efek bintang bertaburan pada kurso

Efek Blog

Kamis, 30 Mei 2013

PARA PERINTIS GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI NUSANTARA ABAD KE-17




PARA PERINTIS GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI NUSANTARA ABAD KE-17
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:  Sejarah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Maftukhah, M. SI





Disusun Oleh:
Himatul Aliyah                                        103111112
Husna                                                      103111113
Nafi’atur Rohmaniyah                             103111128

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA  ISLAM  NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2012


PARA PERINTIS GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI NUSANTARA ABAD KE-17

I.            PENDAHULUAN
Penyebaran Islam pertama kali di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tasawuf. Kenyataannya, Islam datang ke Indonesia terutama dalam bentuk tasawuf. Para penyebar utama Islam awal adalah kaum sufi. Selain menegaskan kenyataan ini, banyak berbagai versi yang meyakini bahwa para pendakwah Islam awal adalah keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir (cucu Imam Ja’far As-Shodiq yang berhijrah ke Hadhramaut) yang membawa suatu aliran tasawuf yang belakangan disebut sebagai tharekat Alawiyah. Bukan hanya wali songo dan para pendakwah awal lainnya di pulau Jawa, bahkan beberapa tokoh tasawuf di luar Jawa secara langsung atau tidak juga berada dibawah pengaruh tarekat ini.
Meskipun demikian di Indonesia pada zaman yang sama berkembang pula aliran tasawuf yang lebih filosofis, yang biasa disebut sebagai tasawuf falsafati. Kedua aliran tasawuf ini, meski dalam beberapa hal berbagai pemahaman dan keyakinan yang sama, tidak jarang mengalami konflik. Diantara yang paling menonjol adalah perdebatan di Aceh antara Hmzah Fansuri yang mewakili tasawuf falsafi dan Nur Ruddin Al-Raniri yang mewakili tasawuf sunni, hingga berlanjut ke para murid dan pengikut mereka.
II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana tentang  Nur al-Din al-Raniri?
B.     Bagaimana tentang  Abd Al-Rauf Al-Sinkili?
C.     Bagaimana tentang Muhammad Yusuf Al-Maqassari?
III.            PEMBAHASAN
          A.          Nur Al-Din Al-Raniri (1068/1658)
Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Raniri, berasal dari keluarga Arab Ranir (Rander) Gujarat. mengenai kelahirannya tidak diketahui, wafat tahun 1068 H/1658 M. Dikatakan ibunya seorang Melayu, ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadromi. Juga tidak ada kejelasan kapan Al-Raniri datang pertama kali ke wilayah Melayu, tapi Al-Raniri pernah menjabat syaikh al-Islam atau mufti di kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultan Sofiatu al-Din. Pedagang Belanda yang mula-mula datang ke Aceh menyebutnya Moorish Bishop (Uskup orang muslim) yang berkuasa selain tentang masalah keagamaan, tetapi juga masalah politik dan ekonomi.[1]
Al-Raniri hidup di Aceh selama tujuh tahun sebagai 'alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah yang sesat, mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054 H/1644 M. Al-Raniri meninggalkan Aceh dan dan kembali ke Ranir.[2]
Adapun karya-karyanya adalah Al-Shirat al-Mustaqim, Durrat al-Faraid bi Syarh al-‘Aqaid, Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib, Bustan al-Salathin fi dzikr al-Awwalin al-Khirin, Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibih, Lathif al-Asrar, Asrar al-Lisan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, Akhbar al-Khirah fi Ahwal al-Qiyamah, Hillal-Zhill, Ma’ al-Hayat li Ahl al-Mamat, Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Aina al-A’lam Qalb an Yukhlaq, Syifa’ al-Qulub, Hujjat al-Shidiq li daf’i al-Zindiq, al-Fath al-mubin ‘ala al-Mulhidin, dan lain-lain.[3]
Nuruddin Al-Raniri telah menginjakkan kakinya di Aceh sebelum tahun 1637, hanya karena tidak ada penerimaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda, maka ia melanjutkan perjalanannya ke Semenanjung Tanah Melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai tempat menetap.[4]
Pada saat Nuruddin berada di Aceh untuk kedua kalinya (1637 M) suasana politik dan agama di Aceh sudah berubah. Syaikh Syamsuddin telah meninggal dunia pada tahun 1630 dan enam tahun setelah itu sultan Iskandar Muda mangkat (1636). Ia diganti oleh menantunya yaitu Iskandar Tsani yang berasal dari Pahang dan memberikan kedudukan yang sangat baik bagi Nuruddin dalam istana dan kerajaan Aceh. Karena kepercayaan dan perlindungan sultan, Nuruddin memperoleh kesempatan baik untuk menyerang dan membasmi wujudiyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.[5]
Selama bermukim di Aceh, Nuruddin tidak henti-hentinya menulis dan berdebat melawan penganut ajaran wujudiyyah. Berkali-kali majelis perdebatan diadakan di istana dan terkadang disaksikan oleh sultan sendiri. Dalam perdebatan itu, Nuruddin dengan segala kecerdikan dan kemampuannya memperlihatkan kelemahan dan kesesatan wujudiyyah yang menurutnya sangat bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits serta meminta mereka bertobat dan kembali kepada ajaran yang benar. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil seperti yang diharapkan, orang-orang yang tidak mau bertobat itu dihukum kafir yang halal dibunuh dan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman masjid Baiturrahman.[6]
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin Ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh sultan Iskandar Tsani, sehingga kebijakan Nuruddin mengaluarkan fatwa "kufur" kepada pengikut wujudiyah ternyata didukung oleh sultan. Kitab Ma' al-Hayat li Ahl al-Mamat karya Nuruddin Ar-Raniri itu diluncurkan dalam rangka mengingatkan orang jangan sampai terpengaruh ajaran wujudiyah yang sesat, ajaran-ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, dan pengikut-pengikutnya karena penganut ajaran tersebut dianggapnya kafir. Ia sempat mengatakan:" Barang siapa syak pada mengkafirkan Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani dan mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia kafir." Sesat dan kafirnya penganut ajaran tersebut, menurut Nuruddin, adalah karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Sekiranya keadaannya seperti itu, maka tentu saja antara dzat dan sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah menjadi intiqal ataukah hulul ataukah ittihad.  Ketiganya tersebut tidak mungkin terjadi karena adanya perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.[7]
Inti ajaran wujudiyah, menurut Nuruddin, terpusat pada wahdatul wujud yang ditafsirkan secara salah, yaitu "kemanunggalan" Tuhan dengan alam. untuk itu, Ar-Raniri memulai uraiannya dengan menghimbau umat untuk memikirkan apa yang disebut dalam kitab-kitab mereka, seperti kitab Ruba'inya Hamzah Fansuri. Juga tentang apa yang disebut dalam buku Khirqahnya Syamsuddin Al-Sumatrani, yang menurut Nuruddin sudah menyerupakan Allah dengan manusia. Demikian juga perkataan mereka dalam diskusi dengannya, yang dalam ungkapan penganut Wujudiyah sampai mengakui diri mereka sebagai Tuhan, sebagai Muhammad, sebagai syetan, sebagai anjing, dan sebagai babi.[8]
Diantara dalil yang diajukan sebagai klaim pembenaran kepercayaaan wujudiyah yang mereka yakini, misalnya dengan mengutip ayat-ayat mutasyabih, misalnya mengatakan:
اِنَّا لِلَّهِ وَ اِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
"Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali"

Ayat itu, kata Nuruddin, telah ditafsirkan oleh kaum wujudiyah secara salah, yaitu bahwa alam atau insan itu keluar dari Allah dan akan kembali dan bersatu dengan-Nya. Yang dimaksud "keluar" dan "kembali" itu adalah seperti keluarnya seseorang dari rumahnya, dan kemudian pulang kembali masuk ke rumahnya, dan juga seperti ditamsilkan biji yang keluar dari pohon kayu atau seperti air sungai yang berasal  dari laut dan akan kembali pula bersatu dengan laut.[9]
Syaikh Nuruddin menyanggah penafsiran ayat diatas yang dilakukan oleh kaum wujudiyah bahwa manusia keluar dari Allah dan akan bersatu kembali dengan-Nya. Karena jika demikan, maka Allah itu berjasmani seperti benda bumi ini. Penafsiran yang benar, Kata Nuruddin, adalah yang seperti dikatakan oleh para ahli tafsir: "Kami milik Allah, dan kembali segala pekerjaan kami kepada-Nya jua." Segala amal perbuatan manusia kembali kepada hukum Allah; jika baik, maka ia akan masuk surga, dan jika jahat, ia akan masuk Neraka.[10]
Namun, meskipun demikian, sejalan dengan adanya tradisi masyarkat (Islam) yang menyimpang dari ajaran Islam (bid'ah), maka Nuruddin tergugah untuk mengembalikan ajaran Islam kepada kemurniannya yang disandarkan kepada sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Menurutnya penerapan syari'at Islam tidak dapat diketahui benar, tidaknya kecuali bersumber pada aslinya, yaitu Qur'an dan Hadits, terutama masalah furu', cara-cara beribadah dan muamalah. Oleh karena itu Nuruddin mengumpukan sejumlah hadits dalam karyanya Hidayatul Habib Fit Targhib Wat Tarhib, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu agar penduduk muslim memahaminya secara benar.[11]
Pemikiran-pemikiran Ar-Raniri seperti disinggung sedikit di atas, ternyata mempunyai pengaruh yang besar di seluruh Nusantara, sehingga peranan Nuruddin Ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu-Indonesia tak bisa diabaikan. Dia memainkan peran penting dalam membawa tradisi besar Islam -Sunni- ke wilayah ini dengan menghalangi kecenderungan kuat intrusi tradisi lokal ke dalam Islam. Tanpa mengabaikan peranan ulama-ulama lain sebelumnya, Ar-Raniri merupakan suatu mata rantai sangat kuat, yanmg menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara. Jelas, dia merupakan salah seorang penyebar terpenting pembaruan Islam di Nusantara. Pemikiran Nuruddin Ar-Raniri ini banyak diikuti murid-muridnya, dan muridnya yang paling menonjol di Nusantara adalah Al-Maqassari. Al-Maqassari sendiri secara tegas menyatakan bahwa Ar-Raniri adalah Syaikh dan gurunya.[12] Dan sebagai apresiasi terhadap jasa dan kontribusinya, pemerintah Indonesia mengabadikan namanya dengan pemberian nama perguruan tinggi Islam pertama di Aceh, IAIN Ar-Raniri.[13]
          B.          Abd Al-Rauf Al-Sankili (1024/1615)
Nama lengkapnya adalah Abd al-Ra’uf bin ‘Ali al-Jawi al- Fansuri al-Sinkili. Tahun kelahirannya sekitar 1024/1615 M. dan wafat pada tahun 1693.[14]
Pada saat sebelum keberangkatan Abdur Rauf ke tanah Arab, di Aceh telah terjadi kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin wujudiyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani, dengan Ar-Raniri dan para pengikutnya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Abdur Rauf mengetahui secara persis adanya kontroversi yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan terhadap para pengikut doktrin wujudiyah, dan pembakaran buku-buku karangan Hamzah Fansuri tersebut.[15]
Di tanah Arab, selama 19 tahun Abdur Rauf belajar agama pada tidak kurang dari 15 orang guru, 17 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baitul Faqih dan tempat-tempat lain. (lihat Hurgronje II,1997: 14, dibandingkan dengan Azra, 1995: 191-192). Akan tetapi, yang paling berpengaruh terhadap pemikiran tasawuf Abdur Rauf kelak adalah Ahmad Al-Qusyasyi, guru spiritualnya di Madinah. Dari Al-Qusyasyi, Abdur Rauf mempelajari ilmu-ilmu batin, yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu tarekat lainnya, sampai ia mendapatkan ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Syathariyyah dan Qadiriyah. Setelah Al-Qusyasyi meninggal pada 1660, Abdur Rauf melanjutkan pendidikannya kepada Ibrahim Al-Kurani (w. 1690), dan memperdalam berbagai pengetahuan lainnya, Abdur Rauf menjadi seorang ulama yang mumpuni, baik dalam ilmu-ilmu batin, yakni tasawuf, maupun ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, hadits, dan sebagainya. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdur Rauf kelak, yang sangat menekankan perpaduan antara syari'at dan tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahir dan ilmu batin (keterangan lebih rinci tentang guru-guru Abdur Rauf dan tempat belajarnya.[16]
Abdur Rauf kembali ke Aceh pada sekitar 1661, yaitu setahun setelah Al-Qusyasyi meninggal. Pandangan-pandangan keagamaannya  segera dapat merebut hati sultan Safiyyatuddin, yang saat itu masih memerintah kesultanan Aceh (1645-1675), dan kemudian mengangkatnya sebagai Qadi Malik al-'Adil, atau mufti yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.[17]
Diantara karya-karya al-Sinkili antara lain adalah: Mir’at al-Thullab (fiqih Syafi’i bidang muamalat), Hidayat al-Baligha (fiqih tentang sumpah, kesaksian, peradilan, pembuktian, dan lain-lain), ‘Umdat al-Muhtajin (tasawuf), Syams al-Ma’rifat (tasawuf tentang makrifat), Kifayat al-Muhtajin (tasawuf), Daqa’iq al-Huruf (tasawuf), Turjuman al-Mustafidh (tafsir), dan lain-lan.[18]
Untuk memulai pembahasan mengenai ajaran-ajaran mistisnya, As-Sinkili, dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab Al-Muwahhidin al-Qa'ilin  bi Wahdat al-Wujud, mempertahankan transedensi Tuhan atas Ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat wujudiyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Al-Sinkili berargumen, sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al-‘alam), Dia selalu memikirkan diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-a’yan al-tsabitah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi sumber pola-pola dasar luar (al-a’yan al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Sinkili menyimpulkan, meski al-a’yan al-kharijiyyah merupakan emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri: hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, al-Sinkili menegaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya.[19]    
          C.          Muhammad Yusuf Al-Maqassari (1037/1627)
Syaikh Yusuf Al-Maqassari adalah seorang tokoh sufi yang dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 juli 1629 M. Al-Maqassari dikenal oleh penduduk Makassar, Sulawesi selatan sebagai Tuanta Samalata (guru kami yang mulia).[20]
Dikatakan bahwa sekitar 1644, dia meninggalkan kampung halamannya menuju Makkah. Riwayat setempat menyebutkan bahwa dalam perjalanannya itu dia singgah di Banten kemudian menuju Aceh untuk belajar dengan Syaikh Nur Al-Din Al-Raniri. Tidak jelas apakah dia bertemu Nur Al-Din Al-Raniri atau tidak di Aceh karena  Nur Al-Din Al-Raniri sebenarnya telah kembali ke tanah airnya di Gujarat India pada 1644 tanpa pernah kembali ke Aceh. Jika tidak bertemu di Aceh, mereka agaknya bertemu di Gujarat karena sumber kita menunjukkan bahwa Syaikh Yusuf belajar dengan Nur Al-Din Al-Raniri, bahkan Nur Al-Din Al-Raniri menginisiasi Syaikh Yusuf pada tarekat Qadiriyyah. Tampaknya, Nur Al-Din Al-Raniri juga yang memperkenalkan  Syaikh Yusuf kepada gurunya sendiri, Sayyid Abu Hafsh Umar Abdullah Ba Syaiban, yang dalam sebagian besar masa hidupnya tinggal di Bijapur India.[21]
Syaikh Yusuf kemudian belajar dengan Ba Syaiban untuk beberapa lama sebelum melanjutkan perjalanannya ke Yaman, tempat dia belajar dengan dua orang guru tarekat Naqsyabandiyyah. Kemudian, dia pergi ke Mekkah dan Madinah guna menunaikan ibadah haji, lalu dia memutuskan menetap dan belajar, diantaranya dengan Ibrahim Al-Kurani yang juga menginisiasinya pada tarekat Syathariyyah. Setelah beberapa tahun di Haramain, Syaikh Yusuf melanjutkan studinya di Damaskus, tempat dia juga diinisiasikan pada tarekat Khalwatiyyah sehingga memperoleh gelar Taj Al-Khalwati.[22]
Syaikh Yusuf mengembara sedikitnya 22 tahun dalam mencari ilmu Islam. Pengalaman-pangalamannya dalam mencari berbagai cabang Islam mencerminkan dengan jelas kompleksitas jaringan ulama internasional. Tidaklah mengherankan jika dia menjadi salah satu transmitter paling penting dalam penyebaran gerakan pembaharuan yang dibawa dari timur tengah ke Dunia Melayu-Indonesia pada abad ke-17.[23]
Al-Maqassari meninggal dunia di Tanjung pada 22 Dzulqa’dah 1111/22 Mei 1699 dan dikuburkan di Faure, diperbukitan pasir False Bay. Pusarannya dikemudian hari dikenal sebagai keramat. Tempat itu menjadi titik pusat komunitas melayu-Indonesia, dan tempat terpenting untuk ziarah kaum Muslim di Tanjung, atau seperti yang diungkapkan   Du Plessis, “pusara itu telah menjadi Makkah di Selatan. Beribu-ribu peziarah menghaturkan penghormatan mereka setiap tahun sebagai kenangan terhadap tokoh buangan yang mulia itu.[24]
Syekh Yusuf al-Maqassari, sesudah selesai belajar yang dijalaninya, mulai berjuang sebagai pengajar, ulama’, pengarang, pembimbing tarekat, pemimpin perlawanan terhadap Belanda, pembimbing pengikutnya di pembuangan, pengembang Islam di Afrika Selatan, menyebabkan beliau harus melewati wilayah yang sangat luas mulai dari Sulawesi Selatan, Banten, Pulau Ceylon, dan Tanjung Harapan Afrika Selatan.[25]
Setelah kepulangannya dari Tanah Arab sekitar tahun 1670 M al-Maqassari menetap pertama-tama di Banten. Semula Al-Maqassari hanya ingin singgah di Banten tetapi kondisi Kerajaan Gowa yang telah ditundukkan oleh Kerajaan Bugis Bone yang bekerja sama dengan Belanda pada tahun 1669 telah mengubah rencananya. Al-Maqassari yang sejak sebelum berangkat  ke Arab  telah bersahabat dengan pangeran Surya, dan ketika Pangeran Surya telah menjadi Sultan Ageng Tirtayasa dan Al-Maqassari telah menjadi seorang ulama’ persahabatan itu tetap ingin dipetahankan, terutama oleh Sultan Ageng demi kebesaran Banten sekaligus untuk menghadapi Belanda yang merupakan musuh utamanya. Salah satu cara Sultan Ageng mengikat persahabatan dengan Al-Maqassari adalah dengan mengawinkan al-Maqassari dengan putrinya.[26]
Kehadiran Al-Maqassari menyebabkan nama Banten menjadi lebih terkenal sebagai pusat pendidikan Islam yang menarik para pelajar untuk berdatatangan ke sana dari segala penjuru Nusantara. Di Banten inilah Al-Maqassari menulis kebanyakan  karyanya sehingga menambah kebesaran Banten dan kekhawatiran VOC di Batavia.[27]
Pada tahun 1683  Belanda mengasingkan Al-Maqassari ke Pulau Ceylon (Sri Lanka) untuk memisahkan dari kaum muslimin di Indonesia, namun di sana Al-Maqassari banyak menghasilkan karya-karya. Dengan demikian Sri Lanka justru menjadi tempat translit jama’ah haji Indonesia. Para haji inilah yang membawa dan menyebarkan tulisan-tulisan Al-Maqassari di Nusantara. Karena peranan Al-Maqassari di Sri lanka itu menimbulkan kekhawatiran Belanda, maka mereka memindahkan Al-Maqassari ke tempat yang lebih jauh yaitu Tanjung Harapan, tiba di sana tahun 1694 M ketika itu Al-Maqassari sudah berusia 68 tahun.[28]
Konsep utama tasawuf al-Maqassari adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dengan mengutip surat al-Ikhlas dan ayat Al-qur’an lain yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat diperbandingkan dengan-Nya, Al-Maqassari menekankan keesaaan Tuhan (tauhid), keesaan-Nya tidak terbatas dan mutlak. Tauhid adalah komponen penting dalam ajaran Islam, yang tidak percaya pada tauhid menjadi kafir.[29]
Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, Al-Maqassari membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara mujahadat al-shaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amlan-amalan lahir. Ketiga, cara al-dzikr, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yakni orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin.[30]
Ajaran Syaikh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan di dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali, melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri,  dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.[31] Kemudian Syaikh Yusuf lebih menjalaskan konsepnya bahwa Tuhan beserta dan meliputi hamba-Nya (al-ihathah al-ma’iyah). Ini adalah bagi mereka yang senantiasa berdzikir (mengingat) kepada Allah, terutama mereka yang fana dengan-Nya. Dengan jalan itu, maka Tuhan juga mengingatnya. Lewat ingatan Tuhan dengan ilmu-Nya dan sifat uluhiyat-Nya, maka Tuhan selalu melindungi, dalam arti meliputinya.[32]
Para ahli berbeda pendapat tentang kitab (karya) karangan al-Maqassari. Sebagian ada yang menyebutkan 29 buah, sementara Martin van  Bruinessen menyebutkan 17, antara lain sebagai berikut:
1.    Al-Risalah al-Naqsyabandiyah
2.    Safinah al-Najah
3.    Tuhfah al-Amr fi Fadhilah al-Dzikir
4.    Al-Nafhah al-Saylaniyah
5.    Zubdat al-Asrar
6.    Al-Barakat al-Saylaniyah
7.    Asrar al-ashalah
8.    Bidayat al-Mubtadi
9.    Al-Futuhat al-Rabbani
10.     Habl al-Warid
11.     Kaifiyah al-Mughni
12.     Maktub
13.     Matlab al-Salikin
14.     Qurrat al-ain
15.     Sirr al-Asrar
16.     Taj al-Asrar
17.     Fath al-Kaifiyat al-Dzikr[33]

IV.            ANALISIS
Mengenai wacana tasawuf falsafati di Nusantara agaknya dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada paruh abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syaikh Siti Jenar atas fatwa dari Walisongo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat yang Maha Mutlak.
Nuruddin Ar Raniri merupakan salah satu tokoh pembaharuan yang meluruskan agama Islam dari ajaran Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsumri al Sumatranni yang menurut dia melenceng dari ajaran Al Qur’an dan al hadist. Nuruddin Al Raniri meluruskan ajaran tersebut dan bahkan mengatakan kafir bagi siapa saja yang telah mengamalkan ajaran Wujudiyah itu. Sebagai tokoh pembaharuan dalam Islam terutama di Indonesia, Nuruddin Ar Raniri juga sebagai salah seorang yang mampu memadukan ajaran Islam di Timur Tengah dan di Indonesia. Dengan berbagai pengalaman tentang tasawuf yang digelutinya Sultan Isandar Tsani mamapu terpikat olehnya dan menyetujui keinginan  Ar Raniri untuk membakar buku-buku ajaran tentang Wujudiyah tersebut. Ar Raniri memebrontakkan inti pada ajaran Wujudiyah yaitu Wahdatul Wujud yang mendapat penafsiran salah dari kaum Wujudiyah itu yaitu “kemanunggalan” Tuhan dengan alam. Selain kesesatan bukan hanya pada pengakuan akan kemanunggalan dengan alam bahkan mereka juga telah mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, Nabi Muhammad, Syetan, Anjing dan Babi.
Selain Nuruddin Ar Raniri, Abdur Rauf juga adalah seorang pembaharu dalam Islam di Aceh pada Masa pemerintahan Sultan Safiyyatuddin. Ilmu Tasawuf atau kebatinan yang digelutinya dari Al Qusyasyi beserta ilmu-ilmu lahir dari Al Kunari membuatnya semakin jeli dan tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdur Rauf kelak, yang sangat menekankan perpaduan antara syari'at dan tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahir dan ilmu batin.
Al Maqassari, tokoh pembaharu dalam bidang tasawuf. Konsep utama tasawuf al-Maqassari adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dengan mengutip surat al-Ikhlas dan ayat Al-qur’an lain yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat diperbandingkan dengan-Nya, Al-Maqassari menekankan keesaaan Tuhan (tauhid), keesaan-Nya tidak terbatas dan mutlak. Tauhid adalah komponen penting dalam ajaran Islam, yang tidak percaya pada tauhid menjadi kafir. Menurut Al Maqassari, cara-cara menuju Tuhan ada tiga tingkatan yaitu ; tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), mujahadat al-shaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), al-dzikr.








DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Bandung: Mizan, 2002
_______________,Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana. 2004
Hamid, Abu, Syaikh Yusuf, Jakarta: Obor Indonesia, 2005
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana. 2006
Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka Iman, 2009
Solihin, M. Melacak pemikiran tasawuf di Nusantara. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrapindo Persada. 2007


 


[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2007),  hlm. 186
[2] Ibid., Musyrifah Sunanto,,  hlm. 187
[3]Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 96-98
[4] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 92
[5] Ibid., Sri Mulyati, hlm. 92
[6] Ibid., Sri Mulyati, hlm. 92
[7] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 46
[8] Ibid., M. Solihin, hlm. 48
[9] Ibid., M. Solihin, hlm. 48
[10] Ibid., M. Solihin, hlm. 52
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam  Indonesia, hlm. 298
[12] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, hlm. 56
[13] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Iman, 2009), hlm. 778
[14] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, hlm. 59
[15]Sri Mulyati, Tasawuf  Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 101
[16] Sri Mulyati, Tasawuf  Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 101-102
[17] Sri Mulyati, Tasawuf  Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 102
[18] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 61
[19]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 252
[20] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara,  hlm. 289
[21] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 102
[22] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, hlm. 102-103
[23] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, hlm. 103
[24] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, hlm. 286
[25] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 131
[26] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 131-132
[27] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 132
[28] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 131-133
[29] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, hlm. 134
[30] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, hlm. 295
[31] Abu Hamid, Syaikh Yusuf, (Jakarta: Obor Indonesia, 2005), hlm. 159
[32] Abu Hamid, Syaikh Yusuf, hlm 177
[33] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantar: Rangkaian Mutiara sufi Terkenal, hlm. 141-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar