi mula-mula adalah untuk
mengagungkan ayat-ayat suci Al Qur’an, tetapi kemudian berkembang kaligrafi
yang lebih mementingkan keindahan. Salah satu kaligrafi di Indonesia yang
terkenal adalah hiasan kaligrafi pada makam Sultan Malik al-Shaleh. Batu makam
lain yang juga dihias dengan kaligrafi adalah pada makam Ratu Nahrasiyah dari
Samudra Pasai. Selain di Aceh, batu-batu makam lain yang juga dihias kaligrafi
terdapat pada makam-makam Cirebon, Gresik (Jawa), dan Bone (Sulawesi Selatan).[25]
3. Batu Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni,
mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Di Pasai masih dijumpai
batu nisan makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat tahun 1292. Batunya terdiri dari
pualam putih diukir dengan tulisan arab yang sangat indah berisikan ayat
Al-Qur’an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun
wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana
Malik Ibrahim. Bentuk makam dari abad permulaan masuknya agama Islam menjadi
contoh model bagi makam Islam kemudian. Nisan itu uumnya didatangkan dari
Gujarat sebagai barang pesanan. Bentuknya lunas (bentuk badan kapal terbalik)
yang mengesankan pengaruh Persia. Bentuk-bentuk nisan kemudian hari tidak
selalu demikian. Pengaruh kebudayaan setempat sering memengaruhi, sehingga ada
betuk teratai, keris, atau bentuk gunungan seperti gunungan pewayangan.[26]
IV.
ANALISIS
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa Pertumbuhan agam Islam di Indonesia itu bermula di berbagai
pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra, Jawa, dan Pulau lainnya. Hal ini terjadi karenakan
penyebaran Islam di Indonesia pertama kali dilakukan oleh para pedagang seperti halnya Gujarat, Persia, India dan lain
sebagainya. Sehingga kerajaan-kerajaan islam Indinesia yang pertama berdiri
juga di daerah pesisir yang kemudian terus berkembang dan menyebar
kedaerah-daerah sekitarnya. Disini ulama sangat berperan penting dalam proses
pertumbuhan islam di Indonesia baik pada masa Pra-Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan. Disamping sebagai penyebar agama, ulama juga ikut berpartisipasi
dalam bidang pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan membentuk
kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang
lebih luas yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan
pesantren atau langgar. Cara
semacam ini dilakukan pada masa pra-kemerdekaan Indonesia.
Daan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya
Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian
lebih serius. Hal ini dibuktikan dengan cara mendirikan gedung-gedung sekolah Islam seperti; MI, MTS, MA,
bahkan Perguruan Tinggi Islam (IAIN), yang digunakan untuk kegiatan belajar
mengajar yang didalamnya berisi tentang ajaran-ajaran agama Islam. salah satu
tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan,
membimbing, dan mengawasi pendidikan agama tersebut. Bentuk pendidikan Islam
tertua di Indonesia adalah pesantren, yaitu salah satu lembaga pendidikan yang
didirikan dan dipimpin oleh seorang kiai atau ulama’ langsung. Kemajuan
seseorang yang menuntut ilmu di pesantren sangat ditentukan oleh kerajinan,
kesungguhan, dan ketekunan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Huda,
Nor, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007
Karim,
Abdul, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisasi Peranan
Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI), Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005
Noer,
Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1945, Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 1996
Paeni,
Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Rupa dan Desain, Jakarta:
Rajawali Pers, 2009
........................,
Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT ajaGrafindo
Persada, 2005
Syam,
Firdaus, Membangun Peradaban Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 2009
Syukur,
Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003
[1] Firdaus Syam, Membangun Peradaban Indonesia, (Jakarta: Gema
Insani, 2009), hlm. 58-59
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003), cet. XV, hlm. 299
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 299-300
[4] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2011), cet. III, hlm. 270-271
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 301
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 302
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 301-303
[8] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 272
[9] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 273
[10] Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar
Marjinalisasi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI), (Yogyakarta:
Sumbangsih Press, 2005), hlm. 21
[11] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1945,
(Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indone’sia, 1996), cet. VIII, hlm.115
[12] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), hlm. 112
[13] Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar
Marjinalisasi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI),hlm.24-25
[14] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia, hlm. 116
[15] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia,hlm. 117
[16] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia, hlm. 118-119
[17] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hlm.273-274
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm.310
[19] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm.312-314
[20] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 131
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 320-321
[22] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 321-322
[23] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 277
[24] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia:Arsitektur,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 254
[25] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Rupa dan Desain,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 60-61
[26] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar