efek bintang bertaburan pada kurso

Efek Blog

Minggu, 22 Desember 2013

Thaharoh dan Najasah



Thaharoh dan Najasah
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih
    Dosen Pengampu: Kurnia Muhajasah, M.S.I








Disusun Oleh:

Siti Mutmainah                                  (1135110)
Syafi’ Fatmawati Zzahro                  (113511065)
Sri Rusminati                                     (1135110)




FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


I.        PENDAHULUAN
Fiqh merupkan ilmu agama islam yang mengatur tata cara beribadah umat islam dan aturan tentang cara berinteraksi antar sesama manusia (hablum minan-nas) dan hubungan antara manusia dengan tuhannya (hablum minallah) yang harus diketahui dan dipelajari umat islam. Salah satu kajian fiqh ibadah adalah barsuci (thaharah) dan Najasah. Syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat haruslah bersuci dari hadas kecil dan besar terlebih dahulu, serta tempat untuk melakukan ibadah shalat haruslah suci dari Najis. Sebagai seorang muslim pastinya haruslah mengetahui tentang hal-hal yang menyangkut tentang bersuci dan macam-macam najis dan cara mennsucikannya agar ibadah yang dilakukan sesuai dengan syari’at islam.
Berikut ini adalah pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan thaharah dan najasah. Dari mulai pengertian, jenis-jenis, kaifiat, manfa’at, dan ketentuan dari keduanya. 

II.     RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian, fungsi, dan esensi dari thaharah?
B.     Apa pengertian Najasah, jenis-jenis najasah, dan bagaimana cara menyucikannya?
C.     Apa macam-macam thaharah dan bagaimana dalilnya?
D.    Bagaimana kaitannya thaharah dan najasah dalam kehalalan ataupun keharaman makanan dan minuman?

III.  PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Fungsi, dan Esensi dari Thaharah
Thaharah berasal dari bahasa Arab: Thahura, thuhran, thaharatan, yang artinya suci dari kotoran dan najis. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh mengerjakan shalat, seperti wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. [1]
Allah SWT berfirman:
š¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
 “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al Baqarah :222)
Kata thaharah di sini mencakup dua makna bersuci, bersuci secara fisik maupun mental (rohani), yakni orang-orang yang mensucikan diri dari kotoran, hadas, dan dari perbuatan keji dan munkar.[2]
Dalam bersuci (thaharah) ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.        Alat bersuci
2.        Kaifiat (cara) bersuci
3.        Macam-macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan
4.        Benda yang wajib disucikan
5.        Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci[3]
Bersuci dibagi menjadi dua bagian yaitu;
a.       Bersuci dari hadas, bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu dan tayamum.
b.      Bersuci dari najis, bagian ini pada badan, pakaian, dan tempat.[4]
Macam-macam air:
Air yang dapat dipakai bersuci air yang bersih (suci dan mensucikan), yaitu air yang turun dari langit atau yang keluar dari bumi yang belim dipakai untuk bersuci.


Ditinjau dari segi hukumnya, air itu dibagi menjadi empat bagian:
1)        Air suci dan mensucikan, yaitu air mutlak artinya air yang masih murni, dapat digunakan untuk bersuci dengan tidak makruh.
2)        Air suci dan mensucikan tetapi makhruh digunakan, yaitu air musyammas (air yang dipanaskan dengan matahari) di tempat logam yang bukan emas. Air ini makhruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian kecuali air yang berjemur di tanah, seperti air tanah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.[5] 
3)         Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, seperti air musta’mal (yang telah digunakan untuk bersuci) menghilangkan hadas atau najis walaupun tidak berubah warna, rasa, dan baunya.
4)        Air mutanajis, yaitu air yang kena najis (kemasukan najis), sedangkan jumlahnya kurang dari dua kullah, maka air yang semacam ini tidak suci dan tidak dapat mensucikan. Jika lebih dari dua kullah dan tidak berubah sifatnya,maka sah untuk bersuci.
(Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka besarnya = panjang 60 cm dan dalam/tinggi 60 cm.)[6]
الما ء قليل وكثير القليل ما دون القلتين والكثير قلتا ن فا كثر القليل يتنجس بو قوع النجا سة قيه
 و ان لم يتغيير والما ء الكثير لا يتنجس الا ا ذا يتغير طعمه ا و لو نه او ريحه
“ Air itu dibagi menjadi air sedikit dan air yang banyak, air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua kulah sedangkan air yang banyak adalah air yang mencapai banyak dua kulah. Air yang sedikit bisa menjadi najis bila kejatuhan najis kedalamnya sekalipun tidak berubah airnya. Namun,  air yang banyak itu tidak akan menjadi najis asalkan tidak berubah rasanya, warnanya dan baunya.”


Manfaat thaharah ada dua:
1)        Manfaat Jasmani
Pertama, membasuh seluruh tubuh dan semua ruas yang ada dapat menambah kesegaran dan semangat, menghilangkan kelesuan sehingga dapat mengerjakan shalat secara sempurna, khusyuk, dan merasa diawasi oleh Allah.
Kedua, bersuci merupakan rukun sehat jasmani karena kotoran biasanya membawa banyak penyakit dan wabah.
Ketiga,  bersuci berarti memuliakan diri seorang muslim, keluaraga, dan masyarakatnya. Allah SWT misalnya memerintahkan untuk mendatangi masjid dalam keadaan bersih. Allah berfirman: “ Pakailah pakaianmu yang indah setiap kamu memasuki masjid.” (QS. Al-A’raf:31). 
2)        Manfaat Ukhrawi bagi Thaharah Fisik
Pertama, thaharah dapat mengingatkan mereka akan nikmat Allah yang telah menghilangkan kotoran dari diri mereka. Jika mereka sadar bahwa Allah sangat menyukai kebersihan fisik secara sempurna maka hendaklah mereka juga ingat bahwa perintah itu adalah washilah (cara) untuk membersihkan jiwa dan hati, menghiasi akhlak sehingga semua perbuatan menjadi baik.
Kedua, dengan melihat seorang mukmin melaksanakan perintah Allah, beramal shaleh mencari keridlaan, mengerjakan perintah secara sempurna sesuai dengan syari’at yang ada, akan memupuk keimanan, melahirkan rasa diawasi Allah sehingga setiap kali ia melakukan thaharah dengan niat seperti ini akan membuat jiwanya sempurna dalam kesucian, bercita-cita tinggi, ruhiyah meningkat, dan semua perbuatannya akan menjadi baik. Inilah sebabnya mengapa jumhur ulama sepakat bahwa ibadah tidak sah tanpa niat.
Ketiga, kesepakatan seluruh kaum muslimin untuk melakukan thaharah dengan cara dan sebab yang sama di mana pun mereka beradadan berapa pun jumlahnya, serta kesepakatan umat dalam beramal adalah sebab terjalinnya keterpautan antarhati, semakin kompak dalam beramal akan semakin kuat persatuan mereka.[7]
Esensi thaharah yang lengkap bagi seluruh tubuh:
1.    Menghilangkan semua bau busuk (tidak sedap dicium) yang menjadikan tidak nyaman, hal ini tidak disenangi malaikat dan orang yang shalat bersama dalam jama’ah, dan menyebabkan mereka benci (tidak suka)  kepada orang yang berbau busuk tersebut.
2.    Supaya tubuh segar dan jiwa bersemangat. Tidak dapat diragulan lagi, bahwa hubungan antara kebersihan tubuh dan ketentraman jiwa adalah sangat erat. Apabila tubuh dibersihkan setelah mubasyarah (berhubungan intim), maka kembalilah ruh kepada kesegaran dan hilanglah kemalasan dari tubuh.
3.    Memalingkan jiwa dari keadaan bahimiyah kepada malikiyah. Keseimbangan jiwa dengan syahwat jima’ menarik jiwa kepada sifat kebahimiyahan. Apabila terjadi demikian, segerakan mandi (thaharah), maka jiwa akan kembali ke sifat malakiyah.
4.    Mensucikan diri dari hadas dan najis, memberi isyarat agar senantiasa mensucikan jiwa dari dosa dan segala perangai yang keji.[8]
B.     pengertian Najasah, jenis-jenis najasah, dan cara menyucikannya
a.    Pengertan Najasah
Najasah artinya adalah kebersihan atau ketidaksucian. Dalam hukum islam ada dua jenis najasah:[9]
1.         Najasah yang haqiqi atau yang disebut ‘ain najis
Contoh ‘ain najis adalah darah, sementara susu dianggap suci.
2.         Najasah yang ada sebabnya disebut najis
Contoh  jika segelas susu kejatuhan darah maka disebut najis
b.   Benda yang Hakikanya Najis ( a’yan najisah)
Menurut hukum islam, a’yan najisah ada 9 jumlahnya dan terbagi menjadi 4 bagian:[10]
a.          Najis yang ada pada manusia dan hewan:
a)    Air seni dan tinja
Kebanyakan manusia mengkategorikan air seni dan tinja sebagai najis, akan tetapi pada hakikatnya kedua hal tersebut adalah a’yan najisah. Seseorang yang setelah buang air tidak boleh melakukan ibadah shalat dan menyentuh Al-Qur’an walaupun badannya besih dari najis sebelum didahului dengan wudhu.
Syari’at Islam telah menetapkan beberapa aturan tertentu mengenai cara membersihkan diri dari air seni dan tinja.
1.        Setelah selesai buang air kecil, organ kemaluan dapat dibersihkan hanya dengan menuangkan air pada organ tersebut paling sedikit sebanyak 2 kali. Tapi sebaiknya dibersihkan sebanyak 3 kali.
2.        Pada anus, setelah selesai buang air besar dapat dibersihkan dengan air, 3 lembar tisu, tiga lembar kain, atau 3 buah batu.
3.        Bagi laki-laki dianjurkan untuk ber-isibra’ setelah kencing. Ber-istibra’ artinya membersihkan sesuatu atau membuang sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah membuang sisa air seni dari penis. Cara ber-istbra’ adalah mengurut dari dubur/anus sampai pangkal penis dengan jari tengah tangan kiri sebanyak 3 kali, kemudian menekan penis sampai pangkal penis sebanyak 3 kali. Lalu menekan penis dengan ibu jari dan jari telunjuk, mengurut sebanyak tiga kali dari bawah hingga ujung penis, kemudian mengurut ujung penis sebanyak 3 kali.
Manfaat ber-istbra’ adalah jika keluar cairan dari penis setelah kencing dan ia ragu apakah apakah yang keluar tersebut air seni atau cairan lain, maka jia sudah ber-istibra’ ia dapat menganggap cairan itu suci. Tapi jika belum melakukan istibra’, maka ia harus menganggap cairan tersebut najis.
4.        Ketika kencing atau buang air, aurat harus tersembunyi dari pandangan orang.
5.        Sebaiknya tidak menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang air.
Air seni dan kotoran binatang juga adalah najis jika keduanya berasal dari golongan binatang:
i.        Yang dagingnya haram dimakan menurut islam
ii.      Yang darahnya menyembur jika dipotong pembuluh darahnya
b)   Air mani
Air mani juga termasuk ke dalam salah satu ‘ain najis. Kadang-kadang ada suatu ciran selain mani dan air seni dari tubuh laki-laki dan cairan ini bukan najis ada 3 macam:[11]
1)            Madzi; cairan bewarna bening yang keluar dari penis saat orgasme.
2)         Wadzi; cairan yang keluar setelah keluarnya mani.
3)         Wadi; cairan yang keluar setelah buang air kecil
Ketiga cairan tersebut adalah cairan yang tidak najis.
c)    Darah
Darah manusia dan darah binatang yang darahnya menyembur juga merupakan najis. Tapi darah binatang yang darahnya tidak menyembur adalah suci. Darah pada hewan yang disembelih setelah mengeluarkan darah dalam jumlah normal maka darah yang tersisa di dagingnya adalah suci.
d)   Mayat
Mayat seorang muslim menjadi najis setelah suhunya mendingin dan belum dimandikan (ghusl mayyit). Jika suatu bagian dari tubuh manusia yang hidup atau pada binatang yang hidup dipotong, maka potongannya tersebut dianggap najis.
b.          Najis yang ada pada binatang saja
Anjing dan Babi, segala sesuatu yang berasal dari anjing dan babi adalah najis.


c.          Najis pada manusia saja
Orang kafir, Orang kafir adalah orang yang ingkar atau orang yang tidak beriman kepada Allah SWT. Sebagian muslim mencoba menfsirkan kata “najis” dalam arti spiritual semata.
d.         Najis yang terdapat pada minuman
Cairan yang memabukkan, segala sesuatu yang memabukkan adalah najis
Najis jika dilihat dari kejadiannya terbagi menjadi 3:[12]
1.    Keluar dari dubur atau qubul ; kotoran, air kencing, mani.
2.    Keluar dari sluran lain; air liur basi dan muntah.
3.    Benda-benda yang telah ditetapkan hukumnya sebagai najis; darah, nanah, susu dari binatang yang tidak boleh dimakan, arak, anjing, babi, bangkai kecuali bangkai ikan dan belalang.
Pembagian najis berdasarkan tingkatannya:
i.     Najis Mukhaffafah
Najis ringan seperti air kencing anak laki-laki berusia di bawah 2 tahun yang tidak makan makanan lain selain ASI. Cara mensucikan najis mukhaffafah adalah dengan membasuh bagian yang terkena najis lalu dilap, setelah itu memercikkan air di tempat yang terkena najis selanjutnya lap dengan kain kering.
ii.   Najis Mutawassitah
Yakni najis pertengahan, jenis najis ini dibagi menjadi 2 bagian:
a.      Najis ainiyyah
Yakni najis yang berwujud seperti kotoran hewan.
b.      Najis Hukmiyyah
Najis yang tidak berwujud seperti air kencing yang sudah kering.
Cara membersihkan Najis Mutawassitah adalah dengan membuang najis dari tempat yang tekena najis, kemudian membasuh tempat yang terkena najis dengan air mutlak lalu pastikan tempat tersebut telah hilang bau, warna, dan rasa najis tesebut.
iii. Najis Mughallazah
Najis berat seperti najis anjing dan babi. Cara membersihkan Najis Mughallazah adalah dengan membersihkan bagian yang terkena najis dengan membasuh sebanyak 7 kali, pada salah satu basuhan dicampur dengan tanah yang bersih. Air yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak.
iv.  Najis Mafu
Najis yang dimaafkan seperti nanah atau darah yang keluar sedikit, debu atau air kotor yang memercik sendiri dan sukar dihindari.
C.     macam-macam thaharah dan bagaimana dalilnya
            Para ulama’ sepakat bahwa cara bersuci menurut syara’ itu ada 2 macam, yaitu bersuci dari hadast dan bersuci dari najis. Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan tiga cara: wudlu, mandi janabat, atau tayammum yang menjadi ganti dari keduanya. Ketentuan tayammum ini berdasrkan ayat al-Qur’an tentang cara berwudlu. [13]
            Dalil yang menunjukkan diwajibkannya wudlu dari ayat al-Qur’an yakni,
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ
  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs.Al-Maidah, ayat 6).
1.        Wudlu
Secara bahasa wudlu adalah nama untuk membasuh sebagian anggota tubuh. Sedangkan secara istilah yakni, nama yang digunakan untuk membasuh anggota tubuh yang dikhususkan dengan niat khusus.
فُرُوضُ الْوُضُوءِ سِتّةٌ : الأَوَّلُ النِّيَّةُ الثَّانى غّسْلُ الْوَجْهِ, الثالث: غّسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ المِرفَقَيْنِ, الرابع: مَسْحُ الرَّأسِ, الخامس: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَالكَعْبَيْنِ, السادس: التَّرْتِيْبُ.[14]         
Fardlunya wudlu ada 6;  1) niat, 2) membasuh wajah, 3) membasuh kedua tangan hingga/ beserta sikut, 4) mengusap kepala, 5) membasuh kedua kaki beserta mata kakinya dan 6)  urut.
Membasuh khuffain, diperbolehkan mengusap luar khuffain sebagai ganti dari membasuh kedua kaki didalam wudlu untuk orang yang bermuqim/ menginap sehari semalam dan tiga hari tiga malam untuk musafir. Masa dimulainya dari akhirnya hadas setelah memakai tetapi syarat diperbolehkan mmengusap ada 7 yakni;  memakai khuffain ketika suci sempurna (tidak berhadas kecil/ besar), kuat ( sanggup mempertahankan hajatnya sehingga tidak memotong memakai khuf), khuffain mampu mencegah masuknya air dari ghairi alkhorzi, keduanya menghalangi bagi tempat yang fardlu telapak dengan mata kaki dari arah samping dan bawah, tidak berhasil bagi yang memakai khufain dengan hadas besar, tidak nampak sesuatu dari tempat fardlu, dan tidak terurai/ pudar yang terlihat. 
Syarat wudlu diantaranya yaitu; Islam, pintar , suci dari haid dan nifas, tidak adanya barang yang mencegah sampainya air sampai kulit, tidak adanya barang yang merubah air wudlu, mengetahui fardlunya wudlu, tidak berkeyakinan fardlu dari fardlunya sunnah, air suci, Menghilangkan najis ainiyah, mengalirkan air dari seluruh anggota, kekalnya niat secara hukum, tidak menggantungkan niat, masuknya waktu, berulang-ulang kekalnya hadas
Sunnahnya wudlu ada banyak diantaranya; sikat gigi, membaca basmallah, membasuh khuffain, berkumur, menghisap air ke hidung, menyela-nyela, membasuh seluruh kepala, membasuh kedua telinga, menyela-nyela jari-jari kedua tangan dan kaki, bertubi-tubi, mendahulukan anggota kanan, memperpanjang batas basuhan, tempat tumbuhnya rambut, berdo’a setelah wudlu.
Makruhnya wudlu ada banyak diantaranya; meninggalkan mendahulukan anggota kanan, meninggalkan berkumur, menghisap air, menambah dan mengurangi 3 kalian, wudlu dari air yang keruh, berlebihan dalam menuangkan air.
Rusaknya wudlu ada 4;
1)             Keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan kecuali mani
2)             Hilangnya akal kecuali tidurnya orang yang menetapkan duduknya
3)   Pertemuan 2 kulit antara laki-laki dan perempuan yang sudah baligh, tidak semahrom tanpa adanya penghalang
4)   Menyentuh qubulnya anak adam atau duburnya dengan telapak tangan atau dengan jari-jari
Hal-hal yang diharamkan bagi seseorang yang rusak wudlunya yakni, sholat, thowaf, menyentuh al-Qur’an dan membawanya.
2.        Mandi (غسل)
غسل secara bahasa berarti mengalirkan. Secara istilah yakni mengalirkan air keseluruh badan dengan niat khusus.
Yang mewajibkan mandi ada 6; memasukkan hasyafah kedalam farji (jima’), keluarnya mani, haid, nifas, wiladah/ melahirkan dan mati.
Fardlunya mandi ada 2; niat dan membasahi seluruh badan dengan air.
Syaratnya mandi seperti syaratnya wudlu.
Sunnahnya mandi ada banyak diantaranya; Berdiri, menghadap kiblat, wudlu, membaca basmallah, bersungguh-sungguh didalam lipatan tubuh dan menggosok, mengelipatkan 3 kali, mengurutkan kegiatannya; (membasuh telapak tangan kemudian farji, sekitar farji, berkumur, menghisap air, wudlu meneliti lipatan tubuh, mengguyur air dari kepala, mengguyur dari samping sebelah kanan, adbar dari syaq dan aiman, mengguyur anggota depan dari samping kiri lalu adbarnya)
Makruhnya mandi sama dengan makruhnya wudlu.
Mandi-mandi yang disunnahkan ada banyak diantaranya; mandi hari jum’at, mandi 2 hari raya, memandikan mayyit, mandi istisqo’, mandi gerhana bulan dan gerhana matahari, mandinya orang yang masuk islam, mandinya orang yang sehat dari gila dan pingsan, hijamah, masuknya masjid, setiap malamnya ramadhan.
Yang diharamkan atas junub (hadas-hadas besar); shalat, thowaf, menyentuh Al-Qur’an dan mebawanya, berdiam didalam masjid dan membaca Al-Qur’an dengan tujuan membacanya.
D. Kaitannya thaharah dan najasah dalam kehalalan ataupun keharaman makanan dan minuman
Najasah menurut bahasa adalah kotoran dan lawan suci. Sedangkan menurut syara’ yakni yang membatalkan shalat seperti tahi dan kemih.
Fiqh kaitannya dengan halal dan haramnya makanan ataupun minuman, mengenai penetapan hukum ada beberapa para ulama’ yang berbeda pendapat mengenai hukum makanan tertentu. Misalnya saja, mengenai keharaman minuman yang memabukkan, ulama’ kuffah berbeda pendapat dengan ulama’ madinah dan ulama’ lain. Arak yang haram menurut mereka hanya yang terbuat dari inab (buah anggur) saja. Mereka tidak mengharamkan minuman yang memabukkan kalau sedikit, kecuali berasal dari anggur atau dari olahan buah kurma atau kismis yang mentah, atau dari perasan anggur yang dimasak kalau belum hilang duapertiganya.
Diterangkan oleh Ibnu Rusyd bahwa yang dianggap arak oleh ulama kuffah, hanyalah perasan anggur. Semua perasan dari sari kurma haram hukumnya, kalau dimunum hingga memabukkan, yang haram bukan dzat sari kurma, tetapi memabukkannya.
Dalam hal minuman, merngambil pendapat ulama’ madinah dan ulama’ lain sesuai dengan sunnah yang mahsyur diterima dari nabi dan para sahabat yang mengharamkannya, bahkan ahli hadist lebih banyak mengharamkan minuman dari pada ulama’ madinah.
Diantara makanan yang mereka haramkan yakni kuda dan dhab (sejenis biawak) ada juga yang meriwayatkan, bahwa Abu Hanifah hanya memakruhkan saja makanan diatas, demikian juga menurut Ibn Taimiyyah.
Dalam soal makanan, ahli hadist mengambil pendapat ulama’ Kuffah, karena terdapat beberapa sunnah dari Nabi, Karena itu mereka mengharamkan semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang mempunyai cakar dan mereka mengharamkan daging keledai kampung.
Diriwayatkan oleh jama’ah selain Bukhori dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas, ujarnya
D.    نَهَى رَسُولُ الله عَنْ كُلُّ ذِىْ نَا بٍ مِخْلَبٍ مِنَ الَّطيْرِ
“ Rasulullah saw. Mencegah kita (memakan) tiap-tip yang mempunyai taring dari binatang buas dan tiap-tiap burung yang mempunyai cakar.”
          Ahli Hadist menghlalkan dhab (sebangsa biawak). Diriwayatkan oleh jama’ah selain dari at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas dari Khalid bin Walid, bahwa Khalid mengabarkan padanya, bahwa ia masuk beserta Rasulullah ke rumah maimunah. Maka ia temukan seekor dhab yang dipanggang yang diantarkan oleh saudara Maimunah, Hudhairoh binti al-Harsti dari Najed, lalu dhab tersebut di hidangkan kepada Rasulullah. Beliau pun mengambilnya. Ketika itu, salah seorang wanita-wanita yang hadir berkta, terangkan kepada Rasulullah apa yang kamu hidngkan. Mereka berkata: “itu dhab, ya Rasulullah”. Mendengar itu, Rasulullah pun mengangkat tangannya (tidak jadi mengambilnya). Maka Khalid bin Walid berkata: “ apakah dhab haram ya Rasulullah?” Nabi menjawab: ”tidak, hanya saja itu tidak ada di kampungku, karena itu saya tidak menyukainya.” Berkata Khalid “ mendengar perkataan Rasul, saya terus mengambilnya.
Ahli Hadist, diantaranya Ahmad, mengharamkan pasangan anggur dan kurma yang dibiarkan didalam tempayan, walaupun sudah lewat tiga hari dan tidak nyata padanya tanda-tanda yang bisa memabukkan
Pada intinya, tiap-tiap yang suci pada asalnya halal dan tiap-tiap yang najis pada  dasarnya haram. Sebaliknya, tiap-tiap yang halal adalah suci dan tiap-tiap yang haram adalah najis. Akan tetapi, kaedah ini jangan dipandang kaedah muththaridah. Ada juga yang suci tetapi haram seperti racun. Dan ada yang haram tetapi suci seperti emas. Kaum lelaki memakainya haram tetapi tidak memandangnya najis.
IV.  KESIMPULAN
Thaharah adalah mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh mengerjakan shalat, seperti wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Manfaat thaharah ada dua: Manfaat Jasmani dan Manfaat Ukhrawi bagi Thaharah Fisik.
Esensi thaharoh yakni, Menghilangkan semua bau busuk, Supaya tubuh segar dan jiwa bersemangat, Memalingkan jiwa dari keadaan bahimiyah kepada malikiyah, isyarat agar senantiasa mensucikan jiwa dari dosa dan segala perangai yang keji.
Najasah artinya adalah kebersihan atau ketidaksucian. Jenis najis ada Najis Mukhaffafah, Najis Mutawassitah, Najis Mughallazah dan  najis mafu. cara bersuci menurut syara’ itu ada 2 macam, yaitu bersuci dari hadast dan bersuci dari najis. Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan tiga cara: wudlu, mandi janabat, atau tayammum yang menjadi ganti dari keduanya.
Tiap-tiap yang suci pada asalnya halal dan tiap-tiap yang najis pada  dasarnya haram. Sebaliknya, tiap-tiap yang halal adalah suci dan tiap-tiap yang haram adalah najis. Akan tetapi, kaedah ini jangan dipandang kaedah muththaridah. Ada juga yang suci tetapi haram seperti racun. Dan ada yang haram tetapi suci seperti emas. Kaum lelaki memakainya haram tetapi tidak memandangnya najis.
V.     PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah  ini masih memerlukan upaya penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah kami berkutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi  semua.


















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2010. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 
Asy-Syatiri, Sayyid Ahmad Umar . Al-Yaqutu an-Nafis, Al-haramain.
Rasjid, Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridhwi, Sayid Muhammad. 2002. Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani. Jakarta:Lentera
Rifa’i, Moh. 2009. Risalah Tuntunan Shalat. Semarang: Karya Toha Putra.
Rusyd, Ibnu. 1989. Bidayatul Mujtahi: analisa fiqih para mujtahid, Jakarta: pustaka imani
Shalih, Su’ad Ibrahin. 2011. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah.  




[1]  Su’ad Ibrahin Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 83
[2] Su’ad Ibrahin Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 85
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 13
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 13
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 16
[6] Moh Rifa’i, Risalah Tuntunan Shalat, (Semarang: Karya Toha Putra, 2009), hlm. 13
[7] Su’ad Ibrahin Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 86
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 100
[9] Sayid Muhammad Ridhwi,Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani, (Jakarta:Lentera,2002), hlm.18  
[10] Sayid Muhammad Ridhwi,ibid, hlm. 19
[11] Sayid Muhammad Ridhwi,ibid,hlm. 25
[13] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahi: analisa fiqih para mujtahid, pustaka imani (Jakrta: 1989) hal.3  
[14] Sayyid Ahmad Umar Asy-Syatiri, Al-Yaqutu an-Nafis, Al-haramain. Hal 17       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar