Thaharoh dan Najasah
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih
Dosen Pengampu: Kurnia Muhajasah, M.S.I
Disusun Oleh:
Siti Mutmainah (1135110)
Syafi’ Fatmawati Zzahro (113511065)
Sri Rusminati (1135110)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
I.
PENDAHULUAN
Fiqh
merupkan ilmu agama islam yang mengatur tata cara beribadah umat islam dan
aturan tentang cara berinteraksi antar sesama manusia (hablum minan-nas)
dan hubungan antara manusia dengan tuhannya (hablum minallah) yang harus
diketahui dan dipelajari umat islam. Salah satu kajian fiqh ibadah
adalah barsuci (thaharah) dan Najasah. Syarat wajib untuk
melakukan ibadah shalat haruslah bersuci dari hadas kecil dan besar terlebih
dahulu, serta tempat untuk melakukan ibadah shalat haruslah suci dari Najis.
Sebagai seorang muslim pastinya haruslah mengetahui tentang hal-hal yang
menyangkut tentang bersuci dan macam-macam najis dan cara mennsucikannya agar
ibadah yang dilakukan sesuai dengan syari’at islam.
Berikut ini
adalah pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan thaharah dan najasah.
Dari mulai pengertian, jenis-jenis, kaifiat, manfa’at, dan ketentuan dari
keduanya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian, fungsi, dan esensi dari thaharah?
B. Apa pengertian Najasah,
jenis-jenis najasah, dan bagaimana cara menyucikannya?
C. Apa macam-macam thaharah dan
bagaimana dalilnya?
D. Bagaimana kaitannya thaharah dan najasah
dalam kehalalan ataupun keharaman makanan dan minuman?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian, Fungsi, dan Esensi dari Thaharah
Thaharah
berasal dari bahasa Arab: Thahura, thuhran, thaharatan, yang artinya
suci dari kotoran dan najis. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah
mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh mengerjakan shalat, seperti
wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. [1]
Allah SWT
berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al Baqarah
:222)
Kata
thaharah di sini mencakup dua makna bersuci, bersuci secara fisik maupun mental
(rohani), yakni orang-orang yang mensucikan diri dari kotoran, hadas, dan dari
perbuatan keji dan munkar.[2]
Dalam
bersuci (thaharah) ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.
Alat
bersuci
2.
Kaifiat
(cara) bersuci
3.
Macam-macam
dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan
4.
Benda
yang wajib disucikan
5.
Sebab-sebab
atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci[3]
Bersuci dibagi menjadi
dua bagian yaitu;
a. Bersuci dari hadas, bagian ini khusus
untuk badan, seperti mandi, berwudhu dan tayamum.
b. Bersuci dari najis, bagian ini pada
badan, pakaian, dan tempat.[4]
Macam-macam
air:
Air
yang dapat dipakai bersuci air yang bersih (suci dan mensucikan), yaitu air
yang turun dari langit atau yang keluar dari bumi yang belim dipakai untuk
bersuci.
Ditinjau
dari segi hukumnya, air itu dibagi menjadi empat bagian:
1)
Air
suci dan mensucikan, yaitu air mutlak artinya air yang masih murni, dapat
digunakan untuk bersuci dengan tidak makruh.
2)
Air
suci dan mensucikan tetapi makhruh digunakan, yaitu air musyammas (air yang
dipanaskan dengan matahari) di tempat logam yang bukan emas. Air ini makhruh
dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian kecuali air yang
berjemur di tanah, seperti air tanah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan
bejana yang mungkin berkarat.[5]
3)
Air suci tetapi tidak dapat mensucikan,
seperti air musta’mal (yang telah digunakan untuk bersuci) menghilangkan hadas
atau najis walaupun tidak berubah warna, rasa, dan baunya.
4)
Air
mutanajis, yaitu air yang kena najis (kemasukan najis), sedangkan
jumlahnya kurang dari dua kullah, maka air yang semacam ini tidak suci dan
tidak dapat mensucikan. Jika lebih dari dua kullah dan tidak berubah
sifatnya,maka sah untuk bersuci.
(Dua
kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka besarnya = panjang 60 cm
dan dalam/tinggi 60 cm.)[6]
الما ء
قليل وكثير القليل ما دون القلتين والكثير قلتا ن فا كثر القليل يتنجس بو قوع
النجا سة قيه
و ان لم يتغيير والما ء الكثير لا يتنجس الا ا
ذا يتغير طعمه ا و لو نه او ريحه
“ Air itu dibagi menjadi air sedikit dan air yang banyak, air
yang sedikit adalah air yang kurang dari dua kulah sedangkan air yang banyak
adalah air yang mencapai banyak dua kulah. Air yang sedikit bisa menjadi najis
bila kejatuhan najis kedalamnya sekalipun tidak berubah airnya. Namun, air yang banyak itu tidak akan menjadi najis
asalkan tidak berubah rasanya, warnanya dan baunya.”
Manfaat
thaharah ada dua:
1)
Manfaat
Jasmani
Pertama,
membasuh seluruh tubuh dan semua ruas yang ada dapat menambah kesegaran dan
semangat, menghilangkan kelesuan sehingga dapat mengerjakan shalat secara
sempurna, khusyuk, dan merasa diawasi oleh Allah.
Kedua,
bersuci merupakan rukun sehat jasmani karena kotoran biasanya membawa banyak
penyakit dan wabah.
Ketiga,
bersuci
berarti memuliakan diri seorang muslim, keluaraga, dan masyarakatnya. Allah SWT
misalnya memerintahkan untuk mendatangi masjid dalam keadaan bersih. Allah
berfirman: “ Pakailah pakaianmu yang indah setiap kamu memasuki masjid.” (QS.
Al-A’raf:31).
2)
Manfaat
Ukhrawi bagi Thaharah Fisik
Pertama,
thaharah dapat mengingatkan mereka akan nikmat Allah
yang telah menghilangkan kotoran dari diri mereka. Jika mereka sadar bahwa
Allah sangat menyukai kebersihan fisik secara sempurna maka hendaklah mereka
juga ingat bahwa perintah itu adalah washilah (cara) untuk membersihkan
jiwa dan hati, menghiasi akhlak sehingga semua perbuatan menjadi baik.
Kedua,
dengan melihat seorang mukmin melaksanakan perintah
Allah, beramal shaleh mencari keridlaan, mengerjakan perintah secara sempurna
sesuai dengan syari’at yang ada, akan memupuk keimanan, melahirkan rasa diawasi
Allah sehingga setiap kali ia melakukan thaharah dengan niat seperti ini akan
membuat jiwanya sempurna dalam kesucian, bercita-cita tinggi, ruhiyah
meningkat, dan semua perbuatannya akan menjadi baik. Inilah sebabnya mengapa
jumhur ulama sepakat bahwa ibadah tidak sah tanpa niat.
Ketiga,
kesepakatan seluruh kaum muslimin untuk melakukan
thaharah dengan cara dan sebab yang sama di mana pun mereka beradadan berapa
pun jumlahnya, serta kesepakatan umat dalam beramal adalah sebab terjalinnya
keterpautan antarhati, semakin kompak dalam beramal akan semakin kuat persatuan
mereka.[7]
Esensi
thaharah yang lengkap bagi seluruh tubuh:
1.
Menghilangkan
semua bau busuk (tidak sedap dicium) yang menjadikan tidak nyaman, hal ini tidak
disenangi malaikat dan orang yang shalat bersama dalam jama’ah, dan menyebabkan
mereka benci (tidak suka) kepada orang
yang berbau busuk tersebut.
2.
Supaya
tubuh segar dan jiwa bersemangat. Tidak dapat diragulan lagi, bahwa hubungan
antara kebersihan tubuh dan ketentraman jiwa adalah sangat erat. Apabila tubuh
dibersihkan setelah mubasyarah (berhubungan intim), maka kembalilah ruh kepada
kesegaran dan hilanglah kemalasan dari tubuh.
3.
Memalingkan
jiwa dari keadaan bahimiyah kepada malikiyah. Keseimbangan jiwa dengan syahwat
jima’ menarik jiwa kepada sifat kebahimiyahan. Apabila terjadi demikian,
segerakan mandi (thaharah), maka jiwa akan kembali ke sifat malakiyah.
4.
Mensucikan
diri dari hadas dan najis, memberi isyarat agar senantiasa mensucikan jiwa dari
dosa dan segala perangai yang keji.[8]
B. pengertian Najasah, jenis-jenis najasah,
dan cara menyucikannya
a. Pengertan
Najasah
Najasah artinya adalah kebersihan atau ketidaksucian. Dalam hukum
islam ada dua jenis najasah:[9]
1.
Najasah yang haqiqi atau yang disebut ‘ain
najis
Contoh
‘ain najis adalah darah, sementara susu dianggap suci.
2.
Najasah yang ada sebabnya disebut najis
Contoh jika segelas
susu kejatuhan darah maka disebut najis
b. Benda
yang Hakikanya Najis ( a’yan najisah)
Menurut hukum islam, a’yan najisah ada 9 jumlahnya
dan terbagi menjadi 4 bagian:[10]
a.
Najis yang ada pada manusia dan
hewan:
a) Air
seni dan tinja
Kebanyakan
manusia mengkategorikan air seni dan tinja sebagai najis, akan tetapi pada
hakikatnya kedua hal tersebut adalah a’yan najisah. Seseorang yang setelah buang air tidak boleh
melakukan ibadah shalat dan menyentuh Al-Qur’an walaupun badannya besih dari
najis sebelum didahului dengan wudhu.
Syari’at Islam telah menetapkan beberapa aturan tertentu
mengenai cara membersihkan diri dari air seni dan tinja.
1.
Setelah selesai buang air kecil,
organ kemaluan dapat dibersihkan hanya dengan menuangkan air pada organ
tersebut paling sedikit sebanyak 2 kali. Tapi sebaiknya dibersihkan sebanyak 3
kali.
2.
Pada anus, setelah selesai buang air
besar dapat dibersihkan dengan air, 3 lembar tisu, tiga lembar kain, atau 3
buah batu.
3.
Bagi laki-laki dianjurkan untuk ber-isibra’
setelah kencing. Ber-istibra’ artinya membersihkan sesuatu atau membuang
sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah membuang sisa air seni dari penis. Cara
ber-istbra’ adalah mengurut dari dubur/anus sampai pangkal penis dengan
jari tengah tangan kiri sebanyak 3 kali, kemudian menekan penis sampai pangkal
penis sebanyak 3 kali. Lalu menekan penis dengan ibu jari dan jari telunjuk,
mengurut sebanyak tiga kali dari bawah hingga ujung penis, kemudian mengurut
ujung penis sebanyak 3 kali.
Manfaat ber-istbra’ adalah
jika keluar cairan dari penis setelah kencing dan ia ragu apakah apakah yang
keluar tersebut air seni atau cairan lain, maka jia sudah ber-istibra’
ia dapat menganggap cairan itu suci. Tapi jika belum melakukan istibra’,
maka ia harus menganggap cairan tersebut najis.
4.
Ketika kencing atau buang air, aurat
harus tersembunyi dari pandangan orang.
5.
Sebaiknya tidak menghadap atau
membelakangi kiblat ketika buang air.
Air seni dan kotoran binatang juga adalah najis jika
keduanya berasal dari golongan binatang:
i.
Yang dagingnya haram dimakan menurut
islam
ii.
Yang darahnya menyembur jika
dipotong pembuluh darahnya
b) Air
mani
Air mani juga termasuk ke dalam salah satu ‘ain najis.
Kadang-kadang ada suatu ciran selain mani dan air seni dari tubuh laki-laki dan
cairan ini bukan najis ada 3 macam:[11]
1)
Madzi; cairan bewarna bening yang keluar
dari penis saat orgasme.
2)
Wadzi; cairan yang keluar setelah
keluarnya mani.
3)
Wadi; cairan yang keluar setelah buang
air kecil
Ketiga
cairan tersebut adalah cairan yang tidak najis.
c) Darah
Darah manusia dan darah binatang yang darahnya menyembur
juga merupakan najis. Tapi darah binatang yang darahnya tidak menyembur adalah
suci. Darah pada hewan yang disembelih setelah mengeluarkan darah dalam jumlah
normal maka darah yang tersisa di dagingnya adalah suci.
d) Mayat
Mayat seorang muslim menjadi najis setelah suhunya mendingin
dan belum dimandikan (ghusl mayyit). Jika suatu bagian dari tubuh
manusia yang hidup atau pada binatang yang hidup dipotong, maka potongannya
tersebut dianggap najis.
b.
Najis yang ada pada binatang saja
Anjing dan Babi, segala sesuatu yang berasal dari anjing dan
babi adalah najis.
c.
Najis pada manusia saja
Orang kafir, Orang kafir adalah orang yang ingkar atau orang
yang tidak beriman kepada Allah SWT. Sebagian muslim mencoba menfsirkan kata
“najis” dalam arti spiritual semata.
d.
Najis yang terdapat pada minuman
Cairan yang memabukkan, segala sesuatu yang memabukkan
adalah najis
Najis jika dilihat dari kejadiannya terbagi menjadi 3:[12]
1.
Keluar dari dubur atau qubul
; kotoran, air kencing, mani.
2.
Keluar dari sluran lain; air liur
basi dan muntah.
3.
Benda-benda yang telah ditetapkan
hukumnya sebagai najis; darah, nanah, susu dari binatang yang tidak boleh
dimakan, arak, anjing, babi, bangkai kecuali bangkai ikan dan belalang.
Pembagian najis berdasarkan
tingkatannya:
i. Najis Mukhaffafah
Najis ringan seperti air
kencing anak laki-laki berusia di bawah 2 tahun yang tidak makan makanan lain
selain ASI. Cara mensucikan najis mukhaffafah adalah dengan membasuh bagian
yang terkena najis lalu dilap, setelah itu memercikkan air di tempat yang terkena
najis selanjutnya lap dengan kain kering.
ii. Najis Mutawassitah
Yakni najis pertengahan, jenis
najis ini dibagi menjadi 2 bagian:
a. Najis ainiyyah
Yakni
najis yang berwujud seperti kotoran hewan.
b. Najis Hukmiyyah
Najis
yang tidak berwujud seperti air kencing yang sudah kering.
Cara membersihkan Najis
Mutawassitah adalah dengan membuang najis dari tempat yang tekena najis,
kemudian membasuh tempat yang terkena najis dengan air mutlak lalu pastikan
tempat tersebut telah hilang bau, warna, dan rasa najis tesebut.
iii. Najis Mughallazah
Najis berat seperti najis
anjing dan babi. Cara membersihkan Najis Mughallazah adalah dengan
membersihkan bagian yang terkena najis dengan membasuh sebanyak 7 kali, pada
salah satu basuhan dicampur dengan tanah yang bersih. Air yang digunakan untuk
bersuci adalah air mutlak.
iv. Najis Ma’fu
Najis yang dimaafkan seperti
nanah atau darah yang keluar sedikit, debu atau air kotor yang memercik sendiri
dan sukar dihindari.
C. macam-macam thaharah dan
bagaimana dalilnya
Para ulama’ sepakat bahwa cara
bersuci menurut syara’ itu ada 2 macam, yaitu bersuci dari hadast dan bersuci
dari najis. Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan tiga cara: wudlu, mandi
janabat, atau tayammum yang menjadi ganti dari keduanya. Ketentuan tayammum ini
berdasrkan ayat al-Qur’an tentang cara berwudlu. [13]
Dalil yang menunjukkan diwajibkannya
wudlu dari ayat al-Qur’an yakni,
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4
bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4
$tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404]
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs.Al-Maidah, ayat 6).
1.
Wudlu
Secara
bahasa wudlu adalah nama untuk membasuh sebagian anggota tubuh. Sedangkan
secara istilah yakni, nama yang digunakan untuk membasuh anggota tubuh yang
dikhususkan dengan niat khusus.
فُرُوضُ الْوُضُوءِ سِتّةٌ : الأَوَّلُ النِّيَّةُ الثَّانى غّسْلُ الْوَجْهِ, الثالث: غّسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ المِرفَقَيْنِ, الرابع: مَسْحُ الرَّأسِ, الخامس: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَالكَعْبَيْنِ, السادس: التَّرْتِيْبُ.[14]
Fardlunya
wudlu ada 6; 1) niat, 2) membasuh wajah,
3) membasuh kedua tangan hingga/ beserta sikut, 4) mengusap kepala, 5) membasuh
kedua kaki beserta mata kakinya dan 6)
urut.
Membasuh
khuffain, diperbolehkan mengusap luar khuffain sebagai ganti dari membasuh
kedua kaki didalam wudlu untuk orang yang bermuqim/ menginap sehari semalam dan
tiga hari tiga malam untuk musafir. Masa dimulainya dari akhirnya hadas setelah
memakai tetapi syarat diperbolehkan mmengusap ada 7 yakni; memakai khuffain ketika suci sempurna (tidak
berhadas kecil/ besar), kuat ( sanggup mempertahankan hajatnya sehingga tidak
memotong memakai khuf), khuffain mampu mencegah masuknya air dari ghairi alkhorzi,
keduanya menghalangi bagi tempat yang fardlu telapak dengan mata kaki dari arah
samping dan bawah, tidak berhasil bagi yang memakai khufain dengan hadas besar,
tidak nampak sesuatu dari tempat fardlu, dan tidak terurai/ pudar yang
terlihat.
Syarat
wudlu diantaranya yaitu; Islam, pintar , suci dari haid dan nifas, tidak adanya
barang yang mencegah sampainya air sampai kulit, tidak adanya barang yang
merubah air wudlu, mengetahui fardlunya wudlu, tidak berkeyakinan fardlu dari
fardlunya sunnah, air suci, Menghilangkan najis ainiyah, mengalirkan air dari
seluruh anggota, kekalnya niat secara hukum, tidak menggantungkan niat,
masuknya waktu, berulang-ulang kekalnya hadas
Sunnahnya
wudlu ada banyak diantaranya; sikat gigi, membaca basmallah, membasuh khuffain,
berkumur, menghisap air ke hidung, menyela-nyela, membasuh seluruh kepala,
membasuh kedua telinga, menyela-nyela jari-jari kedua tangan dan kaki,
bertubi-tubi, mendahulukan anggota kanan, memperpanjang batas basuhan, tempat
tumbuhnya rambut, berdo’a setelah wudlu.
Makruhnya
wudlu ada banyak diantaranya; meninggalkan mendahulukan anggota kanan,
meninggalkan berkumur, menghisap air, menambah dan mengurangi 3 kalian, wudlu
dari air yang keruh, berlebihan dalam menuangkan air.
Rusaknya
wudlu ada 4;
1)
Keluarnya
sesuatu dari salah satu dua jalan kecuali mani
2)
Hilangnya
akal kecuali tidurnya orang yang menetapkan duduknya
3)
Pertemuan
2 kulit antara laki-laki dan perempuan yang sudah baligh, tidak semahrom tanpa
adanya penghalang
4)
Menyentuh
qubulnya anak adam atau duburnya dengan telapak tangan atau dengan jari-jari
Hal-hal
yang diharamkan bagi seseorang yang rusak wudlunya yakni, sholat, thowaf,
menyentuh al-Qur’an dan membawanya.
2.
Mandi
(غسل)
غسل secara bahasa berarti mengalirkan. Secara
istilah yakni mengalirkan air keseluruh badan dengan niat khusus.
Yang
mewajibkan mandi ada 6; memasukkan hasyafah kedalam farji (jima’), keluarnya
mani, haid, nifas, wiladah/ melahirkan dan mati.
Fardlunya
mandi ada 2; niat dan membasahi seluruh badan dengan air.
Syaratnya
mandi seperti syaratnya wudlu.
Sunnahnya
mandi ada banyak diantaranya; Berdiri, menghadap kiblat, wudlu, membaca
basmallah, bersungguh-sungguh didalam lipatan tubuh dan menggosok, mengelipatkan
3 kali, mengurutkan kegiatannya; (membasuh telapak tangan kemudian farji,
sekitar farji, berkumur, menghisap air, wudlu meneliti lipatan tubuh, mengguyur
air dari kepala, mengguyur dari samping sebelah kanan, adbar dari syaq dan
aiman, mengguyur anggota depan dari samping kiri lalu adbarnya)
Makruhnya
mandi sama dengan makruhnya wudlu.
Mandi-mandi
yang disunnahkan ada banyak diantaranya; mandi hari jum’at, mandi 2 hari raya,
memandikan mayyit, mandi istisqo’, mandi gerhana bulan dan gerhana matahari,
mandinya orang yang masuk islam, mandinya orang yang sehat dari gila dan
pingsan, hijamah, masuknya masjid, setiap malamnya ramadhan.
Yang
diharamkan atas junub (hadas-hadas besar); shalat, thowaf, menyentuh Al-Qur’an
dan mebawanya, berdiam didalam masjid dan membaca Al-Qur’an dengan tujuan membacanya.
D.
Kaitannya thaharah dan najasah dalam kehalalan ataupun keharaman
makanan dan minuman
Najasah
menurut bahasa adalah kotoran dan lawan suci. Sedangkan menurut syara’ yakni yang
membatalkan shalat seperti tahi dan kemih.
Fiqh
kaitannya dengan halal dan haramnya makanan ataupun minuman, mengenai penetapan
hukum ada beberapa para ulama’ yang berbeda pendapat mengenai hukum makanan
tertentu. Misalnya saja, mengenai keharaman minuman yang memabukkan, ulama’
kuffah berbeda pendapat dengan ulama’ madinah dan ulama’ lain. Arak yang haram
menurut mereka hanya yang terbuat dari inab (buah anggur) saja. Mereka
tidak mengharamkan minuman yang memabukkan kalau sedikit, kecuali berasal dari
anggur atau dari olahan buah kurma atau kismis yang mentah, atau dari perasan
anggur yang dimasak kalau belum hilang duapertiganya.
Diterangkan
oleh Ibnu Rusyd bahwa yang dianggap arak oleh ulama kuffah, hanyalah perasan
anggur. Semua perasan dari sari kurma haram hukumnya, kalau dimunum hingga
memabukkan, yang haram bukan dzat sari kurma, tetapi memabukkannya.
Dalam
hal minuman, merngambil pendapat ulama’ madinah dan ulama’ lain sesuai dengan
sunnah yang mahsyur diterima dari nabi dan para sahabat yang mengharamkannya,
bahkan ahli hadist lebih banyak mengharamkan minuman dari pada ulama’ madinah.
Diantara
makanan yang mereka haramkan yakni kuda dan dhab (sejenis biawak) ada
juga yang meriwayatkan, bahwa Abu Hanifah hanya memakruhkan saja makanan
diatas, demikian juga menurut Ibn Taimiyyah.
Dalam
soal makanan, ahli hadist mengambil pendapat ulama’ Kuffah, karena terdapat
beberapa sunnah dari Nabi, Karena itu mereka mengharamkan semua binatang buas
yang bertaring, semua burung yang mempunyai cakar dan mereka mengharamkan
daging keledai kampung.
Diriwayatkan oleh jama’ah selain Bukhori dan
Tirmidzi dari Ibnu Abbas, ujarnya
D. نَهَى رَسُولُ الله عَنْ كُلُّ ذِىْ نَا بٍ مِخْلَبٍ مِنَ الَّطيْرِ
“ Rasulullah
saw. Mencegah kita
(memakan) tiap-tip yang mempunyai taring dari binatang buas dan tiap-tiap burung yang mempunyai cakar.”
Ahli Hadist menghlalkan dhab
(sebangsa biawak). Diriwayatkan oleh jama’ah selain dari at-Tirmidzi dari Ibnu
Abbas dari Khalid bin Walid, bahwa Khalid mengabarkan padanya, bahwa ia masuk
beserta Rasulullah ke rumah maimunah. Maka ia temukan seekor dhab yang
dipanggang yang diantarkan oleh saudara Maimunah, Hudhairoh binti al-Harsti
dari Najed, lalu dhab tersebut di hidangkan kepada Rasulullah. Beliau
pun mengambilnya. Ketika itu, salah seorang wanita-wanita yang hadir berkta,
terangkan kepada Rasulullah apa yang kamu hidngkan. Mereka berkata: “itu dhab,
ya Rasulullah”. Mendengar itu, Rasulullah pun mengangkat tangannya (tidak jadi
mengambilnya). Maka Khalid bin Walid berkata: “ apakah dhab haram ya
Rasulullah?” Nabi menjawab: ”tidak, hanya saja itu tidak ada di kampungku,
karena itu saya tidak menyukainya.” Berkata Khalid “ mendengar perkataan Rasul,
saya terus mengambilnya.
Ahli
Hadist, diantaranya Ahmad, mengharamkan pasangan anggur dan kurma yang
dibiarkan didalam tempayan, walaupun sudah lewat tiga hari dan tidak nyata
padanya tanda-tanda yang bisa memabukkan
Pada
intinya, tiap-tiap yang suci pada asalnya halal dan tiap-tiap yang najis
pada dasarnya haram. Sebaliknya,
tiap-tiap yang halal adalah suci dan tiap-tiap yang haram adalah najis. Akan
tetapi, kaedah ini jangan dipandang kaedah muththaridah. Ada juga yang suci
tetapi haram seperti racun. Dan ada yang haram tetapi suci seperti emas. Kaum
lelaki memakainya haram tetapi tidak memandangnya najis.
IV. KESIMPULAN
Thaharah
adalah mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh mengerjakan shalat,
seperti wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Manfaat thaharah ada
dua: Manfaat Jasmani dan Manfaat Ukhrawi bagi Thaharah Fisik.
Esensi
thaharoh yakni, Menghilangkan semua bau busuk, Supaya tubuh segar dan jiwa
bersemangat, Memalingkan jiwa dari keadaan bahimiyah kepada malikiyah, isyarat
agar senantiasa mensucikan jiwa dari dosa dan segala perangai yang keji.
Najasah artinya adalah kebersihan atau
ketidaksucian. Jenis najis ada Najis Mukhaffafah, Najis
Mutawassitah, Najis Mughallazah dan
najis ma’fu. cara
bersuci menurut syara’ itu ada 2 macam, yaitu bersuci dari hadast dan bersuci
dari najis. Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan tiga cara: wudlu, mandi
janabat, atau tayammum yang menjadi ganti dari keduanya.
Tiap-tiap
yang suci pada asalnya halal dan tiap-tiap yang najis pada dasarnya haram. Sebaliknya, tiap-tiap yang
halal adalah suci dan tiap-tiap yang haram adalah najis. Akan tetapi, kaedah
ini jangan dipandang kaedah muththaridah. Ada juga yang suci tetapi haram
seperti racun. Dan ada yang haram tetapi suci seperti emas. Kaum lelaki
memakainya haram tetapi tidak memandangnya najis.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih memerlukan upaya
penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah kami berkutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2010. Kuliah
Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Asy-Syatiri, Sayyid Ahmad Umar . Al-Yaqutu
an-Nafis, Al-haramain.
Rasjid,
Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridhwi,
Sayid Muhammad. 2002. Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani. Jakarta:Lentera
Rifa’i, Moh.
2009. Risalah Tuntunan Shalat. Semarang: Karya Toha Putra.
Rusyd, Ibnu. 1989. Bidayatul Mujtahi:
analisa fiqih para mujtahid, Jakarta: pustaka imani
Shalih,
Su’ad Ibrahin. 2011. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah.
http://inspirasiinformasi.blogspot.com/2011/12/jenis-jenis-najis-dalam-islam-dan-cara.html.
23 september 2013, pukul
21.30
[1] Su’ad Ibrahin
Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 83
[2] Su’ad Ibrahin Shalih, Fiqh Ibadah Wanita,
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 85
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013), hlm. 13
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013), hlm. 13
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013), hlm. 16
[6] Moh Rifa’i, Risalah Tuntunan Shalat,
(Semarang: Karya Toha Putra, 2009), hlm. 13
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah
Ibadah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar