PARA PERINTIS GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI NUSANTARA ABAD
KE-17
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah, M. SI
Disusun Oleh:
Himatul Aliyah 103111112
Husna 103111113
Nafi’atur Rohmaniyah 103111128
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PARA PERINTIS GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI NUSANTARA ABAD
KE-17
I.
PENDAHULUAN
Penyebaran Islam pertama kali di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari tasawuf. Kenyataannya, Islam datang ke Indonesia terutama
dalam bentuk tasawuf. Para penyebar utama Islam awal adalah kaum sufi. Selain
menegaskan kenyataan ini, banyak berbagai versi yang meyakini bahwa para
pendakwah Islam awal adalah keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir (cucu Imam
Ja’far As-Shodiq yang berhijrah ke Hadhramaut) yang membawa suatu aliran
tasawuf yang belakangan disebut sebagai tharekat Alawiyah. Bukan hanya wali
songo dan para pendakwah awal lainnya di pulau Jawa, bahkan beberapa tokoh
tasawuf di luar Jawa secara langsung atau tidak juga berada dibawah pengaruh
tarekat ini.
Meskipun
demikian di Indonesia pada zaman yang sama berkembang pula aliran tasawuf yang
lebih filosofis, yang biasa disebut sebagai tasawuf falsafati. Kedua aliran
tasawuf ini, meski dalam beberapa hal berbagai pemahaman dan keyakinan yang
sama, tidak jarang mengalami konflik. Diantara yang paling menonjol adalah
perdebatan di Aceh antara Hmzah Fansuri yang mewakili tasawuf falsafi dan Nur
Ruddin Al-Raniri yang mewakili tasawuf sunni, hingga berlanjut ke para murid
dan pengikut mereka.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
tentang Nur al-Din al-Raniri?
B.
Bagaimana
tentang Abd Al-Rauf Al-Sinkili?
C.
Bagaimana
tentang Muhammad Yusuf Al-Maqassari?
III.
PEMBAHASAN
A.
Nur
Al-Din Al-Raniri (1068/1658)
Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin
Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Raniri, berasal dari keluarga Arab Ranir (Rander)
Gujarat. mengenai kelahirannya tidak diketahui, wafat tahun 1068 H/1658 M.
Dikatakan ibunya seorang Melayu, ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadromi.
Juga tidak ada kejelasan kapan Al-Raniri datang pertama kali ke wilayah Melayu,
tapi Al-Raniri pernah menjabat syaikh al-Islam atau mufti di kerajaan Aceh pada
zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultan Sofiatu al-Din. Pedagang Belanda yang
mula-mula datang ke Aceh menyebutnya Moorish Bishop (Uskup orang muslim)
yang berkuasa selain tentang masalah keagamaan, tetapi juga masalah politik dan
ekonomi.[1]
Al-Raniri hidup di Aceh selama tujuh tahun sebagai
'alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah yang
sesat, mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh
orang yang menolak bertobat dari kesesatan, membakar buku-buku yang berisi ajaran
sesat. Pada tahun 1054 H/1644 M. Al-Raniri meninggalkan Aceh dan dan kembali ke
Ranir.[2]
Adapun karya-karyanya adalah Al-Shirat
al-Mustaqim, Durrat al-Faraid bi Syarh al-‘Aqaid, Hidayat al-Habib fi al
Targhib wa al-Tarhib, Bustan al-Salathin fi dzikr al-Awwalin al-Khirin, Nubdzah
fi da’wa al-zhill ma’a shahibih, Lathif al-Asrar, Asrar al-Lisan fi Ma’rifat
al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, Akhbar al-Khirah fi Ahwal
al-Qiyamah, Hillal-Zhill, Ma’ al-Hayat li Ahl al-Mamat, Jawahir al-‘Ulum fi
Kasyf al-Ma’lum, Aina al-A’lam Qalb an Yukhlaq, Syifa’ al-Qulub, Hujjat
al-Shidiq li daf’i al-Zindiq, al-Fath al-mubin ‘ala al-Mulhidin, dan lain-lain.[3]
Nuruddin Al-Raniri telah menginjakkan kakinya di
Aceh sebelum tahun 1637, hanya karena tidak ada penerimaan yang layak dari
pihak istana Sultan Iskandar Muda, maka ia melanjutkan perjalanannya ke
Semenanjung Tanah Melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai tempat
menetap.[4]
Pada saat Nuruddin
berada di Aceh untuk kedua kalinya (1637 M) suasana politik dan agama di Aceh
sudah berubah. Syaikh Syamsuddin telah meninggal dunia pada tahun 1630 dan enam
tahun setelah itu sultan Iskandar Muda mangkat (1636). Ia diganti oleh menantunya
yaitu Iskandar Tsani yang berasal dari Pahang dan memberikan kedudukan yang
sangat baik bagi Nuruddin dalam istana dan kerajaan Aceh. Karena kepercayaan
dan perlindungan sultan, Nuruddin memperoleh kesempatan baik untuk menyerang
dan membasmi wujudiyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.[5]
Selama bermukim di
Aceh, Nuruddin tidak henti-hentinya menulis dan berdebat melawan penganut
ajaran wujudiyyah. Berkali-kali majelis perdebatan diadakan di istana
dan terkadang disaksikan oleh sultan sendiri. Dalam perdebatan itu, Nuruddin
dengan segala kecerdikan dan kemampuannya memperlihatkan kelemahan dan
kesesatan wujudiyyah yang menurutnya sangat bertentangan dengan
Al-Qur’an dan hadits serta meminta mereka bertobat dan kembali kepada ajaran
yang benar. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil seperti yang diharapkan,
orang-orang yang tidak mau bertobat itu dihukum kafir yang halal dibunuh dan
kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di
halaman masjid Baiturrahman.[6]
Pemikiran-pemikiran
tasawuf Nuruddin Ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh sultan Iskandar
Tsani, sehingga kebijakan Nuruddin mengaluarkan fatwa "kufur" kepada
pengikut wujudiyah ternyata didukung oleh sultan. Kitab Ma' al-Hayat li
Ahl al-Mamat karya Nuruddin Ar-Raniri itu diluncurkan dalam rangka mengingatkan
orang jangan sampai terpengaruh ajaran wujudiyah yang sesat,
ajaran-ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, dan pengikut-pengikutnya
karena penganut ajaran tersebut dianggapnya kafir. Ia sempat mengatakan:"
Barang siapa syak pada mengkafirkan Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Al-Sumatrani dan mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia
kafir." Sesat dan kafirnya penganut ajaran tersebut, menurut Nuruddin,
adalah karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah
Allah. Sekiranya keadaannya seperti itu, maka tentu saja antara dzat dan sifat
Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah menjadi intiqal ataukah hulul
ataukah ittihad. Ketiganya
tersebut tidak mungkin terjadi karena adanya perbedaan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya.[7]
Inti ajaran wujudiyah, menurut Nuruddin,
terpusat pada wahdatul wujud yang ditafsirkan secara salah, yaitu
"kemanunggalan" Tuhan dengan alam. untuk itu, Ar-Raniri memulai
uraiannya dengan menghimbau umat untuk memikirkan apa yang disebut dalam
kitab-kitab mereka, seperti kitab Ruba'inya Hamzah Fansuri. Juga tentang
apa yang disebut dalam buku Khirqahnya Syamsuddin Al-Sumatrani, yang
menurut Nuruddin sudah menyerupakan Allah dengan manusia. Demikian juga
perkataan mereka dalam diskusi dengannya, yang dalam ungkapan penganut Wujudiyah
sampai mengakui diri mereka sebagai Tuhan, sebagai Muhammad, sebagai syetan,
sebagai anjing, dan sebagai babi.[8]
Diantara dalil yang diajukan sebagai klaim
pembenaran kepercayaaan wujudiyah yang mereka yakini, misalnya dengan
mengutip ayat-ayat mutasyabih, misalnya mengatakan:
اِنَّا لِلَّهِ وَ اِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
"Sesungguhnya kami milik Allah, dan
kepada-Nya kami akan kembali"
Ayat itu, kata Nuruddin, telah ditafsirkan oleh
kaum wujudiyah secara salah, yaitu bahwa alam atau insan itu keluar dari
Allah dan akan kembali dan bersatu dengan-Nya. Yang dimaksud "keluar"
dan "kembali" itu adalah seperti keluarnya seseorang dari rumahnya,
dan kemudian pulang kembali masuk ke rumahnya, dan juga seperti ditamsilkan
biji yang keluar dari pohon kayu atau seperti air sungai yang berasal dari laut dan akan kembali pula bersatu
dengan laut.[9]
Syaikh Nuruddin menyanggah penafsiran ayat diatas
yang dilakukan oleh kaum wujudiyah bahwa manusia keluar dari Allah dan
akan bersatu kembali dengan-Nya. Karena jika demikan, maka Allah itu berjasmani
seperti benda bumi ini. Penafsiran yang benar, Kata Nuruddin, adalah yang
seperti dikatakan oleh para ahli tafsir: "Kami milik Allah, dan kembali
segala pekerjaan kami kepada-Nya jua." Segala amal perbuatan manusia
kembali kepada hukum Allah; jika baik, maka ia akan masuk surga, dan jika
jahat, ia akan masuk Neraka.[10]
Namun, meskipun demikian, sejalan dengan adanya
tradisi masyarkat (Islam) yang menyimpang dari ajaran Islam (bid'ah),
maka Nuruddin tergugah untuk mengembalikan ajaran Islam kepada kemurniannya
yang disandarkan kepada sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Menurutnya
penerapan syari'at Islam tidak dapat diketahui benar, tidaknya kecuali
bersumber pada aslinya, yaitu Qur'an dan Hadits, terutama masalah furu', cara-cara
beribadah dan muamalah. Oleh karena itu Nuruddin mengumpukan sejumlah hadits
dalam karyanya Hidayatul Habib Fit Targhib Wat Tarhib, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu agar penduduk muslim memahaminya secara benar.[11]
Pemikiran-pemikiran Ar-Raniri seperti disinggung
sedikit di atas, ternyata mempunyai pengaruh yang besar di seluruh Nusantara,
sehingga peranan Nuruddin Ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah
Melayu-Indonesia tak bisa diabaikan. Dia memainkan peran penting dalam membawa
tradisi besar Islam -Sunni- ke wilayah ini dengan menghalangi kecenderungan
kuat intrusi tradisi lokal ke dalam Islam. Tanpa mengabaikan peranan
ulama-ulama lain sebelumnya, Ar-Raniri merupakan suatu mata rantai sangat kuat,
yanmg menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di
Nusantara. Jelas, dia merupakan salah seorang penyebar terpenting pembaruan
Islam di Nusantara. Pemikiran Nuruddin Ar-Raniri ini banyak diikuti
murid-muridnya, dan muridnya yang paling menonjol di Nusantara adalah
Al-Maqassari. Al-Maqassari sendiri secara tegas menyatakan bahwa Ar-Raniri
adalah Syaikh dan gurunya.[12]
Dan sebagai apresiasi terhadap jasa dan kontribusinya, pemerintah Indonesia
mengabadikan namanya dengan pemberian nama perguruan tinggi Islam pertama di
Aceh, IAIN Ar-Raniri.[13]
B.
Abd
Al-Rauf Al-Sankili (1024/1615)
Nama lengkapnya adalah Abd al-Ra’uf bin ‘Ali
al-Jawi al- Fansuri al-Sinkili. Tahun kelahirannya sekitar 1024/1615 M. dan
wafat pada tahun 1693.[14]
Pada saat sebelum keberangkatan Abdur Rauf ke
tanah Arab, di Aceh telah terjadi kontroversi dan pertikaian antara penganut
doktrin wujudiyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Al-Sumatrani, dengan Ar-Raniri dan para pengikutnya. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa Abdur Rauf mengetahui secara persis adanya kontroversi yang
mengakibatkan terjadinya penganiayaan terhadap para pengikut doktrin wujudiyah,
dan pembakaran buku-buku karangan Hamzah Fansuri tersebut.[15]
Di tanah Arab, selama 19 tahun Abdur Rauf belajar
agama pada tidak kurang dari 15 orang guru, 17 ulama terkenal, dan 15 tokoh
mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baitul Faqih dan
tempat-tempat lain. (lihat Hurgronje II,1997: 14, dibandingkan dengan Azra,
1995: 191-192). Akan tetapi, yang paling berpengaruh terhadap pemikiran tasawuf
Abdur Rauf kelak adalah Ahmad Al-Qusyasyi, guru spiritualnya di Madinah. Dari
Al-Qusyasyi, Abdur Rauf mempelajari ilmu-ilmu batin, yaitu tasawuf dan
ilmu-ilmu tarekat lainnya, sampai ia mendapatkan ijazah untuk menjadi khalifah
dalam tarekat Syathariyyah dan Qadiriyah. Setelah Al-Qusyasyi
meninggal pada 1660, Abdur Rauf melanjutkan pendidikannya kepada Ibrahim
Al-Kurani (w. 1690), dan memperdalam berbagai pengetahuan lainnya, Abdur Rauf
menjadi seorang ulama yang mumpuni, baik dalam ilmu-ilmu batin, yakni tasawuf,
maupun ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, hadits, dan sebagainya. Perpaduan
dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdur Rauf kelak,
yang sangat menekankan perpaduan antara syari'at dan tasawuf, atau dalam
istilahnya sendiri, antara ilmu lahir dan ilmu batin (keterangan lebih rinci
tentang guru-guru Abdur Rauf dan tempat belajarnya.[16]
Abdur Rauf kembali ke Aceh pada sekitar 1661,
yaitu setahun setelah Al-Qusyasyi meninggal. Pandangan-pandangan
keagamaannya segera dapat merebut hati
sultan Safiyyatuddin, yang saat itu masih memerintah kesultanan Aceh
(1645-1675), dan kemudian mengangkatnya sebagai Qadi Malik al-'Adil, atau mufti
yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.[17]
Diantara karya-karya al-Sinkili antara lain
adalah: Mir’at al-Thullab (fiqih
Syafi’i bidang muamalat), Hidayat
al-Baligha (fiqih tentang sumpah, kesaksian, peradilan, pembuktian, dan
lain-lain), ‘Umdat al-Muhtajin
(tasawuf), Syams al-Ma’rifat (tasawuf
tentang makrifat), Kifayat al-Muhtajin
(tasawuf), Daqa’iq al-Huruf
(tasawuf), Turjuman al-Mustafidh
(tafsir), dan lain-lan.[18]
Untuk memulai pembahasan mengenai ajaran-ajaran mistisnya,
As-Sinkili, dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab Al-Muwahhidin
al-Qa'ilin bi Wahdat al-Wujud,
mempertahankan transedensi Tuhan atas Ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat wujudiyah
yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Al-Sinkili berargumen,
sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al-‘alam), Dia selalu memikirkan diri-Nya
sendiri, yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad
itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-a’yan al-tsabitah),
yaitu potensi alam raya, yang menjadi sumber pola-pola dasar luar (al-a’yan
al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Sinkili menyimpulkan,
meski al-a’yan al-kharijiyyah merupakan emanasi dari wujud mutlak,
mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri: hubungan keduanya adalah seperti tangan
dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangannya,
yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, al-Sinkili
menegaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya.[19]
C.
Muhammad
Yusuf Al-Maqassari (1037/1627)
Syaikh Yusuf Al-Maqassari adalah seorang tokoh
sufi yang dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 juli
1629 M. Al-Maqassari dikenal oleh penduduk Makassar, Sulawesi selatan sebagai Tuanta Samalata (guru kami yang mulia).[20]
Dikatakan bahwa sekitar 1644, dia meninggalkan
kampung halamannya menuju Makkah. Riwayat setempat menyebutkan bahwa dalam
perjalanannya itu dia singgah di Banten kemudian menuju Aceh untuk belajar
dengan Syaikh Nur Al-Din Al-Raniri. Tidak jelas apakah dia bertemu Nur Al-Din
Al-Raniri atau tidak di Aceh karena Nur
Al-Din Al-Raniri sebenarnya telah kembali ke tanah airnya di Gujarat India pada
1644 tanpa pernah kembali ke Aceh. Jika tidak bertemu di Aceh, mereka agaknya
bertemu di Gujarat karena sumber kita menunjukkan bahwa Syaikh Yusuf belajar
dengan Nur Al-Din Al-Raniri, bahkan Nur Al-Din Al-Raniri menginisiasi Syaikh
Yusuf pada tarekat Qadiriyyah. Tampaknya, Nur Al-Din Al-Raniri juga yang
memperkenalkan Syaikh Yusuf kepada gurunya
sendiri, Sayyid Abu Hafsh Umar Abdullah Ba Syaiban, yang dalam sebagian besar
masa hidupnya tinggal di Bijapur India.[21]
Syaikh Yusuf kemudian belajar dengan Ba Syaiban
untuk beberapa lama sebelum melanjutkan perjalanannya ke Yaman, tempat dia
belajar dengan dua orang guru tarekat Naqsyabandiyyah. Kemudian, dia pergi ke
Mekkah dan Madinah guna menunaikan ibadah haji, lalu dia memutuskan menetap dan
belajar, diantaranya dengan Ibrahim Al-Kurani yang juga menginisiasinya pada
tarekat Syathariyyah. Setelah beberapa tahun di Haramain, Syaikh Yusuf
melanjutkan studinya di Damaskus, tempat dia juga diinisiasikan pada tarekat
Khalwatiyyah sehingga memperoleh gelar Taj Al-Khalwati.[22]
Syaikh Yusuf mengembara sedikitnya 22 tahun dalam
mencari ilmu Islam. Pengalaman-pangalamannya dalam mencari berbagai cabang
Islam mencerminkan dengan jelas kompleksitas jaringan ulama internasional.
Tidaklah mengherankan jika dia menjadi salah satu transmitter paling penting dalam penyebaran gerakan pembaharuan yang
dibawa dari timur tengah ke Dunia Melayu-Indonesia pada abad ke-17.[23]
Al-Maqassari meninggal dunia di Tanjung pada 22
Dzulqa’dah 1111/22 Mei 1699 dan dikuburkan di Faure, diperbukitan pasir False
Bay. Pusarannya dikemudian hari dikenal sebagai keramat. Tempat itu menjadi titik pusat komunitas melayu-Indonesia,
dan tempat terpenting untuk ziarah kaum Muslim di Tanjung, atau seperti yang
diungkapkan Du Plessis, “pusara itu
telah menjadi Makkah di Selatan. Beribu-ribu peziarah menghaturkan penghormatan
mereka setiap tahun sebagai kenangan terhadap tokoh buangan yang mulia itu.[24]
Syekh Yusuf al-Maqassari, sesudah selesai belajar
yang dijalaninya, mulai berjuang sebagai pengajar, ulama’, pengarang,
pembimbing tarekat, pemimpin perlawanan terhadap Belanda, pembimbing
pengikutnya di pembuangan, pengembang Islam di Afrika Selatan, menyebabkan
beliau harus melewati wilayah yang sangat luas mulai dari Sulawesi Selatan,
Banten, Pulau Ceylon, dan Tanjung Harapan Afrika Selatan.[25]
Setelah kepulangannya dari Tanah Arab sekitar
tahun 1670 M al-Maqassari menetap pertama-tama di Banten. Semula Al-Maqassari
hanya ingin singgah di Banten tetapi kondisi Kerajaan Gowa yang telah
ditundukkan oleh Kerajaan Bugis Bone yang bekerja sama dengan Belanda pada
tahun 1669 telah mengubah rencananya. Al-Maqassari yang sejak sebelum
berangkat ke Arab telah bersahabat dengan pangeran Surya, dan
ketika Pangeran Surya telah menjadi Sultan Ageng Tirtayasa dan Al-Maqassari
telah menjadi seorang ulama’ persahabatan itu tetap ingin dipetahankan,
terutama oleh Sultan Ageng demi kebesaran Banten sekaligus untuk menghadapi
Belanda yang merupakan musuh utamanya. Salah satu cara Sultan Ageng mengikat
persahabatan dengan Al-Maqassari adalah dengan mengawinkan al-Maqassari dengan
putrinya.[26]
Kehadiran Al-Maqassari menyebabkan nama Banten
menjadi lebih terkenal sebagai pusat pendidikan Islam yang menarik para pelajar
untuk berdatatangan ke sana dari segala penjuru Nusantara. Di Banten inilah
Al-Maqassari menulis kebanyakan karyanya
sehingga menambah kebesaran Banten dan kekhawatiran VOC di Batavia.[27]
Pada tahun 1683 Belanda mengasingkan Al-Maqassari ke Pulau
Ceylon (Sri Lanka) untuk memisahkan dari kaum muslimin di Indonesia, namun di
sana Al-Maqassari banyak menghasilkan karya-karya. Dengan demikian Sri Lanka
justru menjadi tempat translit jama’ah haji Indonesia. Para haji inilah yang
membawa dan menyebarkan tulisan-tulisan Al-Maqassari di Nusantara. Karena
peranan Al-Maqassari di Sri lanka itu menimbulkan kekhawatiran Belanda, maka
mereka memindahkan Al-Maqassari ke tempat yang lebih jauh yaitu Tanjung
Harapan, tiba di sana tahun 1694 M ketika itu Al-Maqassari sudah berusia 68
tahun.[28]
Konsep utama tasawuf al-Maqassari adalah pemurnian
kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya dalam
menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dengan mengutip surat
al-Ikhlas dan ayat Al-qur’an lain yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat
diperbandingkan dengan-Nya, Al-Maqassari menekankan keesaaan Tuhan (tauhid),
keesaan-Nya tidak terbatas dan mutlak. Tauhid adalah komponen penting dalam
ajaran Islam, yang tidak percaya pada tauhid menjadi kafir.[29]
Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan,
Al-Maqassari membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar
(orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca
Al-Qur’an, naik haji, dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara mujahadat
al-shaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin
yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin
dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amlan-amalan lahir.
Ketiga, cara al-dzikr, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk
berhubungan dengan Tuhan, yakni orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir
maupun batin.[30]
Ajaran Syaikh Yusuf mengenai proses awal penyucian
batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan di dunia ini bukanlah harus
ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali, melainkan hidup ini
harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui
tata tertib hidup, disiplin diri, dan
penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi
kehidupan manusia.[31]
Kemudian Syaikh Yusuf lebih menjalaskan konsepnya bahwa Tuhan beserta dan
meliputi hamba-Nya (al-ihathah al-ma’iyah). Ini adalah bagi mereka yang
senantiasa berdzikir (mengingat) kepada Allah, terutama mereka yang fana
dengan-Nya. Dengan jalan itu, maka Tuhan juga mengingatnya. Lewat ingatan Tuhan
dengan ilmu-Nya dan sifat uluhiyat-Nya, maka Tuhan selalu melindungi,
dalam arti meliputinya.[32]
Para ahli berbeda pendapat tentang kitab (karya)
karangan al-Maqassari. Sebagian ada yang menyebutkan 29 buah, sementara Martin
van Bruinessen menyebutkan 17, antara
lain sebagai berikut:
1.
Al-Risalah
al-Naqsyabandiyah
2.
Safinah
al-Najah
3.
Tuhfah
al-Amr fi Fadhilah al-Dzikir
4.
Al-Nafhah
al-Saylaniyah
5.
Zubdat
al-Asrar
6.
Al-Barakat
al-Saylaniyah
7.
Asrar
al-ashalah
8.
Bidayat
al-Mubtadi
9.
Al-Futuhat
al-Rabbani
10.
Habl
al-Warid
11.
Kaifiyah
al-Mughni
12.
Maktub
13.
Matlab
al-Salikin
14.
Qurrat
al-ain
15.
Sirr al-Asrar
16.
Taj
al-Asrar
17.
Fath
al-Kaifiyat al-Dzikr[33]
IV.
ANALISIS
Mengenai wacana tasawuf falsafati di Nusantara agaknya
dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dua tokoh sufi yang
datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada paruh abad ke 17 M. Sekalipun pada
abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati
terhadap Syaikh Siti Jenar atas fatwa dari Walisongo, karena ajarannya
dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan
kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat yang Maha Mutlak.
Nuruddin Ar Raniri merupakan salah satu tokoh pembaharuan
yang meluruskan agama Islam dari ajaran Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah
Fansuri dan Syekh Syamsumri al Sumatranni yang menurut dia melenceng dari ajaran
Al Qur’an dan al hadist. Nuruddin Al Raniri meluruskan ajaran tersebut dan
bahkan mengatakan kafir bagi siapa saja yang telah mengamalkan ajaran Wujudiyah
itu. Sebagai tokoh pembaharuan dalam Islam terutama di Indonesia, Nuruddin Ar
Raniri juga sebagai salah seorang yang mampu memadukan ajaran Islam di Timur
Tengah dan di Indonesia. Dengan berbagai pengalaman tentang tasawuf yang
digelutinya Sultan Isandar Tsani mamapu terpikat olehnya dan menyetujui
keinginan Ar Raniri untuk membakar
buku-buku ajaran tentang Wujudiyah tersebut. Ar Raniri memebrontakkan inti pada
ajaran Wujudiyah yaitu Wahdatul Wujud yang mendapat penafsiran salah dari kaum
Wujudiyah itu yaitu “kemanunggalan” Tuhan dengan alam. Selain kesesatan bukan
hanya pada pengakuan akan kemanunggalan dengan alam bahkan mereka juga telah
mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, Nabi Muhammad, Syetan, Anjing dan Babi.
Selain Nuruddin Ar Raniri, Abdur Rauf juga adalah seorang
pembaharu dalam Islam di Aceh pada Masa pemerintahan Sultan Safiyyatuddin. Ilmu
Tasawuf atau kebatinan yang digelutinya dari Al Qusyasyi beserta ilmu-ilmu
lahir dari Al Kunari membuatnya semakin jeli dan tegas dalam mengambil sebuah
keputusan. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan
Abdur Rauf kelak, yang sangat menekankan perpaduan antara syari'at dan tasawuf,
atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahir dan ilmu batin.
Al Maqassari, tokoh pembaharu dalam bidang tasawuf.
Konsep utama tasawuf al-Maqassari adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada
keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas
ciptaan-Nya. Dengan mengutip surat al-Ikhlas dan ayat Al-qur’an lain yang
menyatakan bahwa tidak ada yang dapat diperbandingkan dengan-Nya, Al-Maqassari
menekankan keesaaan Tuhan (tauhid), keesaan-Nya tidak terbatas dan mutlak.
Tauhid adalah komponen penting dalam ajaran Islam, yang tidak percaya pada
tauhid menjadi kafir. Menurut Al Maqassari, cara-cara menuju Tuhan ada tiga
tingkatan yaitu ; tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), mujahadat al-shaqa’
(orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), al-dzikr.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi,
Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Bandung: Mizan, 2002
_______________,Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta:
Kencana. 2004
Hamid, Abu, Syaikh Yusuf, Jakarta: Obor Indonesia,
2005
Mulyati, Sri,
Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana. 2006
Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Iman, 2009
Solihin, M. Melacak pemikiran tasawuf di Nusantara. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2005
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: RajaGrapindo Persada. 2007
[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: RajaGrapindo Persada,
2007), hlm. 186
[4]
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara:
Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 92
[7] M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di
Nusantara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 46
[8] Ibid., M. Solihin, hlm. 48
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban
Islam Indonesia, hlm. 298
[12] M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di
Nusantara, hlm. 56
[13] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Iman, 2009), hlm. 778
[14] M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di
Nusantara, hlm. 59
[18] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 61
[19]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 252
[20] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, hlm. 289
[21]
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal
Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 102
[23]
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal
Islam Nusantara, hlm. 103
[24] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
hlm. 286
[25] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 131
[26] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 131-132
[27] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 132
[28] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 131-133
[29] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 134
[30] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, hlm. 295
[31] Abu Hamid, Syaikh Yusuf, (Jakarta:
Obor Indonesia, 2005), hlm. 159
[32] Abu Hamid, Syaikh Yusuf, hlm 177
[33] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantar: Rangkaian Mutiara sufi Terkenal, hlm. 141-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar