efek bintang bertaburan pada kurso

Efek Blog

Minggu, 22 Desember 2013

SHALAT PART 2



SHALAT PART 2
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh
Dosen Pengampu : Kurnia Muhajarah, M.S.I


 
Oleh :
Feny Indaryani                        (113511044) 
Luthfiyatul Hiqmah                (113511048)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN  WALISONGO SEMARANG
2013



I.          PENDAHULUAN
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak. Shalat juga dapat dijadikan barometer amal-amal lain seperti diungkapkan dalam sebuah hadits:
اول ما يحسب يوم القيامة الصلاة
“Hal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat”.
shalat  merupakan pondasi utama bagi tegaknya agama islam atau keislaman seseorang. Dengan demikian tidaklah dapat di katakan seseorang beragama islam jika yang bersangkutan tidak melakukan shalat, sebelum melakukan shalat kita harus mengetahui pengertian, hukum-hukum dan syarat-syarat shalat yang akan kita kerjakan.
Berjamaah sangat di anjurkan, karena dengan berjamaah, apabila shalat kita ada yang kurang sempurna, maka akan tertutupi dengan berjamaah itu. Shalat berjamaah termasuk salah satu keistimewaan yang di berikan dan di syariatkan secara khusus bagi umat islam.
                                                                                                                             
II.          RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana kaifiah shalat munfarid dan jama’ah?
B.  Bagaimana perpautan bacaan dan gerakan shalat makmum dan imam?
C.  Bagaimana urutan shaf dalam shalat jama’ah?
D.  Bagaimana landasan hukum dan tata cara shalat qadha dan jama’?
E.   Apa saja persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan shalat?

III.        PEMBAHASAN
A.  Kaifiah Shalat Munfarid dan Jama’ah
1.    Pengertian Sholat Munfarid dan Berjama’ah
Menurut bahasa, munfarid artinya sendirian. Shalat munfarid adalah shalat fardhu atau shalat sunnah yang dilaksanakan sendirian.
Kata jama’ah diambil dari kata ‘al ijtima’ yang berarti kumpul.[1]Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan salah seorang menjadi imam sedangkan yang lain mengikutinya atau menjadi makmumnya. Hukum shalat berjama’ah adalah yaitu sunnah muakkad perbuatan yang dianjurkan dengan nilai yang tinggi.[2]Banyak hadis yang menerangkan keutamaan shalat jama’ah, diantaranya yaitu sabda Rasulullah saw:
عن ابن عمر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبح و عشرين درجة
Artinya : ”Dari Ibnu Umar. Ia brkata bahwa rasulullah saw telah bersabda, kebaikan shalat berjama’ah melebihi shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2.    Syarat Sah Shalat Jama’ah
Syarat-syarat berjama’ah dapat dikategorikan menjadi dua, syarat yang berhubungan dengan imam dan syarat yang berhubungan dengan makmum.[3]
a.    syarat yang berhubungan dengan imam :
1)   Islam
2)   Akil
3)   Baligh
4)   Laki-laki
5)   Imam haruslah orang yang mampu membaca Al-Qur’an dengan baik
b.    syarat yang berhubungan dengan makmum :
1)   Posisi makmum tidak berada di depan imam.
2)   Makmum nengetahui gerakan imam.
3)   Makmum dan imam berkumpul di satu tempat dalam satu masjid.
4)   Niat bermakmum atau berjama’ah kepada imam.
5)   Gerakan makmum harus sejalan dengan imam baik dalam hal melakukan atau meninggalkan sunnah yang mempunyai bentuk yang sangat berbeda.
6)   Mengikuti gerakan imam.[4]

B.  Perpautan Bacaan dan Gerakan Shalat Makmum dan Imam
1.    Gerakan Ma’mum
Kalau ia dapat mengikuti ruku’nya maka dihitung telah mengikuti Gerakan-gerakan shalat makmum semenjak takbiratul ihram sampai dengan selesai selalu mengikuti gerakan-gerakan shalat imam, dan tidak boleh mendahuluinya.
Apabila seorang mendapatkan imam, masih mengerjakan shalat hendaklah ia langsung takbiratul ihram mengikuti shalatnya, apapun yang sedang dilakukan imam.rakaat yang sedang dilakukan itu. Kemudian apabila imam telah selesai shalat, dan makmum yang datang terlambat belum sempurna bilangan rakaatnya maka ia harus berdiri dan bertakbir untuk  menyelesaikan kekurangannya. [5]
Dalam sholat subuh, makmum masbuq(yang tertinggal satu atau dua rakaat) mengulangi bacaan qunut pada rakaat terakhir.
apabila makmum masbuq menempati satu rakaat sholat magrib bersama imam, dia dianjurkan bertasyahud pada rakaat kedua, karena itu tempat melaksanakan tasyahud awal.[6]
2.    Bacaan Makmum
Dalam shalat jama’ah, ketika imam membaca ayat atau surat dengan suara keras, makmum tidak usah membacanya, melainkan mendengarkannya. Sedangkan mengenai bacaan surat Al Fatihah bagi makmum, menurut Imam Syafi’i makmum harus membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik dikala imam membaca surat Al Fatihah dengan suara keras maupun pelan-pelan. Waktu membaca surat Al Fatihah bagi makmum, yaitu ketika imam berhenti sebentar setelah membaca surat Al Fatihah. Demikian pula mengenai bacaan Sami’allahu lliman Hamidah, ketika bangun dari ruku’ makmum juga membacanya.
Apabila terjadi kekeliruan pada perbuatan atau bacaan imam, hendaklah makmum mengingatkan untuk perbuatan imam yang keliru dengan mengucapkan tasbih bagi makmum laki-laki dan bertepuk tangan bagi makmum wanita. Apabila imam keliru dalam bacaan hendaklah makmum mengingatkan pada yang benar.[7]
C.  Urutan Shaf dalam Shalat Jama’ah
Jika dalam shalat jama’ah makmum hanya seorang , maka ia berdiri disebelah belakang kanan imam, dan jika lebih dari seorang maka berbaris dibelakang imam  sehingga imam di depan tengah shaf mereka. Shaf hendaknya dirapatkan dan diratakan sehingga jangan membuat shaf baru sebelum shaf didepan dipenuhi.[8]
Untuk kaum wanita yang menjadi makmum disunnahkan berdiri di belakang imam atau di belakang para makmum laki-laki apabila terdapat seorang laki-laki selain imam.[9] Para wanita tidak boleh menjadi satu shaf dengan kaum laki-laki. Apabila makmumnya terdiri dari laki-laki, anak-anak dan para wanita, maka laki-laki menempati shaf yang depan. Kemuadian anak-anak dan yang belakang adalah shaf wanita. Dalam hadis dari Annas diterangkan bahwa Rasulullah bersabda :
آتمّوا الصّفّ المقدّم ثمّ الّذي يليه فما كان من نقص فليكن في الصّفّ المؤخر
Artinya : “sempurnakanlah dulu shaf yang terdepan, baru kemudian shaf berikutnya,jika memang ada yang kurang,maka hendaklah itu pada shaf terakhir (paling belakang)”. (HR. Abu Daud, An Nasa’i dan Al Baihaqi)
D.  Landasan Hukum dan Tata Cara Shalat Qadha dan Jama’
1.    Landasan Hukum Shalat Qadha
a.    Pengertian dan Landasan Hukum Shalat Qadha
Sholat Qadha adalah shalat yang terlewat waktunya dari si mushalli (orang yang shalat) dan meniscayakan pelaksanaannya diluar waktu yang telah ditentukan, baik terlewatnya karena adanya udhur maupun tidak.
Dasar hukum syara’ yang melandasi aktivitas mengqadha shalat yang terlewatkan adalah laporan Abu Qatadah bahwasanya beberapa sahabat melaporkan kepada Nabi saw. telah ketiduran sehingga tertinggal shalat.[10] Beliau bersabda :
انّه ليس في النّوم تفريط في اليقظة فإذا نسي احدكم صلاة او نام عنها فليصلّها إذا ذكرها
Artinya : “ sesungguhnya tidak ada kelalalaian yang disengaja dalam tidur akan tetapi, kelalaian hanya dalam kondisi sadar. Karena itu jika salah seorang kalian lupa solat atau ketiduran hanya terlewat hingga terlewat waktu solat, maka hendaklah ia menunaikannya begitu ia ingat”. (HR.Muslim, An-Nasa’i, Abu Daud, Imam ahmad dan Abu Awanah).
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa hukum mengqadha shalat adalah wajib.


b.    Tata Cara Shalat Qadha
Solat qadha dengan solat ada’ tata caranya tidak berbeda. Ada perselisihan oleh para ulama’ tentang waktunya.
Menurut imam Malik dan pengikutnya, diqadha menurut standar waktu pada saat meninggalkan solat. Bukan standar waktu teringatnya. Dengan kata lain pada saat dirumah solat yang ditinggalkan 4 rakaat maka ketika teringat pada saat bepergian jauh qadhanya tetap 4 rakaat, sebaliknya apabila yang ditinggalkan adalah 4 rakaat saat bepergiaan jauh maka saat teringat sampai di rumah boleh diqadha dengan 2 rakaat qashar.
Menurut imam syafi’i diqadha menurut standar sholat yang normal yakni solat orang yang tidak bepergian jauh, tidak boleh menggunakan standar qashar walaupun shalat tersebut ditinggal saat bepergian jauh.[11]
2.    Landasan Hukum Shalat Jama’
a.    Pengertian dan Landasan Hukum Shalat Jama’
Shalat Jama’ artinya shalat yang dikumpulkan. Yang dimaksudkan adalah dua shalat fardhu yang lima itu, dikerjakan dalam satu waktu.[12] Misalnya shalat dzuhur dengan ashar dilaksanakan pada waktu shalat dzuhur saja atau shalat ashar saja dan shalat magrib dengan shalat isya’ dilaksanakan pada waktu shalat maghrib atau isya’ saja.
Hukum shalat jama’ ini “boleh” bagi orang yang dalam perjalanan dengan syarat :
1)   Perjalanan yang dilakukan itu bukan perjalanan maksiat (terlarang), seperti pergi haji, silaturrahmi; atau berniaga dan sebagainya
2)   Perjalanan itu berjarak jauh, sekurang-kurangnya 80.640 km atau lebih (perjalanan sehari-semalam)
3)   Shalat yang dijama’ ialah shalat ada’an(tunai), bukan shalat qadha
4)   Berniat jama’ ketika takbiratul ihram[13]
b.    Jama’ Taqdim (Dahulu) dan Jama’ Ta’khir (Terkemudian)
1)   Jama’ Taqdim
Artinya shalat dzuhur dan ashar yang dikerjakan diwaktu dzuhur, shalat magrib dan isya’ yang dikerjakan diwaktu magrib.
Syarat Jama’ Taqdim :
a)    Hendaklah dimulai dengan shalat yang pertama(dzuhur sebelum ashar, magrib sebelum isya’) karena waktunya adalah waktu yang pertama.
b)   Berniat jama’ agar berbeda dari shalat yang terdahulu karena lupa
c)    Berturut-turut, sebab keduanya seolah-olah satu shalat[14]
2)   Jama’ Ta’khir
Artinya shalat dzuhur dan ashar yang dikerjakan diwaktu ashar, shalat magrib dan isya’ yang dikerjakan diwaktu isya’ .
Syarat Jama’ Ta’khir : pada waktu yang pertama hendaklah berniat akan melakukan shalat pertama itu di waktu yang kedua, supaya ada maksud bersungguh-sungguh akan mengerjakan shalat pertama itu dan tidak ditinggalkan begitu saja.
E.  Persoalan-Persoalan yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Shalat
1.    Mengulang Shalat dengan Berjama’ah
Mayoritas ahli fikih berpandangan orang yang melakukan shalat fardhu sendirian dengan tidak berjama’ah kemudian dia mendapati shalat berjamaah, maka ia boleh mengulang shalatnya secara berjamaah untuk mendapatkan keutamaan jamaah. Adapun orang yang sudah melakukan shalat fardhu secara berjamaah meskipun jamaahnya sedikit, maka ia tidak boleh mengulanginya lagi dengan ikut shalat jamaah baik jamaah yang ada lebih sedikit maupun banyak.[15]
2.    Kerusakan Shalat Imam Mengakibatkan Kerusakan Shalat Makmum
Kalangan fuqaha sepakat bahwa, jika imam tertimpa hadas dalam shalat  dan mengambil keputusan menghentikan sholat, maka shalat makmum tidak batal. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai imam yang mengimami dalam keadaan junub, dan makmum mengetahui situasi itu setelah usai salat. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa salat makmum tetap sah, sedangkan fuqaha lainnya menganggap batal. Bahkan ada fuqaha yang membedakan apakah keadaan junub itu disadari oleh imam atau imam itu lupa. Apabila imam menyadari itu, mereka berpendapat shalat makmum batal. Sebaliknya, apabila keadaan itu tidak disadari, maka solat makmum dianggap sah.[16]
3.    Memutus Shalat dan Udzur-Udzur yang Membolehkannya
Membatalkan shalat tanpa udzur merupakan tindakan haram, akan tetapi jika terdapat udzur maka tidak haram hukumnya membatalkan shalat. Bahkan jika memang udzur tersebut harus dilakukan maka membatalkan shalat menjadi wajib, misalnya membatalkan shalat untuk mengeluarkan mushaf yang tergeletak di tempat najis, atau menyelamatkan orang buta yang akan jatuh ke dalam lubang.
Bagi wanita, ia diperbolehkan membatalkan shalat sunnahnya untuk memenuhi hak suaminya. Disunnakan juga membatalkan shalat fardhu karena mendapatkan shalat jama’ah.[17]


4.    Bacaan Shalat Munfarid Disusul Seorang Makmum
Suatu ketika saya sedang shalat wajib secara munfarid, pada saat membaca surah pendek, menyusul seseorang yang makmum kepada saya. Apakah saya harus membaca surah itu secara zahir (suara yang terdengar) mulai dari Al-Fatihah atau hanya membaca surah yang tersisa itu ? Terima kasih.
Jawaban : Membaca dengan suara yang terdengar pada shalat Subuh, Magrib, dan Isya, baik sendirian mapun berjamaah hukumnya tidak wajib, tetapi sunnah.
Karena itu, dalam kasus di atas Anda tidak perlu mengulangi bacaan Anda karena adanya makmum. Anda dapat melanjutkan shalat Anda sebagai imam tanpa harus mengeraskan suara Anda. Demikian,  Wa Allah A’lam.[18]
IV.          KESIMPULAN
A.  Kaifiah Shalat Munfarid dan Jama’ah
Shalat munfarid adalah shalat fardhu atau shalat sunnah yang dilaksanakan sendirian. Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan salah seorang menjadi imam sedangkan yang lain mengikutinya atau menjadi makmumnya. Hukum shalat berjama’ah adalah yaitu sunnah muakkad.
B.  Perpautan Bacaan dan Gerakan Shalat Makmum dan Imam
Gerakan-gerakan shalat makmum semenjak takbiratul ihram sampai dengan selesai selalu mengikuti gerakan-gerakan shalat imam, dan tidak boleh mendahuluinya. Ketika imam membaca ayat dengan suara keras, makmum tidak usah membacanya, melainkan mendengarkannya. Sedangkan mengenai bacaan surat Al Fatihah bagi makmum, harus membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat.
C.  Urutan Shaf dalam Shalat Jama’ah
Jika dalam shalat jama’ah makmum hanya seorang , maka ia berdiri disebelah belakang kanan imam, dan jika lebih  maka berbaris dibelakang imam  sehingga imam di depan tengan shaf mereka. Makmumnya laki-laki menempati shaf yang depan. Kemuadian anak-anak dan yang belakang adalah shaf wanita.
D.  Landan Hukum dan Tata Cara Shalat Qadha dan Jama’
1.      Landasan Hukum Shalat Qadha
Sholat Qadha adalah shalat yang terlewat waktunya dari si mushalli (orang yang shalat) dan meniscayakan pelaksanaannya diluar waktu yang telah ditentukan, baik terlewatnya karena adanya udhur maupun tidak
2.      Landasan Hukum Shalat Jama’
Shalat Jama’ artinya shalat yang dikumpulkan. Yang dimaksudkan adalah dua shalat fardhu yang lima itu, dikerjakan dalam satu waktu. Hukum shalat jama’ ini “boleh” bagi orang yang dalam perjalanan dengan syarat :
a.    Perjalanan yang dilakukan itu bukan perjalanan maksiat
b.    Perjalanan itu berjarak jauh
c.    Berniat jama’ ketika takbiratul ihram

V.            PENUTUP
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari dalam makalah ini masih ada kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah. 2010
Abdurraziq, Mahir Mansur. Mu’jizat Shalat Berjama’ah. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2007
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqih Jilid 1. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. 1993
Hadhoromi, Syeikh Salim Bin Samirul. Matan Safinatun Najah. Semarang: Pustaka Alawiyah
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo. 2013
Rusyad, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani. 2002
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana. 2003
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i.Jakarta: Almahira. 2010
http://jalmilaip.wordpress.com/2012/02/12/membaca-bacaan-shalat-dengan-suara-yang-terdengar/ 2-10-2013 pukul 13.25 WIB. Sumber : Quraish Shihab Menjawab ,  Dialog Jumat, Republika, Jumat, 24 Oktober 2003 /  28 Sya’ban 1424 H.



[1] Mahir Mansur Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), hlm. 66
[2]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 31
[3] Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqih Ibadah,  (jakarta: Amzah,2010), hlm. 245
[4] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 336-338
[5] Zakiah daradjat, Ilmu Fiqih Jilid 1, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm 160-161
[6] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 329
[7]Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih Jilid 1, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 162-164
[8] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih..., hlm. 158
[9] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 333
[10] Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqih Ibadah,  (jakarta: Amzah,2010), hlm. 279-280
[11] Ibnu Rusyad, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 409-410
[12]H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 120
[13] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm 119-120
[14] Syeikh Salim Bin Samirul Hadhoromi, Matan Safinatun Najah, (Semarang: Pustaka Alawiyah), hlm 22
[15]Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqih Ibadah,  (jakarta: Amzah,2010), hlm. 268
[16] Ibnu Rusya, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm, 350
[17] Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqih Ibadah, hlm. 269
[18] Sumber : Quraish Shihab Menjawab ,  Dialog Jumat, Republika, Jumat, 24 Oktober 2003 /  28 Sya’ban 1424 H. http://jalmilaip.wordpress.com/2012/02/12/membaca-bacaan-shalat-dengan-suara-yang-terdengar/ 2-10-2013 pukul 13.25 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar